Kamis, 13 September 2018

Pemikiran Teologi Mu’tazilah



Pemikiran Teologi Mu’tazilah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teologi Islam
Dosen pengampu : Abdurrahman




Disusun oleh :
1.     Syamsudin                             (150721100029)
2.     Alfu Hikmah                          (150721100071)
3.     Zakiyatur Rahmah               (150721100126)
4.     Rahila Amanatul Ummah    (150721100139)

EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AJARAN 2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen pengampu mata kuliah Teologi Islam yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput juga kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang ikut menyumbang  pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami memohon maaf kepada bapak dosen pengampu mata kuliah Teologi Islam khususnya dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kami mengharap kritik dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah ini.



Bangkalan, 11 April 2016


Penyusun










DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... i
Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah.............................................................. 2
2.2 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Dan Pemikirannya.................................................. 11
2.3 Ushul Al-Khomsah.......................................................................................... 25
2.4 Al-Mihnah....................................................................................................... 34
2.5 Sejarah Perkembangan Mu’tazilah Selanjutnya  Sebagai Aliran..................... 39
2.6 Penilaian Orang Terhadap Aliran Mu’tazilah.................................................. 40

BAB III PENUTUP............................................................................................. 43

Daftar Pustaka....................................................................................................... 44











BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Aliran Muktazilah (i'tazala anna; "memisahkan diri") muncul di Basra, Irak, pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Wasil bin Atha' berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Ajaran Mu'taziliyah kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni karena aliran ini beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Oleh karena itu, penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Alquran secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim. Muktazilah memiliki lima ajaran utama yang disebut ushul al-khamsah.
Aliran Muktazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.
Pada saat Imam Hasan al-Basri sedang mengajar di mesjid, ada seseorang bertanya tentang para pendosa, apakah masih beriman atau telah kafir. Diapun diam sejenak untuk berfikir. Saat itulah Wasil bin Atha' menjawab bahwa para pendosa berada di antara mu'min dan kafir. Kemudian ia membentuk jemaah baru di sudut lain mesjid. Imam Hasan al-Basri berkata "Ia telah i'tizal (mengasingkan diri) dari kita. Jadi mu'tazilah adalah orang yang mengasingkan diri dari Imam Hasan al-Basri, sesuai dengan perkataan dia tersebut.
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana sejarah timbulnya aliran Mu’tazilah        
1.2.2        Siapa saja tokoh-tokoh Mu’tazilah dan pemikirannya           
1.2.3        Apa itu Ushul Al-Khomsah dalam aliran Mu’tazilah
1.2.4        Apa itu Al-Mihnah dalam aliran Mu’tazilah              
1.2.5        Bagaimana sejarah perkembangan Mu’tazilah selanjutnya  sebagai aliran    
1.2.6        Bagaimana penilaian orang terhadap aliran Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah
Kematian Usman bin Affan membawa perubahan bagi umat Islam, sebaba sejak saat itu umat Islam berselisih, berpecah belah dan bergolong-golongann serta berebut kekuasaan, dan sejak itu juga perang demi perang antar sesama umat Islam terjadi dan sulit untuk dihentikan.[1]
Perselisihan dan perpecahan yang berawal pada maslah politik yakni masalah khilafah segera pula menjurus kepada masalah akidah dan keyakinan. Peperangan yang timbula antara Ali Ibn Abi Thalib selaku khilafah keempat dan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, sebagai Gubernur Damsyik, yang menganggap Ali bertanggung jawab atas kematian Usman, dicoba menyelesaikannya dengan jalan tahkim, yaitu jalan damai yang biasa dilakukan pada zaman sebelum merdeka.
Sebagian golongan Ali tidak setuju dengan jalan damai dalam menyelesaikan masalah tersebut, karena mereka melihat kemenangan dalam genggaman mereka dan kemenangan dalam peprangan berarti mendapatkan harta rampasan dan dibagi kepada semua yang ikut berperang. Melihat kondisi demikian mereka meninggalkan barisan Ali dan membuat kelompok sendiri yang kemudian dikenak dengan kaum Khawarij.[2] Nama Khawarij ini adalah bentuk jamak dari kharij yang berarti orang keluar, dalam hal ini orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan politik ini sebagaimana yang digambarkan di atas akhirnya menjurus ke lapangan akidah. Timbullah permasalahan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.[3] Khawarij berpendapat bahwa Ali, Mu’awiyah, serta perantara mereka Amr ibn al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan lainnya yang menerima tahkim adalah kafir, karena mereka mengikuti kembali tradisi jahiliyah dan tidak dengan pergi kepada al- Qur’an. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat 44 dari surah al- Maa’idah yang mengatakan:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ آللَهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ آلْكَفِرُونَ
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, adalah kafir. Semua mereka yang dikafirkan oleh kaum Khawarij itu adalah dengan alasan; telah melakukan dosa besar. Paham yang umum mereka anut adalah; siapa yang melakukan dosa besar adalah kafir.[4]
Sebagai reaksi terhadap pandangan Khawarij yang sempit ini timbullah golongan Mur’jiah yang berpendapat bahwa pembuat dosa besar, tidaklah kafir, tetapi tetap mukmin dan Islam. Adapun tentang dosa besar yang telah dilakukannya tidak bisa diselesaikan oleh manusia di dunia ini, tetapi ditunda dan diserahkan penyelesaiannya pada Allah di hari perhitungan nanti.[5]
Dalam pendapat kaum Mur’jiah yang terpenting dalam soal iman dan kufur adalah penagkuan yang terdapat dalam hati, bukan perbuatan anggota tubuh, dan perbuatan tidak bisa menghilangkan iman dalam hati.[6] Pendapat kaum ini bertentangan dengan kaum khawarij yang berpendapat bahwa perbuatan dapat menghilangkan iman dari hati. Pemberian anam Mur’jiah karena penundaan masalah pembuat dosa besar ke Hari Perhitungan dan mungkin juga penghargaan bagi pembuat dosa besar untuk dapat masuk surga. Mur’jiah berasal dari kata arjaa yang berarti menunda dan berharap.
Dalam permasalahan apakah seorang pembuat dosa besar berubah status menjadi kafir atau tetap berada dalam keimanan ini timbul pula pendapatb baru di saat ulam Hasan al-Basri (642-728 M) menyampaikan kuliahnya. Pendapat atau pandangan baru ini diungkapkan oleh muridnya, Wasil Ibn ‘Atha yang menegaskan bahwa, “Pembuat dosa besar tidak kafir dan tidak mukmin, tetapi fasik.” Kemudian dia meninggalkan majelis gurunya dan membentuk majeli sendiri untuk menyebarkan dan mengembangkan pandangan-pandangannya tersebut. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala Wasil).” Dari sini dia dan teman-temannya dinamakan al-Mu’tazilah.[7]
Wasil memberi alasan pandangannya bahwa kata mukmin adalah nama yang mengandung pujian dan pelaku dosa besar bukanlah terpuji. Begitu pula sebaliknya, pembuat dosa besar bukan kafir, karena di masih mengakui dua kalimah syahadat. Karena dia tidak mukmin dan tidak kafir, maka dia menempati posisi di antara keduanya. Pandangan ini kemudian dikenal dengan al-Manzilah bain al-Manzilatai.[8]
Mulai dari sinilah berkembang pemikiran-pemikiran rasional yang tidak dapat dibendung dan Wasil pun sangat kukuhdengan pendapat-pendapatnya yang baru, antara lain 1). Nafy Sifat al-bari (meniadakan sifat-sifat Tuhan); 2). al-‘Adl (keadilan Tuhan); 3) I (tempat di antara dua tempat); 4). Kedua kelompok yang bertikai pada peristiwa “Jamal” salah satunya ada yang salah.
Wasil mempunyai murud-murid, antara lain al-Hasan ibn Zakwah, Hafs ibn Salim, Utsman al-Thawil, dan lain-lain. Kemudian murid-murid Wasil itu pun mempunyai murid-murid pula menjadi tokoh-tokoh Mu’tazilah ini seperti Abu Huzailal-‘Allaf, al-Nazzam, al-Juba’i, dan lain-lain.
Pemikiran mereka merupakan kontinuitas dari pemikiran rasional pengikut Mu’tazilah tetapi ada bebrapa penafsiran yang agak berbeda dan ada pula yang berfungsi sebagai penjelas.
2.1.1        Asal Usul Nama Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[9] Tulisan Harun Nasution ini senada dengan tulisan Nurcholish Madjid yang memberi alasan atas kerasionalan aliran ini. Mu’tazilah dijuluki dengan Rasionalis dalam Islam.[10]
Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada kaum/aliran ini berasal dari kata I’tizala atau I’tizal yang berarti memisahkan atau mengasisngkan diri. Banyak pendapat dan teori dari berbagai literatur yamg membahas asal usul dan sebab penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah. Al-Syahrastani: memreka memberi nama Mu’tazilah karena Wasil Ibn ‘Atha dan ‘Amr Ibn ‘Ubaid memisahkan diri dari kuliah Hasan al-Basri dan menegaskan kembali pandangan mereka tentang pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi berada di antara dua posisi tersebut. Saat itu mereka disebut Mu’tazilah.[11]
Memisahkan/mengasingkan diri dalam uraian di atas bisa berarti mengasingkan diri dari pendapat Khawarij dan pendapat Murji’ah atau pendapat umum saat itu. Karena Warsil dan ‘Amr memisahkan diri dari pendapat umum mengenai persoalan qodar dan pembuat dosa besar, maka saat itu mereka digelari dengan Mu’tazilah. Menurut mereka pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir. Pendapat al-Baghdadi ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh al-Syam’ani.[12]
Ada gamabaran lain yang diberikan oleh tasy Kubra Zadah. Pada suatu ahri Qotadah Ibn Da’amah masuk Masjid Basrah dan memasuki majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang disangkanya mejelis Hasan al-Basri, ia langsung berdir dan pergi sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah”, sejak saat itu mereka disebut kaum Mu’tazilah.[13]
Keterangan lain diberikan oleh al-Mas’udi yang tidak mempertalikan pemberian nama Mu’tazilah dengan peristiwa pertiakaian paham antara Wasil dan ‘Amr di satu pihak dan Hasan al-Basri di pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa pembuat dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu. Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka membuata orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.[14]
Menurut pendapat lain, nama Mu’tazlah bukan berasal dari ucapan hasan al-Basri tersebut, tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi di masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka lebih memusatkan perhatian pada agama, ibadah dan ilmu pengetahuan.[15] Abu al-Fida berpendapat bahwa kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai sejak saat itu.[16]
Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberi nama Mu’tazilah kepada Wasil dan para pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang ,engatakan golongan lawanlah yang memberi nama itu kepada mereka. Orang Mu’tazilah sendiri tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadi ‘Abd. Al-Jabbar, di dalam al-Qur’an terdapat kata I’tazala yang mnegandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar. Dengan demikian, kata Mu’tazilah mengandung arti pujian.[17] Contoh ayat al-Qur’an yang mengandung arti demikian adalah ayat yang terdapat dalam surah ad-Dukhaan ayat 21:
وَإِن لَّم تُؤْمِنُوالِى فَآعْتَزِلُوْنِ
Dan menurut keterangan seorang pemimpin Mu’tazilah lain, Ibnu al-Murtada, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain tetapi orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu.[18]
Bahkan kaum ini lebih menyenangi panggilan Ahl al-Adl, karena kaum ini sangat mempertahankan keadilan Tuhan, dan Ahl al-Tawhid wa al-Adl, karena kaum ini juga mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Tidak ketinggalan pihak lawan juga memberi nama Qadariyah, karena mereka mengenut paham kebebasan bertindak sesuai kemauan dan kehendak manusia sendiri (free will and free act), nama Mu’tazilah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tiak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar Dzat Tuhan, dan nama al-Wa’idah, karena pendapat mereka tentang ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuhadalah pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa dari mereka.[19]
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nama Mu’tazilah telah ada semenjak pemerintahan Khalifah Usman dan pertentangan Khalifah Ali dengan Mu’awiyah yang dalam masalah politik (tahkim). Nama Mu’tazilah diberikan kepada kaum yang memisahkan diri dari pertentangan politik dan lebih mendekatkan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama seperti dua orang cucu Nabi yakni Abu Hasyim Abdullah, al-Hasan Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiyah disebut Mu’tazilah Pertama. Adapun Wasil bin ‘Atha dan para pengikutnya yang memisahkan diri dari pemahaman gurunya tentang pembuat dosa besar disebut dengan Mu’tazilah Kedua.
Perbedaan yang jelas kedua Mu’tazilah ini bisa dilihat dari keberadaan Mu’tazilah itu sendiri pada masanya. Mu’tazilah Pertama lebih bercorak politik. Mu’tazilah Kedua sudah menambahkan persoalan-persoalan teologin dan filsafat ke dalam ajaran dan pemikiran mereka.
Sekilas tentang Wasil bin ‘Atha, dia adalah tokoh utama yang membangun aliran Mu’tazilah dilahirkan di Madinah pada tahun 80 H dan wafat di Basrah pada tahun 131 H. Di Madinah dia belajar pada Abu Hasyim Abdullah dan setelah pergi ke Basrah dia belajar pada Hasan al-Basri.[20] Setelah memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Basri, dia menjelma pula menjadi seorang tokoh yang sibuk memberi pengajaran dan banyak melakukan shalat serta menela’ah dan memahami al-Qur’an, dia adalah seorang yang bertakwa kepada Allah, pengetahuan agamanya luas, kelancaran bicaranya sulit ditandingi, kemampuan untuk berdebat sangat tinggi. Selain banyak melakukan perdebatan denagn kalangan-kalangan non-Muslim atau orang islam sendiri yang tidak sepaham dengannya. Ia giat sekali mengirim para da’i ke berbagai daerah dalam rangka menyiarkan ajaran Islam dan membelanya dari serangan pihak non-Muslim.[21]
2.1.2        Penamaan dan Pengertian Mu’tazilah
Secara harfiah, kata I’tazala berarti berpisah, memisahkan diri, menjauhi atau menyisihkan diri. Mu’tazilah atau Mu’tazilin berari orang-orang yang memisahkan diri atau menyisihkan diri. Menurut arti ini, setiap irang yang memisahkan diri dari suatu jama’ah disebut Mu’tazilah atau Mu’tazilin.
Kata Mu’tazilah atau Mu’tazilin terkadang dipakai untuk menyebut sekelompok sahabat yang menjauhkan diri dari pertikaian antara golongan pendukung Ali ibn Abi Thalib di satu pihak dan Mu’awiyah di pihak lain.[22] Mereka menjauhkan diri dari golongan yang bertikai itu untuk menghindari meluasnya fitnah di kalangan kaum muslimin. Abu al-Fida, sebagaimana dikutip oleh al-Ghurbi, menyatakan bahwa kaum muslimin yang tidak mau membai’at Ali bin Abi Thalib.[23] Maka dapat dimengerti bahwa penggunaan kata “Mu’tazilah” dalam hal ini adalah masalah politik bukan masalah agama atau akidah.[24] Dan, ini telah terjadi kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Wasil bin ‘Atha dengan gurunya Hasan al-Basri. Golongan ini disebut dengan golongan Mu;’tazilah Pertama yang mempunyai corak politik, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.
Abu Zahrah menerangkan bahwa Mu’tazilah juga dipakai untuk menunjukkan suatu kelompok pendukung Ali yang menjauhi politik, ketika Hasan bin Ali menyerahkan kursi khilafah kepada Mu’awiyah. “Mereka menjauhi Hasan, Mu’awiyah bahkan menjauhkan diri dari masyarakat dengan kompensasi menekuni ilmu dan ibadah di masjid-masjid atau rumah mereka”.[25]
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa kata-kata I’tazala dan al-Mu’tazilah telah dipakai sebelum munculnya aliran teologi Mu’tazilah yang dibangun oleh Wasil bin ‘Atha.
Mu’tazilah bukanlah alirn tertua dalam ilmu kalam, sebab dalam beberapa hal telah ad pembicaraan tentang teologi yang dikemukakan oleh Jahmiyah dan Qodariyah. “Namun dapat disepakati bahwa Mu’tazilah adalah aliran yang sangat penting yang mengangkat masalah-masalah dalam teologi Ilam sebagaimana telah diangkat oleh tokoh-tokoh Mu’tazilah”.[26]
Adapun sebab timbulnya aliran teologi Mu’tazilah dapat dipaparkan sebagai berikut:
a.         Munculnya sebuah pertanyaan dari sorang murid kepada Hasan al-Basri dalam majelisnya tentang posisi orang mukmin yang melakukan dosa besar. Golongan Khawarij menamakan merka sebagai kafir, sedangkan golongan Murji’ah menamakan mereka tetap mukmin. Lalu bagaimana pendapat Anda wahai guru? Hasan al-Basri berpikir. Ketika ia belum sempat menjawab, Wasil bin ‘Atha berkata “Saya berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin sepenuhnya, dan tidak kafir sepenuhnya, tetapi berada di antara dua posisi, yaitu fasik, tidak mungkin dan tidak kafir. Wasil berdiri dan menjauhkan diri di suatu sudut masjid dan menegaskan kembali pendirinya itu kepada sejumlah orang dari jama’ah Hasan al-Basri. Hasan al-Basri berkata i’tazala ‘annā wāshila “Wasil memisahkan diri dari kita”.[27] Sejak saat itu Wasil dan pengikutnya disebut Mu’tazilah.
b.        Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid ibn bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan Qadar dan orang-orang berdosa besar. Keduannya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dn mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang orang-orang yang berbuat dosa besar.[28]
c.         Tasy Kubra Zadah menyebut bahwa Qatadah ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Masjid Basrah dan menju ke majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disayangkan adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah nyata baginya bahwa itu bukan majelis hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat tersebut, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah” semenjak itu kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[29]
d.        Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dengan Hasan al-Basri. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (al-Manzilah bain al-Manzilatain).[30]
Dari uraian di atas terlihat penamaan Mu’tazilah tidak bia dipastikan. Namun aneka pendapat di atas menunjukkan bahwa nama Mu’tazilah diberikan kepada Wasil bin ‘Atha.[31]
Nama Mu’tazilah kelihatannya diberikan oleh orang luar bukan oleh golongan mereka sendiri. Nama itu begitu melekat pada mereka dan menjadi populer meskipun kaum Mu’tazilah sendiri menamakan dirinya dengan Ahl al-‘Adl wa al-Tauhid.[32] (Golongan pembela keadilan dan tauhid). Karena di antara prinsip mereka adalah kedilan Tuhan memurnikan tauhid dengan keraagaman sifat Tuhan.
Di samping nama di atas, Mu’tazilah juga menamakan diri mereka dengan golongan Qodariyah karena mereka yakin manusia itu mempunyai kemampuan (qudrat) yang diberikn oleh Allah kepadanya dan dia bebas untuk menggunakan kemampuan itu dengan tanggung jawb sepenuhnya berada pada manusia sendiri.[33]
Dari pihak luar terutama pihak lawan, Mu’tazilah mendapat julukan nama, antara lain al-Mu’attilah (yang meniadakan) karena mereka menafikan sifat Tuhan. Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah itu tidak mempunyai sifat dan menolak untuk memberi sifat kepada zat karena khawatir akan terperosok ke dalam kemusyrikan. Julukan lainnya adalah Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan tehadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa diri mereka.
2.2    Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Dan Pemikirannya
2.2.1        Wasil bin Atha’
Nama lengkapnya adalah Abu Hauzaifah Wasil Ibn ‘Atha’ al-Ghazzal, ia mendapat gelar al-Ghazzal (penenun) karena gemar sekali bekeliling di dalam kilang-kilang tenun. Al-Mas’udi mengatakan bahwa ia adalah Syeikh al-Mu’tazilah wa qodimuha yaitu pemimpin Mu’tazilah yang tertua dan diketahui sebagai Pembina pertama aliran Mu’tazilah.[34] ia dikatakan Pembina pertama karena pemikiran-pemikiran bercorak Mu’tazilah telah lahir sebelum kemunculan Wasil ibn ‘Atha dengan tidak menamakan Mu’tazilah,[35] namun Wasil ibn ‘Atha dianggap orang paling gigih dan konsisten membina sdan mengembangkan pemikiran-pemikiran model ini sehingga ia pun dikatakan sebagai pemikir sejati Mu’tazilah.
Wasil ibn ‘Atha lahir di Madinah al-Munawarah pada tahun 80 Hijriyah pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan dari Daulah Bani Umayyah dan meninggal pada tahun 131 Hijriyah, demikian berdasarkan kesepakatan ahli sejarah.[36] Di madinah ia belajar dengan Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan Basri.[37] Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh besar Basrah masa itu, seperti Zahm ibn Sofwan, penyair Basyar Ibn Bard dan ia menikah dengan adik perempuan Amru ibn Ubaid.[38]
Setelah memisahkan diri dari gurunya Hasan al0Basri, ia menjelma menjadi seorang tokoh yang sibuk memberikan pengajaran pada siang hari dan sangat banyak melakukan shalat serta menelaah dan membaca al-Qur’an di malam hari. Ia adalah seorang yang wara’, zuhud dan bertakwa kepada Allah.
Wasil ibn ‘Atha tokoh pembangunan Mu’tazilah ini, pengetahuan agamnya luas, kelancaran bicaranya sulit ditandingi, kemampuannya dalam berdebat sangat tinggi. Selain banyak melakukan perdebatan dengan kalangan non-Muslim atau orang Islam sendiri yang tiak sepaham dengannya. Ia giat sekali mengirim para da’i dan mubaligh ke berbagai penjuru dunia Islam waktu itu dalam rangka menyiarkan agama Islam atau membelanya dari serangan-serangan golongan non-Muslim.
Di antara para da’i yang dikirim Wasil ibn ‘Atha, yaitu Abdullah ibn Haris berdakwah ke negeri Maghrib, ia dikagumi banyak orang. Hafish ibn Sali berdakwah ke Horosan. Al-Qosim berakwah ke Yaman. Al-Hasan ibn Dakwan berdakwah ke Kuffah dan Utsman al-Thawil berakwah ke Armenia. Delegasi Wasil ibn ‘Atha tidak mengecewakan dengan mendapat dukungan yang cukup banyak.[39]
Dalam masa hidunya Wasil ibn ‘Atha diketahui banyak menulis buku. Di antara karya tulis beliau adalah sebagai berikut:
a.         Kitab Ashnaf al-Murjiah (tentang kelompok-kelompok Murji’ah).
b.        Kitab al-Manzilah bain al-Manzilatain (tentang kedudukan di antara dua posisi).
c.         Kitab Ma’ani al-Qur’an (mengungkapkan makna-makna al-Qur’an).
d.        Kitab Majari bainahu wa baina ‘Amru bin ‘Ubaid (kisah antara dirinya dan Amru).
e.         Kitab al-Da’wah (mengenai dakwah).
f.         Kitab Khuthbah allati Ukhruju fi ha al-Ra’yu (kitab khotbahnya menimbulkan banyak pendapat/ra’yu).
g.        Kitab al-Sabil il Ma’rifah al-Haq (kitab yang membicarakan jalan untuk kebenaran).
h.        Kitab al-Khotib fi al-Tawhid wa ad-‘Adl (hasil ceramah dan seminar tentang tauhid dan keadilan).
i.          Kitab al-Taubah (kitab tentang tobat).
j.          Kitab Thobaqat Ahl al-‘Ilm wa al-Jahil (mengenai klasifikasi cendekiawan dan orang bodoh).[40]
Dari karya tulis di atas dapatlah dibayangkan luasnya wawasan pengetahuan Wasil ibn ‘Atha dan begitu kukuhnya ia meletakkan dasar-dasar ajaran Mu’tazilah. Namun sayang karya-karya tersebut tidak dapat dijumpai lagi, kecuali kumpulan khotbahnya, itu pun tersebardalam buku-buku kesusastraan yang disusun oleh Ustaz Abd. Al-Sallam Harun.[41]
a.        Pemikiran-pemikiran Wasil ibn ‘Atha
Pemikiran-pemikiran teologi yang dikemukakan Wasil ibn ‘Atha atau al-Wasiliyah, antara lain:
1)        Al-manzilah bain al-manzilatain.[42]
Posisi tertinggi bagi manusia adalah posisi sebagai mukimin, yaitu orang yang menurut Wasil ibn ‘Atha mengakui dua kalimah syahadat dan tidak melakukan dosa besar atau jika melakukannya kemudian bertobat sebelum meninggal dunia. Bagi orang mukmin seperti ini disediakan surga di akhirat kelak. Adapun posisi yang paling rendah adalah kafir, yaitu orang yang tidak menerima du aklimah syahadat. Diantara dua posisi ini terdapat dua posisi sebagi fasik yaitu orang yang mengakui dua kalimah syahadat tetapi melakukan dosa besar dan tidak bertobat sebelum wafat.
Orang seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai kafir karena masih mengakui dua kalimah syahadat, dan tidak pula disebut mukmin, karena telah melakukan dosa besar. Wasil ibn ‘Atha berpendapat bahwa orang mukmin kekal di dalam surga dan orang kafir kekal di dalam neraka. Namun sukar dijumpai tentang pendapat Wasil ibn ‘Atha secara pasti tentang hukuman orang fasik, kecuali ada tambahan keterangan dari golongan Asy’ariyah bahwa mereka berada di neraka dan mendapat siksa lebih ringan daripada yang diberikan kepada orang kafir.
Selain itu, Wasil ibn ‘Atha berpendapat bahwa kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan kepada fasik dengan dosa besarnya. Begitu pula predikat kafir tidak dapat diberikan kepadanya, karena di samping dsa besar, ia masih mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.
Terlepas dari apa yang dikemukakan di atas, al-Qodi Abd. Al-Jabbar menulis dalam Syarh al-usul al-Khomsah bahwa Mu’tazilah berpendapat bahwa orang fasik itu kekal di neraka, karena tidak terdapat dalil yang menguatkan, kecuali bahwa orang fasik itu kekal di dalam neraka.[43]
2)        Nahyu al-sifat
Nahyu al-sifat atau meniadakan sifat bagi Tuhan, dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat (esensi) Tuhan.[44] Al-Syahrastani menilai bahwa paham ini dilontarkan oleh Wasil ibn ‘Atha masih dalam keadaan mentah sebab Wasil ibn ‘Atha baru mengambil arti lahirnya. Paham ini menjadi matang benar ketika para pengikutnya benar-benar telah menguasai filsafat Yunani.[45]
Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil ibn ‘Atha, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qodim, maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qodim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qodim. Ini menurut Wasil ibn ‘Atha akan membawa pada adannya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qodim hanyalah Tuhan, dengan kata lain, kalau ada sesuatu yang bersifat qodim, maka itu mestilah Tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara murninya tauhid atau kemahaesaan Tuhan, Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di atas.
Dengan jalan ini Abu al-Huzail mencoba mengatasi persoalan adanya Tuhan lebih dari satu kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat yang berwujud sendiri di luar zat Tuhan. Dengan membuat sifat Tuhan adalah zat Tuhan, persoalannya adalah yang qodim selain dari Tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang di maksud kaum Mu’tazilah dengan nafy al-sifat.[46]
Mengenai peniadaan sifat Tuhan, al-Juba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya “inna al-bāri taằla ắlimun bi ‘ilmin wa ắlimuhu dzātuhu.” Dengan demikian Tuhan, untuk mengetahui, tidak perlu sifat mengetahui dan pula tidak pada keadaan mengetahui. Namun Abu Hasyim ibn al-Juba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hal (state).[47] Demikianlah beberapa pemikiran yang ada hubungannya dengan peniadaan sifat Tuhan.
3)        Qodariyah
Paham ini, sebagaimana dikemukakan oleh Ma’bad dan Ghailan al-Dimasyqi.[48] Wasil berpendapat bahwa Tuhan itu Mahabijaksana dan Mahaadil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Untuk itu tidak mungkin bagi Tuhan menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Dengan demikian, manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya pada Tuhan. Atas perbuatan-perbuatannya manusia diberi ganjaaran. Dan, untuk terwujudnya perbuatan-perbuatannya manusia, Tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah pada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia itu tidak mempeunyai daya dan kekuatan untuk berbuat.[49] Wasil kelihatannya memperoleh paham ini dari Ghailan melalui Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiah.[50] Bahkan ada kemungkinan bahwa Wasil pernah berjumpa dengan Ghailan sendiri, demikian menurut al-Nasysyar.[51] Dari uraian di atas tampaknya Wasil bersikeras menyatakan bahwa perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah perbuatan manusia semata atau perbuatan manusia dalam arti kata yang sebenarnya bukan dalam arti kata kiasan.
4)        Salah satu golongan yang bertikai bersalah karena terbunuhnya Utsman.
Wasil berpendapat bahwa slah satu golongan yang bertikai dalam Perang Jamal dan Siffin, pasti bersalah dan menjadi fasik. Hanya saja tidak dapat diketahui dengan pasti siapa yang fasik itu. Dengan demikian, Ali dan pengikutnya di satu pihak dan Mu’awiyah serta pengikutnya di pihak lain, pasti ada yang bersalah. Dengan kata lain, kesucian masing-masing pihak telah diraguinya. Konsekuensinya kedua belah pihak tidak dapat dijadikan saksi.jka sekiranya salah astu dari pihak Ali dan Mu’awiyah datang untuk menjadi saksi, keduanya akan ia tolak, karena ia yakin bahwa slah satu dari mereka fasik. Tetapi kalau kebetulan kedua orang yang datang untuk menjadi saksi itu berasal dari salah satu pihak saja, mereka ia terima.[52] Dengan kata lain, Wasil berpendapat bahwa para sahabat Nabi tidak ma’sum.[53]
Demikianlah akjaran-ajaran yang ditinggalkan Wasil. Dua dari ajaran-ajaran tersebbut yaitu posisi menengah dan pniadaan sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Usul al-Khomsah atau Pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya ialah keadilan Tuhan, janji baik dan ancaman dan memerintah orang untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalau perlu dengan kekerasan.[54]
b.        Pengaruh pemikiran Wasil ibn ‘Atha
Munculnya pemikiran Wasil ibn ‘Atha di pentas pergumulan pemikiran teologis sangtlah besar pengaruhnya, pemikiran-pemikiran sekilas memang tampak kontroversial dengan pemikiran teologis yang berkembang pada zamannya, tetapi jusru kekontroversialannya mengundang perhatian pemikir teolgis ataupun orang yang berminat pada pemikiran baru yang dinamis dan rasional.
Kerasionalan pemikiran teologis Wasilsalah satunya mencoba menguak misteri sfat Tuhan, baginya Tuhan tetap Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, tetapi ini tidak bisa dipisahkan dari zat Tuhan. Kemudian pemikiran Wasil mewarnai pendukungnya, maka berkembanglah tentang sifat-sifata Tuhan sebagi berikut:
1)        Sifat zatiyah, yaitu sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, seperti al-wujud, al-qodim, al-hayah, dan al-qudrah.
2)        Sifat fi’liyah, yaitu sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, seperti al-iradah, kalam, dan ‘adl.
Paham ini timbul karena pendukung Wasil ingin menjaga kemurnian kemahaesaan Tuhan, yang dalam istilah Arab disebut tanzih.
Kecenderungan pemikiran Wasil dan pengikutnya yang rasional sangat akomodatif terhadap berkembangnya filsafat Yunani dalam kelompoknya dan akhirnya nebular pada umat Islam. Dapat juga dikatakan pemikiran-pemikiran Wasil bagai gerbang atau jembatan pertama yang menghubungkan pemikiran-pemikiran Islam dengan pemikiran-pemikiran filosofis Yunani. Atas dasar uraian di atas bagaimanapun kemunculan Wasil ibn ‘Atha dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif dan rasional, bagi umat Islam sangat bermanfaat untuk dijadikan alat mempertahankan ajaran agamanya dari serangan-serangan teologis filosofis non-Muslim, untuk itu hendaknya umat Islam berterimakasih atas jasanya yang tidak terhingga.
Bagi kaum muslimin yang hidup di zama modern ini, di mana kemajuan ilmu dan teknologi mendapat tempat strategis dalam pemikiran rasional. Maka secara tidak sadar pemikiran rasional mendapat perhatian yang seksama, dan pemikiran-pemikiran tersebut mirip atau bahkan sama dengan paham yang dimotori oleh Wasil ibn ‘Atha, tetapi mereka tetap sebagi Muslim yang taat menjalankan ejaran agama yang diyakininya.
2.2.2        Abu Huzail al-‘Allaf
Nama lengkap Abu Huzail al-Allaf ialah Muhammad ibn al-Huzail ibn ‘Adillah al-basri al-‘Allaf. Beliau adalah salah seorang tokoh aliran Mu’tazilah yang menjelaskna ajaran-ajarannya secara lebih perinci. Lahir pada tahun 131 H/748 M, di Basrah dan meninggal pada tahun 226 H/840 M, di Samarra.
Abu Huzail memperoleh pelajaran (tentang aliran Mu’tazilah) dari Utsman ibn Khalid, murid Wasil ibn ‘Atha. Sebagai seorang ahli filsafat ia telah menulis sekitar 60 buku mnegnai ilmu kalam, sayangnya buku-buku tersebut tidak dapat dijumpai lagi.[55] Menurut riwayat, Abu Huzail dengan kemahirannya dalam berdebat dan beragumentasi mampu mengajak 3.000 orang yang terdiri dari kaum Majusi, Zindik, Manicheist, dan Atheis masuk Islam.[56] Ia dijuluki “al-Allaf” karena rumahnya berada di tengah-tengah penjual makanan ternak.[57]
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abu Huzail rupanya kurang mendapat perhatian dari pemerintah aulah Umayyah terutama di bidang ilmu kalam. Pemerintah lebih menitikberatkan perhatiannya pada penataan segi-segi kehidupan praktis. Dengan demikian, bidang hukum yang intisarinya bertolak dari al-Qur’an dan al-Hadist sudah dianggap cukup untuk menjebatani permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi.
Berbeda sekali dengan masa pemerintahan Daulah’Abbasiyah yang selalu memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan. Di amsa itu bidang-bidang ilmiah terutasa penerjemahan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Di mas aitu bidang-bidang ilmiah terutama penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan itu kebanyakan berisi pendapat-pendapat tentang keyakinan, agama, dan kepercayaan. Masa pemerintahan ‘Abbasiyah disebut juga sebagai dengan “Masa Kebangkitan Ilm Pengetahuan dan Teologi (‘Asr al-Nahdah fi al-Ulum wa al-Ara’ al-Mu’taqadat).[58]
Oleh karena Abu Huzail dianggap sebagai guru kedua (al-Ustadz al-Tsani) aliran Mu’tazilah ini hidup di masa ilmu pengetahuan belum mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah, maka ia terpaksa tidak dapat memusatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan secra utuh. Hal ini dapat dilihat dari argumentasinya yang dapat menimbulkan penafsiran-penafsiran mengakibatkan dirinya dituduh sebagai seorang Materialist.
Mirdar al-Mu’tazilah menyusun sebuah buku yang mengungkapkan kesalahan-kesalahan Abu Huzail dan menuduhnya kafir dan sesat. Al-Juba’i menuduhnya sebagai seorang yang mengingkari penciptaan, dan Ja’far ibn Harb dalam kitabnya Taubikh Abi Huzail menulis bahwa pendapt-pendapatnya lebih condong pada paham ateis dan itu berarti kafir.[59]
Abu Huzail bukanlah orang yang fanatik. Dia selalu menghargai kebanaran walau dari mana pun datangnya. Bhakan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ia sering menggunakan pemikiran-pemikiran filsafat. Kenyataan ini terbukti ketika membahsa tentang “Nafy al-Sifah ‘ala al-Zat” (peniadaan sifat pada zat) yang sering menimbulkan imterprestasi negatif di kalangan kaum muslimin.
Abu Huzail mengatakan bahwa sifat-sifat Allah sebagai mana yang diterangkan dalam al-Qur’an bukanlah merupakan sesuatu yang terpisah dari zat melainkan melekat pada zat iitu sendiri. Seperti Allah mengetahui dengan pengetahuan–Nya. Pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Allah berkuasa dengan kekuasaan-Nya. Kekuasaan-Nya, adalah zat-Nya, dan lain sebagainya.[60] Sebagai untuk melengkapi beberapa pendapat-pendapat Abu Huzail, dapat dilihat pada tulisan berikut:
a.         Allah mengethui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya, berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaannya-Nya adalah zat-Nya, hidup kehidupan-Nya dan kehidupan-Nya adalah zat-Nya, dan lain sebagainya.
b.        Kehendak Allah tidak bertempat (substratum) dan dengannya Dia berkehendak.
c.         Sebagian kalam Allah tidak bertempat seperti firman-Nya “kun” (jadilah) dan sebagian yang lain bertempat seperti memerintah, melarang, memberi kabar, dan sebagainya.
d.        Paham Qadariyah berlaku di dunia dan Jabariyah di akhirat.
e.         Gerakan-gerakan penghuni abadi akan terputus dan mereka akan satis selama-lamanya. Kenikmaan tetap ada pada ahli surga dan perseritaan tetap ada pada ahli neraka.
f.         Kemampuan adalah ‘Aradh (accident). Pekerjaan badan dan hati terpisah. Pekerjaan hati tidak benar tanpa kemauan pekerjaan badan.
g.        Sebelum datangnya wahyu, orang dewasa (mukallaf) harus dapat mengenal Allah melalui ayat-ayat-Nya (tanda-tanda kebesran-Nya), mengetahui baik dan buruk dan dapat memilih yang baik untuk dirinya.
h.        Manusia pasti akan mati tepat pada waktunya. Umur tidak dapat bertambah dan berkurang kecuali bunuh diri atau terbunuh. Demikian juga rezeki tidak dapt berkurang dan bertambah.
i.          Kehendak Allah bukanlah objek kehendak. Kehendak-Nya terhadap apa yang Ia ciptakan, Ia ciptakan untuk-Nya. Sesuatu yang Ia cipakan bukanlah sesuatu itu sendiri ttapi ciptann bagi-Nya adlah firman bukan tempat. Seperti Allah masih mendengar dan mengetahui, demikian juga selanjutnya.
j.          Yang dapt digunakan sebagai hujjah hanyalah Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh 20 perawi. Itu pun tidak menunjukkan kemutawatirannya sebab para perawi tidaklah ma’sum. Tidak mustahil mereka berdusta bahkan melakukan dosa besar dan hanya satu orang saja yang akan masuk surga.[61]
2.2.3        Al-Nazzam
Nama lengkapnya adalah Ibrahim ibn al-Sayyar ibn hani al-Nazzam, seorang budak Bani Bujair ibn al-Harist ibn al-Dhuba’i, hidup pada masa khalifah Harum al-Rasyid. Ia anak saudara perempuan Abu Huzail al-‘Allaf dan muridnya yang setia. Lahir pada tahun 185 H dan wafat 221 H pada masa khalifah al-Mu’tasim.
Beliau termasuk orang yang cerdas, cermat, dan banyak pengikutnya. Ia banyak menelaah buku-buku filsafat kealaman dan ketuhanan.[62] Dijuluki “al-Nazzam” karena dia pandai membuat prosa dan puisi. Dalam riwayat lain, karena dia bekerja sebagi perangkai batu merjan di pasar Bashrah.[63]
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Nazzam itu telah hafal al-Qur’an, Taurat, Injil dan Zabur dan dapat menafsirkan kitab-kitab tersebut dengan baik. Karena ketelitian, pengertian serta kemampuan balaghah (ilmu bahasa) yang sangat tinggi ia dapat mengetahui kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan kitab-kitab itu.[64]
Masa mudanya, al-Nazzam banyak bergaul dengan pengikut paham Manicheist dan Saman. Setelah dewasa ia bergaul dengan para filsuf ateis dan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi.[65] Pergaulan dengan para tokoh yang beragam itu telah menimbulkan akses-akses yang tidak kecil sehingga pandangan-pandangan teologisnya banyak berbeda dengan para pendahulunya. Di antara pandangan-pandangannya adalah:
a.         Allah tidak berkuasa berbuata baik dan buruk tetapi Ia hanya dapat berbuat sesuatu yang baik untuk hamba-hamba-Nya.
b.        Perbuatan-perbuatan hamba hanyalah merupakan gerakan-gerakan dan diam adlah gerakan sandaran.
c.         Berkehendak bukanlah sifat Tuhan yang sebenarnya tetapi merupakan sumber yang Ia ketahui sendiri.
d.        Sebenarnya manusia itu adalah jiwa. Adapun badan hanyalah merupakan alat dan bingkainya.
e.         Segala sesuatu yang melampaui batas kekuasaan (manusia) adalah kewajiban Allah untuk menciptakan-Nya.
f.         Penafikan (peniadaan) bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi.
g.        Esensi itu terdiri dari ‘ard (accident) yang berkumpul.
h.        Tuhan menjadikan makhluk-Nya sekaligus tetapi berevolusi.
i.          Yang merupakan mukjizat dari al-Qur’an itu hanyalah keterangan-keterangan yang mengisahkan tentang hal-hal yang terjadi di masa lampau dan yang akan datang, sedangkan selebihnya tidak merupakan mukjizat.
j.          Ijma’ dan Qiyas tidak dpat dipakai untuk menetapkan hukum syara’.
k.        Penetapan Imamah tidak sah kecuali berlandaskan nash dan pemilihan secara langsung dan terbuka.
l.          Sebelum diturukannya wahyu orang yang sehat akalnya berkewajiban mengetahui Tuhan melalui pengamatan dan pembuktian.
m.      Dalam masalah wa’ad dan wa’id, orang tidak dapat disebut fasik jika mencuri barang (harta) yang nilai harganya belum sampai pada nisab zakat.[66]
2.2.4        Al-Juba’i
Nama lengkapny adalah Abu ‘Ali Muhammad ibn Abd. Al-Wahab al-Juba’i. Dijuluki “al-Jubba’i” dinisbatkan dengan tempat kelahirannya “Jubba” suatu daerah di Kazakhtan. Beliau lahir pada tahun 235 H dan wafat pada 330 H.[67]
Masa mudanya, al-Jubba’i terkenal sebagai orang yang pandai berdebat. Al-qattan menceritakan bahwa pada suatu saat orang-orang berkumpul untuk berdiskusi. Mereka menanti seseorang yang akan mendiskusikan suatu masalah tetapi tidak datang. Kemudian sebagian dari mereka berkata: Adakah orang yang akan tampil? Maka ada seseorang ‘alim tampil menawarkan diri. Dia ditanya oleh salah seorang jamaah. Apakah Allah berbuat adil? Ia menjawab, ya. Apakah dengan perbuatan-Nya yang adil itu kau sebut Dia adil? Ia menjawab, ya. Apakah Allah berbuat zalim? Ia menjawab, ya. Apakah dengan perbuatan-Nya itu kau sebut Dia zalim? Ia menjawab, tidak. Dia berkata: Seharusnya dengan perbuatan yang adil itu Allah tidak kau sebut adil.[68] Jamaah kagum dengan keberanian dan kecerdasan penanya yang masih muda usia yang tidak lain adalah Abu Ali al-Jubba’i.
Al-Jubba’i belajar kepada Abu Ya’qub Yusuf ibn Abdillah ibn Ishaq al-Sahham, salah seorang sahabat Abu Huzail.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa al-Jubba’i telah menulis karangan-karangannya sebanyak 50.100 halaman.[69] Sayangnya karangan-karangan tersebut tidak dijumpai.
Kemudian pendapat-pendapat al-Jubba’i sebagaimana yang ditulis dalam buku-buku para filsuf antara lain:
a.         Allah mengetahui segala esensi dan accindent. Segala sesuatau diketahui mulai sebelum asal kejadiannya.
b.        Sifat mulia bagi Allah memiliki dua pengertian, yaitu aziz (mulia) itu sendiri dan pemberi yang mulia.
c.         Allah mendengar dan mengetahui yang tidak terbatas.
d.        Segala yang diketahui Allah akan ada pasti ada.
e.         Kehendak Allah untuk mengadakan sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri tetapi yang lainnya.
f.         Perbuatan Allah pada hamba-Nya adalah perbuatan yang dinilai-Nya akan merupakan kebaikan untuk hamba itu sendiri walaupun menurut hamba itu hal yang buruk.
g.        Allah itu Qodim (kekal). Dan kekekalan itu merupakan sifat Allah yang spesial.
h.        Iman sebagaimana yang dikehendaki Allah hukumnua wajib, sedangkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sunah tidak termasuk iman.
i.          Baligh menurutnya identik dengan sempurnanya akal dan berakal berarti berilmu.
j.          Kalam Allah itu didengar dan tidak dapat dilihat.
k.        Esensi-esensi itu adalah satu jenis dan ia adalah esensi itu sendiri.
l.          Sesungguhnya badan itu apabila bergerak jumlahnya akan sama dengan bagian-bagian yang digerakkan.
m.      Roh itu adalah jism dan ia bukanlah kehidupan dan kehidupan merupakan accident.
n.        Accident-accident itu kekal. Dan, uang dikerjakan oleh yang hidup dalam dirinya langsung dari accident-accident dan ia tidak kekal.
o.        Tempat (wilayah) terdiri dari dua jenis. Wilayah iman dan wilayah kafir. Orang tidak mungkin bertempat di wilayah yang bertentangan, kecuali dengan paksaan.[70]
Demikianlah sebagian pendapat al-Jubba’i dan pendapat-pendapat itu yang pada gilirannya akan diteruskan oleh anaknya, Abu Hasyim Abd. al-Salam ibn Abi Ali Muhammad al-Jubba’i.
Sebenarnya masih banyak tokoh dan pemikir aliran Mu’tazilah ini, tetapi pada dasarnya pemkiran-pemikiran mereka itu masih merujuk pada ketiga tokoh di atas dengan beberapa tambahan konsep pemikiran. Al-Mu’tamir misalnnya, menambahkan konsep “tawallud” (reproduction) yang dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungjawaban manusia atas perbuataannya.[71] Al-Murdar dalam pendapatannya yang mengatakan bahwa orang yang mengatakan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala adalah kafir, kalamullah qadim adalah kafir dan perbuatan manusia ciptaan Allah adalah kafir. Dan, Sumamah dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa orang fasik akan kekal dineraka apabila tidak bertobat.[72]
2.3    Ushul Al-Khomsah
            Terlepas dari perbedaan pendapat dalam belantara teologi islam tentang asal usul terminologi  Mu’tazilah, yang jelas golongan ini hadir dalam pentas pemikiran keislaman dengan ide-ide yang berkonotasi rasionalis liberalis. Persoalan-persoalan teologi yang dipaparkan bersifat filosofis. Penggunaan rasio dalam kajian mereka sangat intens, namun demikian al-Qur’an tidak diabaikan. Karena cara berpikir yang rasionalis dan liberalis inilah mereka dijuluk kaum “Rasionalisme Islam”.[73] 
            Pola pikir yang rasionalis dikalangan umat islam tampaknya hidup kembali diawal abad ke-20 ini. Salah satu sebabnya mungkin karena adanya interaksi dunia Barat dengan negara-negara islam, sebagaimana halnya dengan kaum muslimin zaman klasik yang berinteraksi dengan filsafat Yunani. Melalui interaksi tersebut terjadi proses penetrasi rasionalis Eropa ke tengah kaum muslimin. Tidak jarang rasionalis-rasionalis Muslim abad ini disebut sebagai Mu’tazilah modern. Ada kemungkinan penilaian itu hanya bertolak dari cara berfikir mereka yang sama. Kiranya pokok-pokok pemikiran Mu’tazilah terdahulu layak ditelaah kembali.
            Pokok-pokok pemikiran Mu’tazilah yang dikatakan oleh al-Khayyat dalam al-Intishar sebagai syarat i’tizaliah adalah al-Ushul al-Khamsah. Seseorang dianggap pengikut Mu’tazilah bila menerima dan menganut kelima ajaran tersebut secara sempurna.[74]
            Menurut kedudukan dan pentingnya al-Ushul al-Khamsah tersebut dijelaskan oleh pemuka Mu’tazilah sebagai berikut al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu’an al-Munkar.[75]perincian dari kelima ajaran pokok Mu’tazilah akan dipaparkan berikut ini.
2.3.1        Al-Tauhid
Tauhid adalah ajaran Mu’tazilah yang terpenting. Mereka memiliki penafsiran yang khas dan pembahasan filosofis yang mendalam tentang masalah ini. Karena penjelasan-penjelasan yang dipaparkan Argumentative, logis serta filosofis. Mereka dijuluki “Ahlu al-Tauhid”, walaupun sebenarnya semua kaum muslimin sama-sanma mengkaji masalah ketauhidan dan mengakui bahwa La ilaha illa Allah Wahdahu la syariika lahu.[76]
Dalam paham Mu’tazilah, Tuhan Maha Esa, Tidak ada Tuhan selain Allah, tunggal tidak ada serikat bagi-Nya, sesuai dengan kandungan surah al-Ikhlas dan syahadat pertama dari syahadataini.[77]Tuhan akan betul-betul Maha Esa hanya Tuhan merupakan zat yang unik. Tiada yang serupa dengan-Nya. Oleh karena itu, mereka menolak paham antropomorfisme.[78]
Kaum Mu’tazilah, dalam upaya menucikan dan memelihara keunikan Tuhan serta transendensi-Nya atas yang lain, menurut al-Asy’ari mereka berpendirian bahwa Allah itu Maha Esa, tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya. Ia Maha mendengar lagi Maha Melihat, tida berijin, tidak berbentuk orang, tidak berbadan, tidak berupa, tidak berdaging, dan tidak berdarah. Ia bukan juz’ (bagian), bukan jauhar (substansi), dan bukan pula ‘ard (aksiden). Ia tidak dapat diraba. Ia tidak panas dan tidak pula dingin, tidak basah dan tidak pula kering, tidak panjang, tidak lebar dan tidak pula dalam. Ia tidak berkumpul dan tidak pula berpisah, tidak bergerak dan tidak pula diam. Tidak terpotong-potong, tidak memiliki bagian-bagian (ajza’) dan tidak pula memiliki anggota. Ia tidak mempunyai sudut, tidak ada kanan dan kiri, muka dan belakang, atas dan bawah. Ia tidak menempati ruang dan waktu. Tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada yang makhluk yang menunjukkan kebaruan makhluk tersebut dan tidak pula disifati dengan sifat menunjukkan ketidakazalian Tuhan. Allah tidak dibatasi oleh apa pun, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak ditutupi oleh penutup dan tidak bisa tirai-tirai penutup dan tidak bisa dicapai oleh pancaindra. Ia tidak  bisa dibandingkan dengan manusia, tidak bisa disamakan dengan makhluk dalam bentuk apapun dan tidak terpaku waktu bagi-Nya. Ia tidak tertimpa oleh penyakit. Setiap sesuatu yang terlintas dalam iliran dan tergambar angan-angan, tidak serupa dengan tuhan. Ia adalah selalu yang paling awal dan yang mendahului segala sesuatu yang mungkin dan senantiasa dalam keadaan mengetahui, berkuasa, hidup, dan selamanya akan begitu. Dia, tidak dapat dijangkau oleh penglihatan dan tidak terliput oleh khayalan. Allah lah satu-satunya wujud Abadi yang tiada wujud abadi selain Dia dan tiada Tuhan (selain) atau menyerupai-Nya dalam segala.[79]
Tuhan Esa pada zat-Nya, tidak mempunyai sifat-sifat. Maksudnya Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri diluar Zat. Karena itu Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat azaliyah seperti Ilmun, Qudratun, Hayatun, Sam’un, dan Basorun yang terpisah dari zat-Nya. Allah mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat dengan zat-Nya. Tidak ada sifat-sifat yang berdiri secara terpisah.[80] Bila ada komposisi dimana ada zat di satu sisi dan sifat dipihak lain, akan melahirkan dua yang qadim, yaitu zat dan sifat. Adanya dua yang qadim, berarti adanya dua Tuhan, dan ini tidak dapat diterima.[81]
Namun demikian, tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka tetap Maha tahu, Maha kuasa, Maha hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya. Tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari zat nTuhan. Dengan kata lain, sifat-sifat tersebut dibagi oleh Mu’tazilah kedalam dua kategori, yaitu sifat zatiyah dan sifat fi’liyah. Sifat zatiyah adalah yang merupakan esensi Tuhan seperti al-Wujud, al-Qidam, al-Hayah, al-Qudrah. Adapun sifat fi’liyah adalah sifat-sifat yang nerupakan perbuatan Tuhan dalam hubungannya dengan makhluk seperti al-Iradah, al-Kalam, dan al-‘Adl.[82]
Lebih jauh al-Jubba’i menjelaskan bahwa sifat zatiyah adalah sifat-sifat yang tidak boleh dinisbahkan kepada tuhan dengan sifat-sifat kebalikannya. Sebagai contoh: Allah mempunyai sifat ‘Alim (Maha tahu), maka Dia tidak mempunyai sifat jahil (Maha bodoh). Allah mempunyai sifat Qadir (Maha kuasa), maka Dia tidak bisa bersifat ‘Ajiz (Maha lemah). Demikian selanjutnya. Adapun sifat fi’liyah adalah sifat-sifat yang boleh dinisbahkan kepada Tuhan dengan sifat-sifat kebalikannya, sebagai contoh: Allah mempunyai sifat Hub (cinta), Dia juga mempunyai sifat karohah (terpaksa). Demikian seterusnya.[83]
Karena penolakan terhadap terhadap antropomorfisme, yaitu penyerupaan Tuhan dengan makhluk, kaum Mu’tazilah menginterpresentasikan ayat-ayat personifikasi didalam al-Qur’an dengan pengertian lain, sehingga Tuhan betul-betul suci dari kemiripan dengan makhluk. Dengan demikian kata al-‘Arsy dalam berfirman “al-rahman ‘ala al-arsy istawa” mereka artikan kekuasaan; kata al-‘ain dalam “wa li tusna’a ‘ala ‘aini” diartikan ilmu; kata wajh dalam “kullu syai halikun illa wajhahu” diinterpresentasikan dengan zat atau esensi; kata yad dalam “lima khalaqtu bi yaday” ditafsirkan kekuasaan, terkadang kata yad bisa di interpretasikan dengan nikmat seperti pada ayat “bal yadahu madsutotani”., kata janb didalam “ya hasrota ‘ala ma farrattu fi janb Allah” diartikan ketaatan., dan kata yamin dalam “wa al-Samawat matwiyatun bin yaminini” diartikan dengan kekuatan.[84]
Sebagai konsekuensi logis dari penolakan diatas, Mu’tazilah menentang beatific vision, yaitu Tuhan dapat dilihat dengan mata-kepala.[85] Sebagai argumen dijelaskan bahwa Tuhan tidak mengambil tempat, dengan demikian tidak bisa dilihat, karena yang bisa dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Dan kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata-kepala, Tuhan akan dapat dilihat sekarang, dalam dunia ini juga. Kenyataannya menunjukkan bahwa tidak ada orang yang melihat Tuhan dialam ini.[86]
Bertolak dari keinginan kuat untuk menyucikan Tuhan dari hal yang tidak layak dan berpegang pada prinsip “tidak ada yang qadim kecuali Allah”, Mu’tazilah menolak paham bahwa al-Qur’an adalah qadim. Menurut mereka al-Qur’an atau kalamullah adalah diciptakan, karenanya bersifat baru. Pandangan ini hubungannya dengan penolakan mereka terhadap sifat. Bagi Mu’tazilah, kalamullah bukan sifat melainkan perbuatan. Sebab itu kalamullah adalah baru.
Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa surat dan ayat. Ayat yang satu mendahului yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain. Terdapatnya pada sesuatu, sifat terdahulu dan sifat yang datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak qadim.[87]
2.3.2        Al-‘Adl
Al-‘Adl sebagai ajaran Mu’tazilah kedua, erat kaitannya dengan al-Tauhid. Kalau dengan al-Tauhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, dengan al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dari perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil. Tuhan tidak bisa berbuat zalim, pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain, kalau al-Tauhid membahas keunikan diri Tuhan, al’Adl membahas keunikan perbuatan-Nya.[88]
Adapun yang di maksud Al-‘Adl bagi kaum Mu’tazilah ialah keadilan Tuhan dalam menghisab perbuatan-perbuatan hamba-Nya. Ini berdasarkan firman Allah dalam Fushilat ayat 6 yang berbunyi “wa ma rabbuka bi dzullamin li al-“abid”. Dikatakan Tuhan itu adil menurut Abd. al-Jabar artinya bahwa semua perbuatan Tuhan itu bersifat baik; Tuhan tidak berbuat jahat dan tidak melalaikan apa yang wajib dikerjakan-Nya.[89]Dengan demikian, Tuhan tidak berdusta,tidak bersikap dzalim, tidak menyiksa anak-anak orang polytheist lantaran dosa orang tua mereka, tidak menurunkan mukjizat bagi pendusta dan tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul manusia.[90]
Untuk dapat memikul beban-beban yang diberikan, Tuhan memberikan daya kepada manusia, menerangkan hakikat-hakikat beban itu, dan memberi upah atau hukuman atas perbuatan-perbuatan manusia. Kalau Tuhan memberi siksaan,maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia; karena kalau bukan untuk kemaslahatan manusia, berati Tuhan melalaikan salah satu kewajiban-Nya.[91]
Bagi Mu’tazilah, kejahatan dan kebaikan bukanlah konsep-konsep konvensional atau arbitrer yang validitasnya berakar pada ketentuan-ketentuan Tuhan, melainkan merupakan kategori-kategori rasional yang dapat dibangun melalui akal murni. Oleh karena itu, Tuhan tidak dapat (la Yaqdir) memerintahkan apa yang bertentangan dengan akal, atau melakukan tindakan yang sama sekali tidak menghiraukan kemaslahatan makhluk-Nya, bila tidak hal tersebut akan membahayakan keadilan dan kebijaksanaan-Nya.[92]
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia itu sendiri melakukan ataupun tidak melakukan dengan daya yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Tuhan tidak menyuruh kecuali  hal-hal ia kehendaki dan tidak melarang kecuali hal-hal yang ia sukai. Ia menguasai setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya dan terbebas dari setiap keburukan yang dilarang-Nya.[93]
Paham keadilan menurut Mu’tazilah, mengandung kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Tuhan. Keadilan bukan hanya sebatas memberi ganjaran kepada yang berbuat baik dan hukuman kepada yan berbuat salah, akan tetapi mencakup kewajiban berbuat yang terbaik buat manusia, yang dikenal dengan paham al-Salah wa al-Ashlah. Dalam paham ini termasuklah kewajiban-kewajiban menepati janji-janji-Nya mengirimkan para rasul untuk menyampaikan petunjuk kepada manusia, memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya.[94]
2.3.3        Al-Wa’du wa al-Wa’id
Ajaran dasar ketiga ini erat sekali hubungannya dengan keadilan Tuhan sebagaimana telah diraikan diatas. Sebab bial Tuhan menjatuhkan siksaan kepada orang yang taat atau memasukkan orang yang berbuat maksiat kedalam syurga, maka perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan-Nya yang berarti telah menyalahi janji-Nya. Menurut al-Wa’du wa al-Wa’id ini, Tuhan mesti memberi kesenangan (pahala) keapad yang berbuat baik dan memberikan siksaan bagi yang berbuat maksiat. Bila tidak demikian, tentu Allah berdusta dan tidak menempati janji-Nya.[95]
Manusia diberi kemerdekaan oleh Tuhan untuk memilih perbuatan yang dikehendaki. Baik dan buruknya perbuatan manusia adalah hasil pilihannya sendiri. Karena itulah Allah menempatkannya di akhirat sesuai dengan hasil usahanya didunia ini. Kalau tidak demikian, berarti Tuhan tidak berlaku adil dan tidak memberi hak atas yang berhak.[96]
Mu’tazilah menolak adanya syafa’at (pengampunan) pada hari kiamat. Baik syafa’at nabi, para wali maupun rahmat Tuhan sendiri tidak dapat mengubah apa yang telah diputuskan oleh keadilan-Nya, karena hal ini akan membahayakan kebajikan-Nya dan membiarkan makhluk-Nya sama sekali tidak tahu akan nasibnya yang terakhir (sebenarnya).[97]
Seorang mukmin yang mati dengan segala ketaatannya dan penuh tobat, ia berhak akan pahala. Dan, barangsiapa mati tanpa bertobat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, ia akan kekal di neraka, tetapi siksaannya lebih ringan daripada orang kafir.[98]
Dengan demikian, tidak ada alternatif bagi Tuhan kecuali memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat, kecuali orang tersebut telah bertobat dengan sebenarnya. Dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa perbuatan Tuhan itu terkait dengan janji dan ancaman-Nya, dan bahwa mu’tazilah berusaha membawa manusia agar bermoral baik dan terpuji.
2.3.4        Al-Manzilah bain al-Manzilataini
Timbulnya ajaran Al-Manzilah bain al-Manzilataini adalah setelah terjadinya peristiwa antara wasil ibn ‘Atha dan temanya Amr ibn Ubaid dengan guruny Hasan al-Basri di Bashrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri di Masjid Bashrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang-orang yang melakukan dosa besar. Sebagaiman kaum khawarij memandang mereka kafir, sedangkan al-Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berpikir, wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,tetapi mengambil posisi diantara keduannya, tidak mukmin dan tidak pula kafir”.Yakni berada pada posisi diantara dua posisi.[99] Paham Al-Manzilah bain al-Manzilataini inilah ajaran Mu’tazilah yang paling awal.
Pembuat dosa besr, demikian Harun Nasution menjelaskan, tidaklah kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi ia juga bukan mukmin karena imannya tidak sempurna. Karena bukan mukmin ia tidak dapat masuk surga dan bukan kafir pula, ia sebenarnya tidak mesti masuk neraka. Ia harusnya ditempatkan diluar surga dan diluar neraka. Tetapi karena diakhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa besar,harus dimasukkan kedalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan paham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian, pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga. Tempat satu-satunya adalah neraka mendapatkan siksaan yang sama berat dengan orang kafir. Oleh karena itu,pembuat dosa besar,betul masuk neraka,tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan.[100]
Dari ajaran ini tamapak bahwa Mu’tazilah benar-benar mau meletakkan keadilan Tuhan dengan seadil-adilnya serta mendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan terutama dosa besar, sebab dosa besar dapat menyeret manusia kedalam neraka.
2.3.5        Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
Ajaran Mu’tazilah yang kelima ini lebih menitikberatkan pada aspek moral praktis dan politis (daripada aspek teologis).[101] Menurut ajaran tersebut, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat wajib dilakukan oleh setiap orang yang beriman apabila memenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut adalah:
a.         Ia mengetahui bahwa yang diperintahkan itu adlah memang suatu yang ma’ruf dan yang dilarang itu memang sesuatu yang munkar.
b.        Ia mengetahui bahwa kemungkaran itu nyat dilakukan orang.
c.         Ia mengetahui bahwa perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat itu tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
d.        Ia mengetahui atau setidaknya menyangka bahwa usahanya berhasil.
e.         Ia mengetahui atau setidaknya sudah mengira bahwa apa yang ia lakukan tidak akan membahayakan dirinya atau hartanya.[102]
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh golongan umat islam lainnya. Perbedaannya adalah dalam pelaksanaannya saja. Ada yang berpendapat bahwa perintah dan larangan cukup dijalankan dengan penjelasan dan seruan saja, dan ada yang berpendapat perlu dengan paksaan dan kekerasan.[103]
Kaum Khawarij dalam melaksanakan Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar ini dengan kekerasan yakni menggunakan pedang.[104] Maka dalam sejarah kaum Khawarij banyak menumpahkan darah. Adapun Murji’ah melaksanakannya tanpa kekerasan. Di sisi lain, Mu’tazilah menganggap bila sudah cukup dengan penjelasan, paksaan dan kekerasan tidak diperlukan lagi. Tetapi bila penjelasan tidak cukup, barulah memakai kekerasan, walaupun nantinya akan menimbulkan peperangan.[105] Hal ini terjadi di dalam peristiwa mihnah.
2.4    Al-Mihnah
Mihnah berasal dari kata mahana - yumhinu – mihnan yang berhasil yang berarti احتبرمو جربه  yang menguji, mengetes. Adapun al-Mihnah ما يمتحن الانسان من بلية[106] yaitu manusia yang di uji dengan cobaan. Menurut Hans Wehr al-Mihnah berarti Severe, trial, ordeal, tribulation[107], yaitu pemeriksaan keras, cobaan keras, kesengsaraan. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa mihnah adalah ujian, pemeriksaan, dan cobaan yang berat yang mengakibatkan kesengsaraan.
Dalam pengertian lebih lanjut, mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadi’ dan penjabat serta tokoh masyarakat agar mereka menerima paham bahwa Al-Qur’an diciptakan, sebagaimana dianut kaum Mu’tazilah. Bagi para qadi’ yang menyatakan pandangannya sesuai dengan Mu’tazilah dalam hal diciptakannya Al-Qur’an itu, dapat melanjutkan jabatannya dan mereka di pandang sah kesaksiaannya di pengadilan.[108] Paham tentang kemakhlukan Al-Qur’an sebenarnya merupakan konsekuensi dari ajaran Mu’tazilah tentang al-tauhid. Tuhan dalam paham mereka akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan satu zat yang unik tidak ada yang serupa dengan-Nya. Mereka menolak paham antropomorfisme yaitu menggambarkan Tuhan dekat dengan makhluknya. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya ialah sifat qadim. Hanya zat Tuhan yang boleh qadim.[109] Mengakui Al-Qur’an qodim adalah syirik, karena berarti ada yang qodim selain Allah.
Khalifah al-Ma’mun, putra khalifah Haun al-Rasyid, setelah menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai paham resmi yang dianut negara, lalu beliau mengumumkan pula tentang kemakhlukan Al-Qur’an.[110]
Sebenarnya paham tentang kemakhlukan Al-Qur’an ini sudah ada pada masa khalifah Bani Umayyah terakhir, Mawan bin Muhammad. Paham ini di lontarkan oleh Ja’ad ibn Dirham, guru Marwan. Ja’ad memperolehnya dari Thalut bin A’sham, seorang Yahudi. Ja’ad mempunyai murid bernama Jaham ibn Shafwan, yang kelak mempunyai pengaruh yang besar dalam pemikiran Mu’tazilah. Karena pahamnya tersebut,akhirnya ia di bunuh oleh Khalid ibn Abdillah al-Qasri, wali Kufah[111].
Pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, paham tentang kemakhlukan. al-Qur’an ini di kemukakan oleh Basyar al-Marisi Khalifah marah sekali sehingga beliau mengatakan ”kalau tuhan memberi panjang umurku dan aku bersua dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia”. Akhirnya Basyar al-Marisi menyembunyikan diri sampai khalifah meninggal dunia.[112]
Setelah mengumumkan kemakhlukan Al-Qur’an, Ma’mun melancarkan mihnah kepada para qadi’, para pejabat dan tokoh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meluruskan akidah warga negaranya, karena banyak para qadi yang juga meyakini qadim-nya Al-Qur’an, padahal mereka harus dapat dipercaya.Yang dapat dipercaya hanyalah yang benar imannya.[113]
Pelaksanaan mihnah dijelaskan oleh Harun Nasution sebagai berikut : Perintah untuk menguji dan memeriksa itu dalam bentuk instruksi pemerintah kepada gubernurnya. Yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim(al-Qudah). Instruksi ini menjelaskan bahwa orang yang mengakui al-Qur’an itu bersifat qadim, dan dengan demikian menjadi musyrik, tidak berhak untuk menjadi hakim. Bukan para hakim dan para pemuka saja yang dipaksa mengakui bahwa al-Qur’an diciptakan; yang menjadi saksi dalam perkara yang diajukan Makhamah juga harus menganut paham demikian. Jika tidak kesaksiaannya batal. Kemudian ujian serupa dihadapkan pula kepada para pemuka tertentu dari masyarakat, karena yang memimpin masyarakat haruslah orang yang betul-betul menganut paham tauhid. Ahli fiqih dan Hadist di waktu itu mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya al-Qur’an, tentu banyak dari rakyat yang mengikuti ajaran Mu’tazilah.
Langkah pertama yang dilakukan al-Ma’mun adalah menulis surat kepada Ishak ibn Mush’ab, Gubernur Baghdad, pada bulan Rabi al-awal 218 H. Surat tersebut berisi antara lain tentang kemakhlukan Al-Qur’an dan agar menguji para qadi dan ahli Hadist. Surat yang sama juga dikirimkan kepada Gubernur Mesir, Kaidar.[114] Beliau menguji Harun ibn Abdullah al-Zuhri, qadi Mesir waktu itu. Dalam jawabannya mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Makhluk. Selanjutnya ia menguji para saksi dan muhaditsin.[115]
Surat kedua dikirimkan kepada Ishak ibn Ibrahim, Gubernur Baghdad untuk menguji tujuh orang muhadistin yaitu Muhammad ibn Sa’ad, Abu Muslim, Yahya ibn Ma’in Zuhair ibn Harb Abu Kaitsamah, Ismail ibn Daud, Ismail ibn Ali Mas’ud, dan Ahmad ibn Ibrahim al-Dauraqi. Dalam pengujian itu, mereka semua menjawab bahwa Al-Qur’an makhluk. Lalu mereka dikembalikan ke Baghdad.[116]
Kekelahan tujuh orang ortodoks ini membuat Ibn Hanbal sedih yang amat mendalam. Dia berpendapat sekiranya mereka bersabar dan tetap pada pendiriannya, mihnah pasti tidak akan kedengeran lagi di Baghdad[117]. Kalau demikian halnya, kemungkinan tujuh orang ini melakukan taqiah.
Surat ketiga dikirimkan kepada Ishak ibn Ibrahim untuk menguji para penjabat pemerintah, fuqaha dan muhadistsin. Kemudian Ishak memanggil para pejabat fuqaha dan muhadistsin. Dari pengujian tersebut banyak diantara mereka yang memberikan jawaban tidak tegas sebagai upaya mengelak mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk, dan tidak pula terang-terangan mengatakan qadim. Ini agaknya dilakukan sebagai upaya untuk menghindari siksaan, diantaranya Bisyr ibn Wali, Ali ibn Abi Muqatal, Ibn Hanbal, dan Ibn al-Bakka.[118]
Hasil ujian tersebut dikirim kepada Khalifah al-Ma’mun. Ternyata Khalifah tidak puas terhadap jawaban mereka yang tidak tegas. Khalifah memerintahkan Gubernur Ishak untuk memanggil kembali Basyar ibn Walid dan Ibrahim ibn Mahdi. Jika mereka menerima, dibebaskan, jika menolak, maka akan dibunuh.[119]
Khalifah Ma’mun masih tetap marah sehingga Ishak mengumpulkan kembali 30 orang terdiri dari qadi, Muhadist, dan fuqaha. Lalu mereka diuji. Mereka menerima bahwa al-Qur’an makhluk, kecuali empat orang, yaitu: Ahmad ibn Hanbal, Sajadah, Qowariri, dan Muhammad ibn Nuh. Mereka kemudian dibelenggu, Iskhak lalu menguji mereka kembali. Dalam ujian ini Sajadah mengakui kemakhlukan al-Qur’an, lalu ia dilepaskan. Hari berikutnya al-Qawariri juga mengakui kemakhlukan al-Qur’an dan persoalannya selesai. Kecuali Ahmad ibn Hanbal dan Abdullah ibn Nuh yang tetap pada pendiriannya. Dengan tangan terbelenggu, keduanya dikirim kepada khalifah di Tarsus. Namun mereka belum sempat dihadapkan langsung kepada khalifah, karena beliau telah wafat sebelum keduanya sampai di sana. Ahmad ibn Hanbal dan Abdullah ibn Nuh dikembalikan ke Baghdad. Dalam perjalanan pulang ini Muhammad meninggal dunia.[120]
Dengan meninggalnya Khalifah al-Ma’mun, tidak berarti pengujian dan penyiksaan terhadap Ahmad ibn Hanbal juga selesai. Khalifah Mu’tasim melanjutkan ujian-ujian tersebut. Karena keras kepada pendiriannnya Ahmad ibn Hanbal didera dan dimasukkan ke dalam penjara.[121]
Setelah Mu’tashim wafat pada tahun 842 M, penggantinya al-Wasiq, seorang yang mempunyai pengetahuan luas dan diberi nama Ma’mun kecil, melanjutkan mihnah bukan saja kepada para fuqaha dan muhaddist, tetapi juga kepada seluruh rakyat, sehingga penjara penuh dengan orang-orang yang menolak kemakhlukan al-Qur’an.[122] Akan tetapi, al-Wasiq tidak melakukan kekerasan kepada Ahmad ibn Hanbal, hanya melarang tinggal di negeri itu. Ahmad ibn Hanbal lalu menyembunyikan diri sampai al-Wasiq wafat.[123] Tampaknya al-Wasiq takut menimbulkan kekacauan, karena ibn Hanbal ini banyak pengikutnya.
Al-Mutawakkil mulai memerintah tahun 847 M, menggantikan al-Wasiq dan mihnah masih tetap ada selama dua tahun.[124] Akhirnya Al-Mutawakkil, membatalkan mihnah pada tahun 848 M. Dengan demikian, selesailah riwayat mihnah yang ditimbulkan kaum Mu’tazilah dan dari ketika itu mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah.[125]
2.5    Sejarah Perkembangan Mu’tazilah Selanjutnya  Sebagai Aliran
Dengan adanya mihnah yang dijalankan oleh kaum mu’tazilah terhadap kelompok lain yang sepaham dengannya, ternyata membawa dampak yang kurang menguntungkan baginya sebagai suatu aliran. Meraka tantangan keras dari umat islam lain  mereka berusaha di abad kesembilan untuk melaksanakan paham-paham mereka dengan memakain kekerasan pada umat islam yang ada pada waktu itu.[126] Setelah kejadian itu kaum mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti.[127] Pemikiran rasional dan sikap kekerasan mereka membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam islam.[128] Sejak itu pengaruh mu’tazilah mulai menurun, terutama setelah al-mutawakkil yang menganut paham al-Quran qadim, menghapuskan mihnah. Mu’tazilah mengalami tekanan berat. Rasionalisme dilarang selanjutnya ia menindas para cendekiawan mu’tazilah. Buku-buku mereka dibakar dan kekuatan mereka dicerai beraikan sehingga tidak ada lagi aliran mu’tazilah sebagai golongan.
Pada zaman berkuasanya dinasti Buwaih (945-1055 M) mu’tazilah naik kembali. Di zaman ini orang-orang mu’tazilah mulai kembali menduduki posisi-posisi penting dalam negara. Juga diadakan majelis-majelis besar untuk mengajarkan aliran mu’tazilah. Aliran ini mendapat sokongan dari Sahib ibn Abbad, perdana menteri dari Sultan Fakhr al-Dawlah.[129]
Dinasti buwaih beraliran syi’ah dalam teologi syi’ah dan mu’tazilah mempunyai paham-paham dasar yang sama. Golongan syi’ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat, dan bagi golongan yang serupa ini teologi yang berdasar pada rasio seperti yang dianjurkan kaum mu’tazilah lebih sesuai daripada aliran teologi yang banyak bersifat tradisional seperti yang ditimbulkan oleh Asy’ari.[130] Filsuf-filsuf besar umumnya hidup di zaman ini seperti al-Farabi, ibn Maskawaih, al-Ghazali, al-Biruni, dan Ibnu Haitami.
Sewaktu dinasti Buwaih digulingkan oleh Tughril dari dinasti saljuk di tahun 1055, kedudukan mu’tazilah belum mengalami perubahan.[131] Perdana menteri Abu Nashr Muhammad ibn Mansur yang beraliran Mu’tazilah memberi dukungannya kepada Mu’tazilah. Dengan meninggalnya Tughril Bek, Mu’tazilah menurun kembali karena penggantinya Alp Arselan mengangkat Nizham al-Mulk, seorang penganut Asy’ariah menjadi perdana menteri.
Semenjak itu nama Mu’tazilah berangsur-angsur hilang sebagai aliran. Lebih kurang selama Tujuh abad nama Mu’tazilah tidak terdengar lagi baru pada abad kesembilan belas Mu’tazilah muncul kembali, tetapi tidak dalam bentuk aliran. Pemikiran-pemikiran Mu’tazilah mulai muncul kembali oleh para pemuka pembaruan terutama Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Sayyid Ahmad Khan.[132] Atas pengaruh merekalah pandangan orang terhadap Mu’tazilah mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang, bahkan aliran ulama mulai membela kaum Mu’tazilah, seperti Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam dan Dluha al-Islam, Ali Sami al-Nasysyar dalam Nas’yah al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam, Syeh Muhammad Yusuf Musa dalam al-Quran wa al-Falsafah, Syeh Muhammad Abu Zahrah dalam kitab al-Madzahib al-Islamiyah, dan Syeh Ali Mustafa Al-Ghurabi dalam Tarikh al-Firaqal-Islamiyah.[133]
Di Indonesia Pemikiran Mu’tazilah sudah lama diminati. Para tokoh pembaru K.H Ahmad Dahlan, H.Agus Salim kebanyakan di pengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Demikian juga tokoh-tokoh lain seperti Hamka, Harun Nasution, Nurcholish Madjid.
2.6    Penilaian Orang Terhadap Aliran Mu’tazilah
Kehadiran dan peranan Mu’tazilah telah disoroti oleh para pakar secara kontroversial. Ada yang menyorotnya secara positif dan ada pula yang secara negatif. Oleh para pendukung, kata Mu’tazilah diberi konotasi yang baik, yaitu orang-orang yang memisahkan diri dan kebatilan. Adapun pihak-pihak lawannya memberikan konotasi negatif, yang berarti orang-orang yang memisahkan diri dari kebenaran atau dengan kata lain, kelompok orang-orang yang sesat.
Sorotan positif dapat dijumpai terutama dari para penulis modern seperti Ahmad Amin, Syeh Mustafa al-Ghurabi, dan sebagainya. Ahmad Amin menilai bahwa Mu’tazilah adalah golongan pertama yang menggunakan senjata yang digunakan oleh lawan islam seperti kaum Yahudi, Kristen, Majusi, dan kaum materialis, dalam mengikis serangan-serangan terhadap Islam pada permulaan kerajaan Bani Abbasiyah. Mu’tazilah mempunyai andil besar dalam melawan musuh-musuh Islam. Al-Ghurabi menilai bahwa Mu’tazilah adalah suatu golongan yang ditakdirkan oleh Allah untuk bangkit membela Islam. Jika tidak demikian, mungkin Ilmu Kalam tidak akan muncul dengan kekayaan yang besar dan kita tidak bisa membeli Islam dari serangan-serangan orang luar.[134]
Demikian pula analisis yang lebih menarik yaitu pernyataan W. Montgomery Watt, seorang orientalis non-Muslim dalam bukunya Islamic Theology and Phylosophy, beliau menulis: Kaum Mu’tazilah sebagai pemikir bebas Islam. Islam akan lebij cocok bagi orang-orang Eropa seandainya saja kaum Mu’tazilah tidak digantikan oleh golongan Asy’ariyah dan golongan serupa lainnya yang kering kerontang dan sangat tertutup.
Al-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal menyatakan, ada keterangan lain menyebutkan, orang-orang yang memisahkan diri dari suatu kelompok atau jama’ah dapat saja disebut Mu’tazilah atau Mu’tazilin. Dari itu kelompok orang yang tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian politik di masa Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan masa-masa sesudahnya yang hanya menekuni soal-soal ilmu pengetahuan dan ibadah di masjid dinamai Mu’tazilah.[135]
Dalam kaitan ini Ahmad Amin menyatakan, ada segi persamaan antara Mu’tazilah awal dengan Mu’tazilah Wasil. Mu’tazilah awal mempunyai corak politik, menjauhi pertikaian antara ali dan lawan-lawannya, begitu pula Mu’tazilah Wasil mempunyai corak politik, karena mereka juga membahas praktik-praktik politik yang dilakukan oleh Ustman, Ali, Mu’awiyah, dan sebagainya. Perbedaan antara kedua adalah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persolan teologi dan falsafat kedalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka. Pendapat Ahmad Amin sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh C.A.Naliino yang menyatakan bahwa golongan Wasil adalah golongan yang berdiri netral diantara Khawarij yang memandang Ali dan Mu’awiyah dan orang yang berdosa besar lainnya kafir, dan Murjiah yang memandang mereka tetap mukmin. Menurut Nallino, golongan Mutazilah yang mempunyai kedua hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah yang pertama atau dapat dikatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama.[136]
Sorotan Negatif terhadap Mu’tazilah dapat dijumpai pada pendapat Kiai Haju Sirajjudin Abbas yang menggambarkan Mu’tazilah sebagai suatu kaum yang membikin heboh dunia Islam pada abad-abad permulaan Islam, pernah membunuh ulama-ulama Islam seperti Syeh Buwaithi, pengganti Imam Syafi’i dalam peristiwa Qur’an makhluk.[137]
Selain itu menurut beliau: “Imam Ahmad ibn Hanbal, pembangunan Madzhab Hambali, mengalami pula siksaan dalam penjara selama lima belas tahun, akibat peristiwa itu”.[138] Selanjutnya Sirajjudin Abbas mengatakan Mu’tazilah banyak menggunakan akal, bukan mengutamakan Qur’an dan Hadist, Mu’tazilah dianggapnya sebagai golongan yang sesat dan tergelincir dalam arti yang sebenarnya.



BAB III
PENUTUP
            Aliran Mu’tazilah timbul dari suasana politik pada peristiwa tahkim di zaman Khalifah Ali, lalu dari peristiwa ini menjurus kepada bidang teologi. Aliran Mu’tazilah menampakkan diri setelah adanya dua sikap paham teologi sebelumnya yakni Khawarij dan Murjiah yang banyak membicarakan tentang perbuatan dosa besar.
Wasil bin ‘Atha adalah pendiri dan tokoh utama dari Aliran Mu’tazilah secara peletak dasar dasar aliran ini yang dikenal dengan Ushul al-Khamsah.
Kaum Mu’tazilah (kaum rasionalis islam) mempunyai jasa yang besar dalam mempertahankan serangan-serangan jasa yang datang dari luar yang terjadi di zaman itu. Mereka mempunyai lima ajaran dasar (Pancasila), yaitu al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’duwa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilataini, dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa alNahyu ‘an al-Munkar. Kelima sila ini harus dipakai secara utuh.
Dalam menyiarkan ajaran-ajarannya, mereka suka menggunakan kekerasan. Hal ini terlihat dengan dilancarkannya apa yang disebut mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquistion) yang dengan ini orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dikejar-kejar dan disiksa. Ini terjadi pertama kali pada masa Khalifah Abbasiyah al-Ma’mun, kemudian dilanjutkan oleh al-Mu’tasim dan al-Wasiq.
Mihnah bertitik tolak dari argumentasi bahwa syirik adalah dosa besar yang tidak bisa diampuni. Mengakui al-Qur’an qadim (kekal) adalah syirik, karena yang qadim hanya satu yaitu Allah. Selain dari Allah adalah baru (Hadist), al-Qur’an adalah ciptaan Allah, karena itu al-Qur’an baru.[139]
Mihnah dilancarkan kepada penguasa untuk menguji apakah apakah mereka telah musyrik, dengan sebab mengakui al-Qur’an qadim, karena seorang musyrik tidak dapat dijadikan pemimpin. Namun sayang, mihanh membawa dampak negatif bagi perkembangan Mu’tazilah selanjutnya sebagai aliran.

DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Abr, Abdul Latiif Muhammad. t.th. Al-Ushul al-Fikriyah li al-Mahzhab Ahli as-Sunnah. Kairo: Dar al-Nadhlah.
Abbas, Sirajudin. 1991. I’tiqad Ahlusunnah wa al-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Abu Zahrah, Muhammad Ahmad. t.th. Al-Mazahib al-Islamiyah. Al-Maktabah al-Mahmudah.
Al-Baghdadi. t.th. Al-Farq bain al-Firaq. Kairo: Maktabah Subeih.
Al-Ghurabi. 1950. Ali Mustafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Muhammad Ali Shabah.
A History of Muslim Philosophy”. Congress Pakistan Philosophical. Germany: Allgiluer Heimatverlag Gmbh.
Al-Jabbar, al-Qodi Abd. 1965. Syekh al-Usul al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbiyah.
Al-Nasysyar, Ali Sami. 1996. Nast’at al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam. Mesir.
Al-Syahrastani, Abd. al-Karim ibn Muhammad. 1951. Al-Milal wa al-Nihal. Kaior: Dar al-Fikr.
Amin, Ahmad. 1936. Duha al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Mishiriyah.
Amin, Ahmad. 1965. Fajr al-Islam. Singapura: Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i.
Badawi, Abdurrahman. 1971. Mazahib al-Islamiyah. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
Badir’un, Faishal. 1982. ‘Ilm al-Kalam wa Madarisuhu, Mesir: Maktabah al-Mishriyah al-Haditsah.
Dahlan, Abdul Aziz. 1987. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Beunabi Cipta.
Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Gibb, H.A.R. dan JH. Kramers. 1974. Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: EJ. Brill.
Madjid, Nurcholish. 1988. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Ma’luf, Louis. 1973. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam. Beirut: Dar al-Masyriq.
Montgomery, Watt. 1987. Pemikiran Teoplogi dan Filsafat Islam. Terj., Umar Basalim. Jakarta: P3M.
Musthafa, Ali. 1950. Tarikh al-Firak al-Islamiyah. Kairo: Muhammad Ali Shabah.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakrta: UI-Press.
Nasution, Harun. 1974. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang.
Patton, Walter M. 1897. Ahmad Ibn Hanbal and al-Mihnah. Leiden: EJ. Brill.
Qosim, Mahmud. 1973. Dirasat fi al-Falsafat al-Islamiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif.
Subhi, Ahmad Mahmud. 1969. Fi’ilm al-Kalam: Dirasah Falsafiyah. Iskandariyah: Dar al-Kutub al-Jami’iyyah.
Syalabi, Ahmad. 1978. Muusu’ah fi al-Tarikh al-Islami wa al-Hadlarah al-Islamiyah. Mesir: Maktabah al-Nadlah.
Watt, W. Montgomery. 1987. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. (Terj. Umar Basalin, Jakarta: P3N.
Wehr, Hans. 1960. A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Coan (Ed.), Ithaca.
Zahrah, Abu. T.th. Al-Mazahib al-Islamiyah. Jil. I., Kairo: Maktabah al-Adab.



[1] Watt Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj., Umar Basalim, Jakarta:P3M. 1987, hlm. 7.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 6-7.
[3] Ibid, hlm. 7.
[4] Abdul Aziz Dahlan, sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, jakarta: Beunebi Cipta, 1987, hlm. 30.
[5] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 22-3.
[6] Muhammad Abd. Al-Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Kairo: Dar al-Fikr, 11.
[7] Ali Musthafa, Tarikh al-Firuk al-Islamiyah, Kairo: Muhammad Ali Shabah, 1950, hlm. 48.
[8] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo: al-Nahdah, 1965, hlm. 165.
[9] Harun nasution, Op. Cit., hlm. 38.
[10] Rasionalisme dalam Islam berbeda dengan rasionalisme Barat. Rasionalisme barat adalah satu paham yang mengakui kemutlakan rasio. Adapun dalam Islam hanya membenarkan relatif. Kebenaran yang mutlak datang dari wahyu. Kihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keisdonesiaan, Bandung: Mizan, 1988, hlm. 28-9.
[11] Al-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafifi al-Islam, Kairo, Juz I, hlm. 374.
[12] Ahmad Amin, Op. Cit., hlm. 158.
[13] Al-Nasysyar, Op. cit., hlm.375.
[14] Harun Nasution, Op. cit., hlm. 39.
[15] Yang dimaksud masalah politik adalah masalah pemilihan khalifah. Siapa sebenarnya yang terbaik untuk menjadi khalifah yang mengatur urusan umat Islam. Adapun masalah agama adalah hal-hal yang berhubungan denagn dasar-dasar akidah Islam.
[16] Ali Musthafa al-Ghurabi, Op. cit., hlm. 48-9.
[17] Al-Nasysyar, Op. cit., hlm. 430.
[18] Ahmad Mahmud Subhi, Fi’ilm al-Kalam: Dirasah Falsafiyah. Iskandariyah: Dar al-Kutub al-Jammi’iyyah, 1969, hlm. 75.
[19] Harun Nasution., Op. cit., hlm. 40.
[20] Ibid.
[21] Ali Musthafa al-Ghurabi, Op. cit., hlm. 101.
[22] Ibid, hlm. 48-9.
[23] Ibid
[24] Yang dimaksud dengan masalah politik dalam kalimat ini adalah masalah pemilihan Khalifah: Siapa sebenarnya yang berhak untuk menjadi Khalifah yang mengatur urusan umat Islam. Adapun masalah agama yang dimaksud adalah hal-hal yang ada hubungannya dengan pokok-pokok atau dasar-dasar akidah Islam.
[25] Abu Zahrah, al-Mazahib al-Islamiyah, Jil. I., Kairo: Maktabah al-Adab, t.thm., hlm. 138.
[26] Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam; Dirasah Falsafiyah, Iskandariyah: Dar al-Kutub, al-Jami’iyyah, 1969, hlm. 73.
[27] Al-Syahrastani, Op. cit., hlm. 47-8.
[28] Harun Nasution, Op. cit., hlm. 38.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Abdul Aziz Dahlan, Op. cit., hlm. 69.
[32] Mahmud Qasim, Dirasat fi al-Falsafat al-Islamiyah, Mesir: Dar al- Ma’arif, 1973, hlm. 161.
[33] Ahmad Mahmud Subhi, Op. cit., hlm. 80-1.
[34] Ibid., hlm. 75-6.
[35] Abdurrahman Badawi, Madahib al-Islamiyah, Beirut: Dar al-‘Ilm li al Malayyin, 1971, hlm. 41.
[36] Ibid, hlm. 81.
[37] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1983, hlm.43.
[38] Abdurrahman Badawi, Op. cit., hlm. 81-2
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Al-Syahrastani, Op. cit., hlm. 47-8.
[43] Al-Qodi Abd. Al-Jabbar, Syekh al-Usul al-Khomsah, Kairo: Maktabah Wabiyah, 1965, hlm. 666.
[44] Harun Nasution, Op. cit., hlm. 44.
[45] Al-Syahrastani, Op. cit.
[46][46] Harun Nasution, Op. cit., hlm. 46.
[47] Ibid.
[48] Al-Syahrastani, Op. cit.
[49] Harun Nasution, Op. cit.
[50] Ibid.
[51] Al-Nasysyar, Op. cit., hlm. 435.
[52] Al-Baghdadi, Al-Farq bain al-Firaq, Kairo: Maktabah Subeih, tt.
[53] Al-Syahrastani, Op. cit., hlm. 49.
[54] Harun Nasution, Op. cit., hlm. 45.
[55] “A History of Muslim Philosophy”., Congress Pakistan Philosophical, Germany: Allgiluer Heimatverlag Gmbh, hlm. 207.
[56] Ibid.
[57] Abdul Latif Muhammad al-‘Abr, Al-Ushul al-Fikriyah li al-Mazhab Ahli as-Sunnah, Kairo: Dar al-Nadhlah, tt, hlm. 102.
[58] Ali Mustafa al-Ghurabi, Op. cit., hlm. 183-4.
[59] Abdul Latif Muhammad al-‘Abr. Op. cit., hlm. 103.
[60] Ali Musthafa al-Ghurabi, Op. cit., hlm. 185.
[61] Abd. Al-Karim ibn Muhammad al-Syahrastani, Op. cit., hlm. 49-51.
[62] Abdul Latif Muhammad al-‘Abr, Op. cit., hlm. 121.
[63] Abdullah Badawi, Op.cit., hlm. 198.
[64] Ali Mustafa al-Ghurabi, Op.cit., hlm. 186.
[65] Abdul Latif Muhammad al-‘Abr, Op. cit., hlm. 133.
[66] Al-Syahrastani, Op. cit., hlm. 55-8.
[67] Abd. Al-Rahmah Badawi, Op. cit., hlm. 280.
[68] Ibid, hlm. 282.
[69] Ibid.
[70] Ibid, hlm. 290-324
[71] Ahmad Amin, Duha al-Islam, Kairo: al-Nahdah, 1964, hlm. 147.
[72] Al-Syahrastani, Op. Cit., hlm. 70-1
[73] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 38.
[74] Ahmad Amin, Op. Cit., hlm. 22.
[75] Abd. Al-Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1965, hlm. 6.
[76] Ahmad Amin, Op. Cit.
[77] Abd. Al-Jabbar, Op. Cit., hlm. 7.
[78] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 52.
[79] Ali Sami al-Nasysyar, Op. Cit., hlm, 422-3.
[80] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Op. Cit., hlm. 297.
[81] Al-Syahrastani, Op. Cit., hlm. 46.
[82] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 53-3
[83] Ali Mustafa al-Ghurabi, Op. Cit., hlm. 226.
[84] Abd. al-Jabbar, Op.cit., hlm. 227-8.
[85] Harun Nasution, Op.cit., hlm. 52.
[86] Abd. al-Jabbar, Op.cit., hlm. 253.
[87] Harun Nasution, Op.cit., hlm. 144.
[88] Ibid., hlm. 53.
[89] Abd. al-Jabbar, Op.cit., hlm. 132.
[90] Ibid., hlm. 133.
[91] Ibid.
[92] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, hlm. 85.
[93] Ali Sami al-Nasysyar, Op.cit., hlm. 434.
[94] Harun Nasution, Op.cit., hlm. 128.
[95] Faishal Badir’un, ‘Ilm al-Kalam wa Madarisuhu, Mesir: Maktabah al-Mishriyah al-Haditsah, 1982, hlm. 202.
[96] Ahmad Amin, Op. Cit., hlm. 63.
[97] Majid Fakhry, Op.cit., hlm. 128.
[98] Al-Syahrastani, Op.cit., hlm. 59.
[99] Ibid., hlm.48.
[100] Harun Nasution, Op.cit., hlm. 55.
[101] Ali Sami al-Nasysyar, Op.cit., hlm. 430.
[102] Abd. al-Jabbar, Op.cit., hlm. 142-3.
[103] Harun Nasution, Op.cit., hlm. 56.
[104] Ahmad Amin, Op.cit., hlm. 67.
[105] Faisal Badir’un, Op.cit., hlm. 225..
[106] Louis Ma’luf, a-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1973, hlm. 750.
[107] Hans Wehr,A Dictionary of Modern Written Arabic,J Milton Coan(Ed),Ithaca,1960.hlm.895
[108] H.A.R Gibb dan JH Kramers,Shorter Encyclopaedia of Islam,Leiden:EJ.Brill,1974,hlm.377.
[109] Harun Nasution,Op.Cit.,hlm.52.
[110] Ibid.,hlm.8.
[111] Ibid
[112] Ahmad Syalabi,Mausu’ah fi al-Tarikh al-Islami wa al-Hadlarah al-Islamiyah,Mesir:Maktabah al-Nadlah,1987,hlm.183.
[113] Harun Nasution,Op.,Cithlm.62.
[114] Walter M.Patton,Ahmad ibn Hanbal and al-Mihnah,Leiden:EJ.Brill,1897,hlm.56.
[115] Ibid,hlm.61-62
[116] Ahmad Amin,Op.,Cit.,hlm.170
[117] Walter M. Patton.,Op.,Cit.
[118] Ahmad Amin,Op.,Cit,hlm.170.
[119] Ibdi.hlm.176
[120] Ibid.,hlm.177.
[121] Harun Nasution,Op.,Cit.,hlm.63.
[122] Ahmad Amin,Op.,Cit.hlm.184.
[123] Muhammad Ahmad Abu Zahrah,Op.,Cit.,hlm.254.
[124] Walter M.Patton ,Op.,Cit,hlm.122.
[125] Harun Nasution,Op.,Cit.
[126] Harun Nasution,Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,Jakarta:Bulan Bintang,1974,hlm.40.
[127] W.Montgomery Watt,Op.,Cit.hlm.78.
[128] Harun Nasution,Islam,Op.,Cit.
[129] Harun Nasution,Teologi,hlm.74.
[130] Ibid
[131] Ibid
[132] Harun Nasution,Islam,hlm.43.
[133] Ibid
[134] Al-Ghurabi,Op.,Cit.hlm.263.

[135] Al-Syahrastani,Op.,Cit..
[136] Harun Nasution,Op.,Cit.hlm.41.
[137] Sirajjudin Abbas,Ihtiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah,Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1991,hlm 173.
[138] Ibid
[139] Harun Nasutin.Op.,Cit.hlm.54 dan 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar