Pemikiran Teologi Mu’tazilah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teologi Islam
Dosen pengampu :
Abdurrahman
Disusun
oleh :
1. Syamsudin (150721100029)
2. Alfu Hikmah (150721100071)
3. Zakiyatur Rahmah (150721100126)
4. Rahila Amanatul Ummah (150721100139)
EKONOMI
SYARIAH (A)
FAKULTAS
ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
TAHUN
AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan
hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen pengampu mata kuliah
Teologi Islam yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada
kami, dan tidak luput juga kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman
yang ikut menyumbang pikirannya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Kami
memohon maaf kepada bapak dosen pengampu mata kuliah Teologi Islam
khususnya dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya,
kami mengharap kritik dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua pembaca
demi lebih baiknya makalah ini.
Bangkalan,
11 April 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman Judul....................................................................................................... i
Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah.............................................................. 2
2.2
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Dan Pemikirannya.................................................. 11
2.3
Ushul Al-Khomsah.......................................................................................... 25
2.4
Al-Mihnah....................................................................................................... 34
2.5 Sejarah
Perkembangan Mu’tazilah Selanjutnya
Sebagai Aliran..................... 39
2.6 Penilaian Orang
Terhadap Aliran Mu’tazilah.................................................. 40
BAB
III PENUTUP............................................................................................. 43
Daftar
Pustaka....................................................................................................... 44
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Aliran
Muktazilah (i'tazala anna; "memisahkan diri") muncul di Basra, Irak, pada abad 2 H. Kelahirannya
bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M)
berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena
perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat
bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Wasil bin Atha' berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Ajaran
Mu'taziliyah kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni karena aliran ini beranggapan bahwa
akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Oleh karena itu, penganut aliran
ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Alquran secara lebih bebas
dibanding kebanyakan umat muslim. Muktazilah memiliki lima ajaran utama yang
disebut ushul al-khamsah.
Aliran
Muktazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang
menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia
sendirilah yang menciptakannya.
Pada saat
Imam Hasan al-Basri sedang mengajar di mesjid, ada seseorang bertanya
tentang para pendosa, apakah masih beriman atau telah kafir. Diapun diam
sejenak untuk berfikir. Saat itulah Wasil bin Atha' menjawab
bahwa para pendosa berada di antara mu'min dan kafir. Kemudian ia membentuk
jemaah baru di sudut lain mesjid. Imam Hasan al-Basri berkata
"Ia telah i'tizal (mengasingkan diri) dari kita. Jadi mu'tazilah adalah
orang yang mengasingkan diri dari Imam Hasan al-Basri, sesuai
dengan perkataan dia tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Bagaimana sejarah
timbulnya aliran Mu’tazilah
1.2.2
Siapa saja
tokoh-tokoh Mu’tazilah dan pemikirannya
1.2.3
Apa itu Ushul
Al-Khomsah dalam aliran Mu’tazilah
1.2.4
Apa itu
Al-Mihnah dalam aliran Mu’tazilah
1.2.5
Bagaimana
sejarah perkembangan Mu’tazilah selanjutnya
sebagai aliran
1.2.6
Bagaimana penilaian
orang terhadap aliran Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah
Timbulnya Aliran Mu’tazilah
Kematian
Usman bin Affan membawa perubahan bagi umat Islam, sebaba sejak saat itu umat
Islam berselisih, berpecah belah dan bergolong-golongann serta berebut kekuasaan,
dan sejak itu juga perang demi perang antar sesama umat Islam terjadi dan sulit
untuk dihentikan.[1]
Perselisihan
dan perpecahan yang berawal pada maslah politik yakni masalah khilafah
segera pula menjurus kepada masalah akidah dan keyakinan. Peperangan yang
timbula antara Ali Ibn Abi Thalib selaku khilafah keempat dan Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan, sebagai Gubernur Damsyik, yang menganggap Ali bertanggung jawab atas
kematian Usman, dicoba menyelesaikannya dengan jalan tahkim, yaitu jalan
damai yang biasa dilakukan pada zaman sebelum merdeka.
Sebagian
golongan Ali tidak setuju dengan jalan damai dalam menyelesaikan masalah
tersebut, karena mereka melihat kemenangan dalam genggaman mereka dan
kemenangan dalam peprangan berarti mendapatkan harta rampasan dan dibagi kepada
semua yang ikut berperang. Melihat kondisi demikian mereka meninggalkan barisan
Ali dan membuat kelompok sendiri yang kemudian dikenak dengan kaum Khawarij.[2]
Nama Khawarij ini adalah bentuk jamak dari kharij yang berarti orang
keluar, dalam hal ini orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Persoalan-persoalan
yang terjadi di lapangan politik ini sebagaimana yang digambarkan di atas
akhirnya menjurus ke lapangan akidah. Timbullah permasalahan siapa yang kafir
dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan
siapa yang masih tetap dalam Islam.[3]
Khawarij berpendapat bahwa Ali, Mu’awiyah, serta perantara mereka Amr ibn
al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan lainnya yang menerima tahkim adalah
kafir, karena mereka mengikuti kembali tradisi jahiliyah dan tidak dengan pergi
kepada al- Qur’an. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat 44 dari surah al-
Maa’idah yang mengatakan:
وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ آللَهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ آلْكَفِرُونَ
Siapa
yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, adalah
kafir. Semua mereka yang dikafirkan oleh kaum Khawarij itu adalah dengan
alasan; telah melakukan dosa besar. Paham yang umum mereka anut adalah; siapa
yang melakukan dosa besar adalah kafir.[4]
Sebagai
reaksi terhadap pandangan Khawarij yang sempit ini timbullah golongan Mur’jiah
yang berpendapat bahwa pembuat dosa besar, tidaklah kafir, tetapi tetap mukmin
dan Islam. Adapun tentang dosa besar yang telah dilakukannya tidak bisa
diselesaikan oleh manusia di dunia ini, tetapi ditunda dan diserahkan
penyelesaiannya pada Allah di hari perhitungan nanti.[5]
Dalam
pendapat kaum Mur’jiah yang terpenting dalam soal iman dan kufur adalah
penagkuan yang terdapat dalam hati, bukan perbuatan anggota tubuh, dan perbuatan
tidak bisa menghilangkan iman dalam hati.[6]
Pendapat kaum ini bertentangan dengan kaum khawarij yang berpendapat bahwa
perbuatan dapat menghilangkan iman dari hati. Pemberian anam Mur’jiah karena
penundaan masalah pembuat dosa besar ke Hari Perhitungan dan mungkin juga
penghargaan bagi pembuat dosa besar untuk dapat masuk surga. Mur’jiah berasal
dari kata arjaa yang berarti menunda dan berharap.
Dalam
permasalahan apakah seorang pembuat dosa besar berubah status menjadi kafir
atau tetap berada dalam keimanan ini timbul pula pendapatb baru di saat ulam
Hasan al-Basri (642-728 M) menyampaikan kuliahnya. Pendapat atau pandangan baru
ini diungkapkan oleh muridnya, Wasil Ibn ‘Atha yang menegaskan bahwa, “Pembuat
dosa besar tidak kafir dan tidak mukmin, tetapi fasik.” Kemudian dia
meninggalkan majelis gurunya dan membentuk majeli sendiri untuk menyebarkan dan
mengembangkan pandangan-pandangannya tersebut. Atas peristiwa ini Hasan
al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala Wasil).”
Dari sini dia dan teman-temannya dinamakan al-Mu’tazilah.[7]
Wasil
memberi alasan pandangannya bahwa kata mukmin adalah nama yang mengandung
pujian dan pelaku dosa besar bukanlah terpuji. Begitu pula sebaliknya, pembuat
dosa besar bukan kafir, karena di masih mengakui dua kalimah syahadat.
Karena dia tidak mukmin dan tidak kafir, maka dia menempati posisi di antara
keduanya. Pandangan ini kemudian dikenal dengan al-Manzilah bain
al-Manzilatai.[8]
Mulai
dari sinilah berkembang pemikiran-pemikiran rasional yang tidak dapat dibendung
dan Wasil pun sangat kukuhdengan pendapat-pendapatnya yang baru, antara lain
1). Nafy Sifat al-bari (meniadakan sifat-sifat Tuhan); 2). al-‘Adl
(keadilan Tuhan); 3) I (tempat di antara dua tempat); 4). Kedua kelompok yang
bertikai pada peristiwa “Jamal” salah satunya ada yang salah.
Wasil
mempunyai murud-murid, antara lain al-Hasan ibn Zakwah, Hafs ibn Salim, Utsman
al-Thawil, dan lain-lain. Kemudian murid-murid Wasil itu pun mempunyai
murid-murid pula menjadi tokoh-tokoh Mu’tazilah ini seperti Abu
Huzailal-‘Allaf, al-Nazzam, al-Juba’i, dan lain-lain.
Pemikiran
mereka merupakan kontinuitas dari pemikiran rasional pengikut Mu’tazilah tetapi
ada bebrapa penafsiran yang agak berbeda dan ada pula yang berfungsi sebagai
penjelas.
2.1.1
Asal
Usul Nama Mu’tazilah
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum
Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[9]
Tulisan Harun Nasution ini senada dengan tulisan Nurcholish Madjid yang memberi
alasan atas kerasionalan aliran ini. Mu’tazilah dijuluki dengan Rasionalis
dalam Islam.[10]
Nama
Mu’tazilah yang diberikan kepada kaum/aliran ini berasal dari kata I’tizala
atau I’tizal yang berarti memisahkan atau mengasisngkan diri. Banyak
pendapat dan teori dari berbagai literatur yamg membahas asal usul dan sebab
penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah. Al-Syahrastani: memreka memberi nama
Mu’tazilah karena Wasil Ibn ‘Atha dan ‘Amr Ibn ‘Ubaid memisahkan diri dari
kuliah Hasan al-Basri dan menegaskan kembali pandangan mereka tentang pembuat
dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi berada di antara dua posisi
tersebut. Saat itu mereka disebut Mu’tazilah.[11]
Memisahkan/mengasingkan
diri dalam uraian di atas bisa berarti mengasingkan diri dari pendapat Khawarij
dan pendapat Murji’ah atau pendapat umum saat itu. Karena Warsil dan ‘Amr
memisahkan diri dari pendapat umum mengenai persoalan qodar dan pembuat
dosa besar, maka saat itu mereka digelari dengan Mu’tazilah. Menurut mereka
pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir. Pendapat al-Baghdadi ini
senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh al-Syam’ani.[12]
Ada
gamabaran lain yang diberikan oleh tasy Kubra Zadah. Pada suatu ahri Qotadah
Ibn Da’amah masuk Masjid Basrah dan memasuki majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang
disangkanya mejelis Hasan al-Basri, ia langsung berdir dan pergi sambil
berkata: “ini kaum Mu’tazilah”, sejak saat itu mereka disebut kaum Mu’tazilah.[13]
Keterangan
lain diberikan oleh al-Mas’udi yang tidak mempertalikan pemberian nama
Mu’tazilah dengan peristiwa pertiakaian paham antara Wasil dan ‘Amr di satu
pihak dan Hasan al-Basri di pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena
mereka berpendapat bahwa pembuat dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir,
tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu. Menurut versi ini mereka
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka membuata orang yang berdosa besar jauh
dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.[14]
Menurut
pendapat lain, nama Mu’tazlah bukan berasal dari ucapan hasan al-Basri tersebut,
tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orang-orang yang
mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi di masa Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib. Mereka lebih memusatkan perhatian pada agama, ibadah
dan ilmu pengetahuan.[15]
Abu al-Fida berpendapat bahwa kata I’tazala dan Mu’tazilah telah
dipakai sejak saat itu.[16]
Selanjutnya
siapa sebenarnya yang memberi nama Mu’tazilah kepada Wasil dan para pengikutnya
tidak pula jelas. Ada yang ,engatakan golongan lawanlah yang memberi nama itu
kepada mereka. Orang Mu’tazilah sendiri tidak menolak nama Mu’tazilah itu.
Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa
mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadi ‘Abd. Al-Jabbar,
di dalam al-Qur’an terdapat kata I’tazala yang mnegandung arti
mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar. Dengan demikian, kata
Mu’tazilah mengandung arti pujian.[17]
Contoh ayat al-Qur’an yang mengandung arti demikian adalah ayat yang terdapat
dalam surah ad-Dukhaan ayat 21:
وَإِن
لَّم تُؤْمِنُوالِى فَآعْتَزِلُوْنِ
Dan menurut
keterangan seorang pemimpin Mu’tazilah lain, Ibnu al-Murtada, nama Mu’tazilah
itu bukan diberikan oleh orang lain tetapi orang Mu’tazilah sendirilah yang
menciptakan nama itu.[18]
Bahkan
kaum ini lebih menyenangi panggilan Ahl al-Adl, karena kaum ini sangat
mempertahankan keadilan Tuhan, dan Ahl al-Tawhid wa al-Adl, karena kaum
ini juga mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Tidak ketinggalan
pihak lawan juga memberi nama Qadariyah, karena mereka mengenut paham kebebasan
bertindak sesuai kemauan dan kehendak manusia sendiri (free will and free act),
nama Mu’tazilah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tiak mempunyai sifat
dalam arti sifat mempunyai wujud di luar Dzat Tuhan, dan nama al-Wa’idah,
karena pendapat mereka tentang ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak
patuhadalah pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa dari mereka.[19]
Dari
beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nama Mu’tazilah telah ada
semenjak pemerintahan Khalifah Usman dan pertentangan Khalifah Ali dengan
Mu’awiyah yang dalam masalah politik (tahkim). Nama Mu’tazilah diberikan
kepada kaum yang memisahkan diri dari pertentangan politik dan lebih
mendekatkan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama seperti dua orang
cucu Nabi yakni Abu Hasyim Abdullah, al-Hasan Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiyah
disebut Mu’tazilah Pertama. Adapun Wasil bin ‘Atha dan para pengikutnya yang
memisahkan diri dari pemahaman gurunya tentang pembuat dosa besar disebut
dengan Mu’tazilah Kedua.
Perbedaan
yang jelas kedua Mu’tazilah ini bisa dilihat dari keberadaan Mu’tazilah itu
sendiri pada masanya. Mu’tazilah Pertama lebih bercorak politik. Mu’tazilah
Kedua sudah menambahkan persoalan-persoalan teologin dan filsafat ke dalam
ajaran dan pemikiran mereka.
Sekilas
tentang Wasil bin ‘Atha, dia adalah tokoh utama yang membangun aliran
Mu’tazilah dilahirkan di Madinah pada tahun 80 H dan wafat di Basrah pada tahun
131 H. Di Madinah dia belajar pada Abu Hasyim Abdullah dan setelah pergi ke
Basrah dia belajar pada Hasan al-Basri.[20]
Setelah memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Basri, dia menjelma pula menjadi
seorang tokoh yang sibuk memberi pengajaran dan banyak melakukan shalat serta
menela’ah dan memahami al-Qur’an, dia adalah seorang yang bertakwa kepada Allah,
pengetahuan agamanya luas, kelancaran bicaranya sulit ditandingi, kemampuan
untuk berdebat sangat tinggi. Selain banyak melakukan perdebatan denagn
kalangan-kalangan non-Muslim atau orang islam sendiri yang tidak sepaham
dengannya. Ia giat sekali mengirim para da’i ke berbagai daerah dalam rangka
menyiarkan ajaran Islam dan membelanya dari serangan pihak non-Muslim.[21]
2.1.2
Penamaan
dan Pengertian Mu’tazilah
Secara
harfiah, kata I’tazala berarti berpisah, memisahkan diri, menjauhi atau
menyisihkan diri. Mu’tazilah atau Mu’tazilin berari orang-orang yang memisahkan
diri atau menyisihkan diri. Menurut arti ini, setiap irang yang memisahkan diri
dari suatu jama’ah disebut Mu’tazilah atau Mu’tazilin.
Kata
Mu’tazilah atau Mu’tazilin terkadang dipakai untuk menyebut sekelompok sahabat
yang menjauhkan diri dari pertikaian antara golongan pendukung Ali ibn Abi
Thalib di satu pihak dan Mu’awiyah di pihak lain.[22]
Mereka menjauhkan diri dari golongan yang bertikai itu untuk menghindari
meluasnya fitnah di kalangan kaum muslimin. Abu al-Fida, sebagaimana dikutip
oleh al-Ghurbi, menyatakan bahwa kaum muslimin yang tidak mau membai’at Ali bin
Abi Thalib.[23] Maka
dapat dimengerti bahwa penggunaan kata “Mu’tazilah” dalam hal ini adalah
masalah politik bukan masalah agama atau akidah.[24]
Dan, ini telah terjadi kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Wasil bin ‘Atha
dengan gurunya Hasan al-Basri. Golongan ini disebut dengan golongan Mu;’tazilah
Pertama yang mempunyai corak politik, dalam arti golongan yang tidak mau turut
campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.
Abu
Zahrah menerangkan bahwa Mu’tazilah juga dipakai untuk menunjukkan suatu
kelompok pendukung Ali yang menjauhi politik, ketika Hasan bin Ali menyerahkan
kursi khilafah kepada Mu’awiyah. “Mereka menjauhi Hasan, Mu’awiyah
bahkan menjauhkan diri dari masyarakat dengan kompensasi menekuni ilmu dan
ibadah di masjid-masjid atau rumah mereka”.[25]
Penjelasan
di atas memberikan gambaran bahwa kata-kata I’tazala dan al-Mu’tazilah telah
dipakai sebelum munculnya aliran teologi Mu’tazilah yang dibangun oleh Wasil
bin ‘Atha.
Mu’tazilah
bukanlah alirn tertua dalam ilmu kalam, sebab dalam beberapa hal telah ad
pembicaraan tentang teologi yang dikemukakan oleh Jahmiyah dan Qodariyah.
“Namun dapat disepakati bahwa Mu’tazilah adalah aliran yang sangat penting yang
mengangkat masalah-masalah dalam teologi Ilam sebagaimana telah diangkat oleh
tokoh-tokoh Mu’tazilah”.[26]
Adapun
sebab timbulnya aliran teologi Mu’tazilah dapat dipaparkan sebagai berikut:
a.
Munculnya sebuah
pertanyaan dari sorang murid kepada Hasan al-Basri dalam majelisnya tentang
posisi orang mukmin yang melakukan dosa besar. Golongan Khawarij menamakan
merka sebagai kafir, sedangkan golongan Murji’ah menamakan mereka tetap mukmin.
Lalu bagaimana pendapat Anda wahai guru? Hasan al-Basri berpikir. Ketika ia
belum sempat menjawab, Wasil bin ‘Atha berkata “Saya berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidak mukmin sepenuhnya, dan tidak kafir sepenuhnya, tetapi berada
di antara dua posisi, yaitu fasik, tidak mungkin dan tidak kafir. Wasil berdiri
dan menjauhkan diri di suatu sudut masjid dan menegaskan kembali pendirinya itu
kepada sejumlah orang dari jama’ah Hasan al-Basri. Hasan al-Basri berkata
i’tazala ‘annā wāshila “Wasil memisahkan diri dari kita”.[27]
Sejak saat itu Wasil dan pengikutnya disebut Mu’tazilah.
b.
Menurut
al-Baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid ibn bab diusir oleh Hasan
al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan
Qadar dan orang-orang berdosa besar. Keduannya menjauhkan diri dari
Hasan al-Basri dn mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang orang-orang yang
berbuat dosa besar.[28]
c.
Tasy Kubra Zadah
menyebut bahwa Qatadah ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Masjid Basrah dan
menju ke majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disayangkan adalah majelis Hasan
al-Basri. Setelah nyata baginya bahwa itu bukan majelis hasan al-Basri ia
berdiri dan meninggalkan tempat tersebut, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah”
semenjak itu kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[29]
d.
Al-Mas’udi
memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian
nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dengan Hasan
al-Basri. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang
yang berdosa bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di
antara kedua posisi itu (al-Manzilah bain al-Manzilatain).[30]
Dari
uraian di atas terlihat penamaan Mu’tazilah tidak bia dipastikan. Namun aneka
pendapat di atas menunjukkan bahwa nama Mu’tazilah diberikan kepada Wasil bin
‘Atha.[31]
Nama
Mu’tazilah kelihatannya diberikan oleh orang luar bukan oleh golongan mereka
sendiri. Nama itu begitu melekat pada mereka dan menjadi populer meskipun kaum
Mu’tazilah sendiri menamakan dirinya dengan Ahl al-‘Adl wa al-Tauhid.[32]
(Golongan pembela keadilan dan tauhid). Karena di antara prinsip mereka adalah
kedilan Tuhan memurnikan tauhid dengan keraagaman sifat Tuhan.
Di
samping nama di atas, Mu’tazilah juga menamakan diri mereka dengan golongan
Qodariyah karena mereka yakin manusia itu mempunyai kemampuan (qudrat) yang
diberikn oleh Allah kepadanya dan dia bebas untuk menggunakan kemampuan itu
dengan tanggung jawb sepenuhnya berada pada manusia sendiri.[33]
Dari
pihak luar terutama pihak lawan, Mu’tazilah mendapat julukan nama, antara lain
al-Mu’attilah (yang meniadakan) karena mereka menafikan sifat Tuhan. Mu’tazilah
berpendapat bahwa Allah itu tidak mempunyai sifat dan menolak untuk memberi
sifat kepada zat karena khawatir akan terperosok ke dalam kemusyrikan. Julukan lainnya
adalah Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan tehadap
orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa diri
mereka.
2.2 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Dan Pemikirannya
2.2.1
Wasil
bin Atha’
Nama
lengkapnya adalah Abu Hauzaifah Wasil Ibn ‘Atha’ al-Ghazzal, ia mendapat gelar al-Ghazzal
(penenun) karena gemar sekali bekeliling di dalam kilang-kilang tenun.
Al-Mas’udi mengatakan bahwa ia adalah Syeikh al-Mu’tazilah wa qodimuha
yaitu pemimpin Mu’tazilah yang tertua dan diketahui sebagai Pembina pertama
aliran Mu’tazilah.[34]
ia dikatakan Pembina pertama karena pemikiran-pemikiran bercorak Mu’tazilah
telah lahir sebelum kemunculan Wasil ibn ‘Atha dengan tidak menamakan
Mu’tazilah,[35] namun
Wasil ibn ‘Atha dianggap orang paling gigih dan konsisten membina sdan
mengembangkan pemikiran-pemikiran model ini sehingga ia pun dikatakan sebagai
pemikir sejati Mu’tazilah.
Wasil
ibn ‘Atha lahir di Madinah al-Munawarah pada tahun 80 Hijriyah pada masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan dari Daulah Bani Umayyah dan
meninggal pada tahun 131 Hijriyah, demikian berdasarkan kesepakatan ahli
sejarah.[36] Di
madinah ia belajar dengan Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn al-Hanafiyah
kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan Basri.[37]
Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh besar Basrah masa itu, seperti
Zahm ibn Sofwan, penyair Basyar Ibn Bard dan ia menikah dengan adik perempuan
Amru ibn Ubaid.[38]
Setelah
memisahkan diri dari gurunya Hasan al0Basri, ia menjelma menjadi seorang tokoh
yang sibuk memberikan pengajaran pada siang hari dan sangat banyak melakukan
shalat serta menelaah dan membaca al-Qur’an di malam hari. Ia adalah seorang
yang wara’, zuhud dan bertakwa kepada Allah.
Wasil
ibn ‘Atha tokoh pembangunan Mu’tazilah ini, pengetahuan agamnya luas,
kelancaran bicaranya sulit ditandingi, kemampuannya dalam berdebat sangat
tinggi. Selain banyak melakukan perdebatan dengan kalangan non-Muslim atau
orang Islam sendiri yang tiak sepaham dengannya. Ia giat sekali mengirim para
da’i dan mubaligh ke berbagai penjuru dunia Islam waktu itu dalam rangka
menyiarkan agama Islam atau membelanya dari serangan-serangan golongan
non-Muslim.
Di
antara para da’i yang dikirim Wasil ibn ‘Atha, yaitu Abdullah ibn Haris
berdakwah ke negeri Maghrib, ia dikagumi banyak orang. Hafish ibn Sali
berdakwah ke Horosan. Al-Qosim berakwah ke Yaman. Al-Hasan ibn Dakwan berdakwah
ke Kuffah dan Utsman al-Thawil berakwah ke Armenia. Delegasi Wasil ibn ‘Atha
tidak mengecewakan dengan mendapat dukungan yang cukup banyak.[39]
Dalam
masa hidunya Wasil ibn ‘Atha diketahui banyak menulis buku. Di antara karya
tulis beliau adalah sebagai berikut:
a.
Kitab Ashnaf
al-Murjiah (tentang kelompok-kelompok Murji’ah).
b.
Kitab
al-Manzilah bain al-Manzilatain (tentang kedudukan di
antara dua posisi).
c.
Kitab Ma’ani
al-Qur’an (mengungkapkan makna-makna al-Qur’an).
d.
Kitab Majari
bainahu wa baina ‘Amru bin ‘Ubaid (kisah antara dirinya
dan Amru).
e.
Kitab al-Da’wah
(mengenai dakwah).
f.
Kitab Khuthbah
allati Ukhruju fi ha al-Ra’yu (kitab khotbahnya
menimbulkan banyak pendapat/ra’yu).
g.
Kitab al-Sabil
il Ma’rifah al-Haq (kitab yang membicarakan jalan untuk
kebenaran).
h.
Kitab al-Khotib
fi al-Tawhid wa ad-‘Adl (hasil ceramah dan seminar tentang
tauhid dan keadilan).
i.
Kitab al-Taubah
(kitab tentang tobat).
Dari
karya tulis di atas dapatlah dibayangkan luasnya wawasan pengetahuan Wasil ibn
‘Atha dan begitu kukuhnya ia meletakkan dasar-dasar ajaran Mu’tazilah. Namun
sayang karya-karya tersebut tidak dapat dijumpai lagi, kecuali kumpulan
khotbahnya, itu pun tersebardalam buku-buku kesusastraan yang disusun oleh
Ustaz Abd. Al-Sallam Harun.[41]
a.
Pemikiran-pemikiran
Wasil ibn ‘Atha
Pemikiran-pemikiran
teologi yang dikemukakan Wasil ibn ‘Atha atau al-Wasiliyah, antara lain:
Posisi
tertinggi bagi manusia adalah posisi sebagai mukimin, yaitu orang yang menurut
Wasil ibn ‘Atha mengakui dua kalimah syahadat dan tidak melakukan dosa besar
atau jika melakukannya kemudian bertobat sebelum meninggal dunia. Bagi orang
mukmin seperti ini disediakan surga di akhirat kelak. Adapun posisi yang paling
rendah adalah kafir, yaitu orang yang tidak menerima du aklimah syahadat.
Diantara dua posisi ini terdapat dua posisi sebagi fasik yaitu orang yang
mengakui dua kalimah syahadat tetapi melakukan dosa besar dan tidak bertobat
sebelum wafat.
Orang
seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai kafir karena masih mengakui dua
kalimah syahadat, dan tidak pula disebut mukmin, karena telah melakukan dosa
besar. Wasil ibn ‘Atha berpendapat bahwa orang mukmin kekal di dalam surga dan
orang kafir kekal di dalam neraka. Namun sukar dijumpai tentang pendapat Wasil
ibn ‘Atha secara pasti tentang hukuman orang fasik, kecuali ada tambahan
keterangan dari golongan Asy’ariyah bahwa mereka berada di neraka dan mendapat
siksa lebih ringan daripada yang diberikan kepada orang kafir.
Selain
itu, Wasil ibn ‘Atha berpendapat bahwa kata mukmin merupakan sifat baik dan
nama pujian yang tidak dapat diberikan kepada fasik dengan dosa besarnya.
Begitu pula predikat kafir tidak dapat diberikan kepadanya, karena di samping
dsa besar, ia masih mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik.
Terlepas
dari apa yang dikemukakan di atas, al-Qodi Abd. Al-Jabbar menulis dalam Syarh
al-usul al-Khomsah bahwa Mu’tazilah berpendapat bahwa orang fasik itu kekal
di neraka, karena tidak terdapat dalil yang menguatkan, kecuali bahwa orang
fasik itu kekal di dalam neraka.[43]
2)
Nahyu
al-sifat
Nahyu
al-sifat atau meniadakan sifat bagi Tuhan, dalam arti bahwa
apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud
tersendiri di luar zat (esensi) Tuhan.[44]
Al-Syahrastani menilai bahwa paham ini dilontarkan oleh Wasil ibn ‘Atha masih
dalam keadaan mentah sebab Wasil ibn ‘Atha baru mengambil arti lahirnya. Paham
ini menjadi matang benar ketika para pengikutnya benar-benar telah menguasai
filsafat Yunani.[45]
Abu
al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan nafy al-sifat atau
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil ibn ‘Atha, kepada Tuhan tidak
mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat
pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qodim, maka apa yang melekat
pada zat itu bersifat qodim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat
qodim. Ini menurut Wasil ibn ‘Atha akan membawa pada adannya dua Tuhan.
Karena yang boleh bersifat qodim hanyalah Tuhan, dengan kata lain, kalau
ada sesuatu yang bersifat qodim, maka itu mestilah Tuhan. Oleh karena
itu, untuk memelihara murninya tauhid atau kemahaesaan Tuhan, Tuhan tidak boleh
dikatakan mempunyai sifat dalam arti di atas.
Dengan
jalan ini Abu al-Huzail mencoba mengatasi persoalan adanya Tuhan lebih dari
satu kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat yang berwujud sendiri di luar zat
Tuhan. Dengan membuat sifat Tuhan adalah zat Tuhan, persoalannya adalah yang
qodim selain dari Tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang di
maksud kaum Mu’tazilah dengan nafy al-sifat.[46]
Mengenai
peniadaan sifat Tuhan, al-Juba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui
esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya “inna
al-bāri taằla ắlimun bi ‘ilmin wa ắlimuhu dzātuhu.” Dengan demikian Tuhan,
untuk mengetahui, tidak perlu sifat mengetahui dan pula tidak pada keadaan
mengetahui. Namun Abu Hasyim ibn al-Juba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui
melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hal (state).[47]
Demikianlah beberapa pemikiran yang ada hubungannya dengan peniadaan sifat
Tuhan.
3)
Qodariyah
Paham
ini, sebagaimana dikemukakan oleh Ma’bad dan Ghailan al-Dimasyqi.[48]
Wasil berpendapat bahwa Tuhan itu Mahabijaksana dan Mahaadil. Ia tidak dapat
berbuat jahat dan bersifat zalim. Untuk itu tidak mungkin bagi Tuhan
menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya.
Dengan demikian, manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik
dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya pada
Tuhan. Atas perbuatan-perbuatannya manusia diberi ganjaaran. Dan, untuk
terwujudnya perbuatan-perbuatannya manusia, Tuhan memberikan daya dan kekuatan
kepadanya. Tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah pada manusia untuk berbuat
sesuatu kalau manusia itu tidak mempeunyai daya dan kekuatan untuk berbuat.[49]
Wasil kelihatannya memperoleh paham ini dari Ghailan melalui Abu Hasyim
Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiah.[50]
Bahkan ada kemungkinan bahwa Wasil pernah berjumpa dengan Ghailan sendiri,
demikian menurut al-Nasysyar.[51]
Dari uraian di atas tampaknya Wasil bersikeras menyatakan bahwa perbuatan
manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah perbuatan manusia semata atau
perbuatan manusia dalam arti kata yang sebenarnya bukan dalam arti kata kiasan.
4)
Salah
satu golongan yang bertikai bersalah karena terbunuhnya Utsman.
Wasil
berpendapat bahwa slah satu golongan yang bertikai dalam Perang Jamal dan
Siffin, pasti bersalah dan menjadi fasik. Hanya saja tidak dapat diketahui
dengan pasti siapa yang fasik itu. Dengan demikian, Ali dan pengikutnya di satu
pihak dan Mu’awiyah serta pengikutnya di pihak lain, pasti ada yang bersalah.
Dengan kata lain, kesucian masing-masing pihak telah diraguinya. Konsekuensinya
kedua belah pihak tidak dapat dijadikan saksi.jka sekiranya salah astu dari
pihak Ali dan Mu’awiyah datang untuk menjadi saksi, keduanya akan ia tolak,
karena ia yakin bahwa slah satu dari mereka fasik. Tetapi kalau kebetulan kedua
orang yang datang untuk menjadi saksi itu berasal dari salah satu pihak saja,
mereka ia terima.[52]
Dengan kata lain, Wasil berpendapat bahwa para sahabat Nabi tidak ma’sum.[53]
Demikianlah
akjaran-ajaran yang ditinggalkan Wasil. Dua dari ajaran-ajaran tersebbut yaitu
posisi menengah dan pniadaan sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral
dari al-Usul al-Khomsah atau Pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya ialah
keadilan Tuhan, janji baik dan ancaman dan memerintah orang untuk berbuat baik
dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalau perlu dengan
kekerasan.[54]
b.
Pengaruh
pemikiran Wasil ibn ‘Atha
Munculnya
pemikiran Wasil ibn ‘Atha di pentas pergumulan pemikiran teologis sangtlah
besar pengaruhnya, pemikiran-pemikiran sekilas memang tampak kontroversial
dengan pemikiran teologis yang berkembang pada zamannya, tetapi jusru
kekontroversialannya mengundang perhatian pemikir teolgis ataupun orang yang
berminat pada pemikiran baru yang dinamis dan rasional.
Kerasionalan
pemikiran teologis Wasilsalah satunya mencoba menguak misteri sfat Tuhan,
baginya Tuhan tetap Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, tetapi ini tidak
bisa dipisahkan dari zat Tuhan. Kemudian pemikiran Wasil mewarnai pendukungnya,
maka berkembanglah tentang sifat-sifata Tuhan sebagi berikut:
1)
Sifat zatiyah,
yaitu sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, seperti al-wujud, al-qodim,
al-hayah, dan al-qudrah.
2)
Sifat fi’liyah,
yaitu sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, seperti al-iradah,
kalam, dan ‘adl.
Paham ini timbul
karena pendukung Wasil ingin menjaga kemurnian kemahaesaan Tuhan, yang dalam
istilah Arab disebut tanzih.
Kecenderungan
pemikiran Wasil dan pengikutnya yang rasional sangat akomodatif terhadap
berkembangnya filsafat Yunani dalam kelompoknya dan akhirnya nebular pada umat
Islam. Dapat juga dikatakan pemikiran-pemikiran Wasil bagai gerbang atau
jembatan pertama yang menghubungkan pemikiran-pemikiran Islam dengan
pemikiran-pemikiran filosofis Yunani. Atas dasar uraian di atas bagaimanapun
kemunculan Wasil ibn ‘Atha dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif dan
rasional, bagi umat Islam sangat bermanfaat untuk dijadikan alat mempertahankan
ajaran agamanya dari serangan-serangan teologis filosofis non-Muslim, untuk itu
hendaknya umat Islam berterimakasih atas jasanya yang tidak terhingga.
Bagi
kaum muslimin yang hidup di zama modern ini, di mana kemajuan ilmu dan
teknologi mendapat tempat strategis dalam pemikiran rasional. Maka secara tidak
sadar pemikiran rasional mendapat perhatian yang seksama, dan
pemikiran-pemikiran tersebut mirip atau bahkan sama dengan paham yang dimotori
oleh Wasil ibn ‘Atha, tetapi mereka tetap sebagi Muslim yang taat menjalankan
ejaran agama yang diyakininya.
2.2.2
Abu
Huzail al-‘Allaf
Nama
lengkap Abu Huzail al-Allaf ialah Muhammad ibn al-Huzail ibn ‘Adillah al-basri
al-‘Allaf. Beliau adalah salah seorang tokoh aliran Mu’tazilah yang menjelaskna
ajaran-ajarannya secara lebih perinci. Lahir pada tahun 131 H/748 M, di Basrah
dan meninggal pada tahun 226 H/840 M, di Samarra.
Abu
Huzail memperoleh pelajaran (tentang aliran Mu’tazilah) dari Utsman ibn Khalid,
murid Wasil ibn ‘Atha. Sebagai seorang ahli filsafat ia telah menulis sekitar
60 buku mnegnai ilmu kalam, sayangnya buku-buku tersebut tidak dapat dijumpai
lagi.[55]
Menurut riwayat, Abu Huzail dengan kemahirannya dalam berdebat dan
beragumentasi mampu mengajak 3.000 orang yang terdiri dari kaum Majusi, Zindik,
Manicheist, dan Atheis masuk Islam.[56]
Ia dijuluki “al-Allaf” karena rumahnya berada di tengah-tengah penjual makanan
ternak.[57]
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Abu Huzail rupanya kurang mendapat perhatian dari
pemerintah aulah Umayyah terutama di bidang ilmu kalam. Pemerintah lebih
menitikberatkan perhatiannya pada penataan segi-segi kehidupan praktis. Dengan
demikian, bidang hukum yang intisarinya bertolak dari al-Qur’an dan al-Hadist
sudah dianggap cukup untuk menjebatani permasalahan-permasalahan sosial yang
terjadi.
Berbeda
sekali dengan masa pemerintahan Daulah’Abbasiyah yang selalu memperhatikan
perkembangan ilmu pengetahuan. Di amsa itu bidang-bidang ilmiah terutasa
penerjemahan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Di mas aitu
bidang-bidang ilmiah terutama penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa
Arab. Buku-buku yang diterjemahkan itu kebanyakan berisi pendapat-pendapat
tentang keyakinan, agama, dan kepercayaan. Masa pemerintahan ‘Abbasiyah disebut
juga sebagai dengan “Masa Kebangkitan Ilm Pengetahuan dan Teologi (‘Asr
al-Nahdah fi al-Ulum wa al-Ara’ al-Mu’taqadat).[58]
Oleh
karena Abu Huzail dianggap sebagai guru kedua (al-Ustadz al-Tsani)
aliran Mu’tazilah ini hidup di masa ilmu pengetahuan belum mendapat perhatian
secara khusus dari pemerintah, maka ia terpaksa tidak dapat memusatkan
perhatiannya pada ilmu pengetahuan secra utuh. Hal ini dapat dilihat dari
argumentasinya yang dapat menimbulkan penafsiran-penafsiran mengakibatkan
dirinya dituduh sebagai seorang Materialist.
Mirdar
al-Mu’tazilah menyusun sebuah buku yang mengungkapkan kesalahan-kesalahan Abu
Huzail dan menuduhnya kafir dan sesat. Al-Juba’i menuduhnya sebagai seorang
yang mengingkari penciptaan, dan Ja’far ibn Harb dalam kitabnya Taubikh Abi
Huzail menulis bahwa pendapt-pendapatnya lebih condong pada paham ateis dan
itu berarti kafir.[59]
Abu
Huzail bukanlah orang yang fanatik. Dia selalu menghargai kebanaran walau dari
mana pun datangnya. Bhakan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ia sering
menggunakan pemikiran-pemikiran filsafat. Kenyataan ini terbukti ketika
membahsa tentang “Nafy al-Sifah ‘ala al-Zat” (peniadaan sifat pada zat)
yang sering menimbulkan imterprestasi negatif di kalangan kaum muslimin.
Abu
Huzail mengatakan bahwa sifat-sifat Allah sebagai mana yang diterangkan dalam
al-Qur’an bukanlah merupakan sesuatu yang terpisah dari zat melainkan melekat
pada zat iitu sendiri. Seperti Allah mengetahui dengan pengetahuan–Nya.
Pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Allah berkuasa dengan kekuasaan-Nya.
Kekuasaan-Nya, adalah zat-Nya, dan lain sebagainya.[60]
Sebagai untuk melengkapi beberapa pendapat-pendapat Abu Huzail, dapat dilihat
pada tulisan berikut:
a.
Allah mengethui
dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya, berkuasa dengan
kekuasaan-Nya dan kekuasaannya-Nya adalah zat-Nya, hidup kehidupan-Nya dan
kehidupan-Nya adalah zat-Nya, dan lain sebagainya.
b.
Kehendak Allah tidak
bertempat (substratum) dan dengannya Dia berkehendak.
c.
Sebagian kalam
Allah tidak bertempat seperti firman-Nya “kun” (jadilah) dan sebagian
yang lain bertempat seperti memerintah, melarang, memberi kabar, dan
sebagainya.
d.
Paham Qadariyah
berlaku di dunia dan Jabariyah di akhirat.
e.
Gerakan-gerakan
penghuni abadi akan terputus dan mereka akan satis selama-lamanya. Kenikmaan
tetap ada pada ahli surga dan perseritaan tetap ada pada ahli neraka.
f.
Kemampuan adalah
‘Aradh (accident). Pekerjaan badan dan hati terpisah. Pekerjaan hati
tidak benar tanpa kemauan pekerjaan badan.
g.
Sebelum
datangnya wahyu, orang dewasa (mukallaf) harus dapat mengenal Allah
melalui ayat-ayat-Nya (tanda-tanda kebesran-Nya), mengetahui baik dan buruk dan
dapat memilih yang baik untuk dirinya.
h.
Manusia pasti
akan mati tepat pada waktunya. Umur tidak dapat bertambah dan berkurang kecuali
bunuh diri atau terbunuh. Demikian juga rezeki tidak dapt berkurang dan
bertambah.
i.
Kehendak Allah
bukanlah objek kehendak. Kehendak-Nya terhadap apa yang Ia ciptakan, Ia
ciptakan untuk-Nya. Sesuatu yang Ia cipakan bukanlah sesuatu itu sendiri ttapi
ciptann bagi-Nya adlah firman bukan tempat. Seperti Allah masih mendengar dan
mengetahui, demikian juga selanjutnya.
j.
Yang dapt
digunakan sebagai hujjah hanyalah Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh 20 perawi.
Itu pun tidak menunjukkan kemutawatirannya sebab para perawi tidaklah ma’sum.
Tidak mustahil mereka berdusta bahkan melakukan dosa besar dan hanya satu orang
saja yang akan masuk surga.[61]
2.2.3
Al-Nazzam
Nama
lengkapnya adalah Ibrahim ibn al-Sayyar ibn hani al-Nazzam, seorang budak Bani
Bujair ibn al-Harist ibn al-Dhuba’i, hidup pada masa khalifah Harum al-Rasyid.
Ia anak saudara perempuan Abu Huzail al-‘Allaf dan muridnya yang setia. Lahir
pada tahun 185 H dan wafat 221 H pada masa khalifah al-Mu’tasim.
Beliau
termasuk orang yang cerdas, cermat, dan banyak pengikutnya. Ia banyak menelaah
buku-buku filsafat kealaman dan ketuhanan.[62]
Dijuluki “al-Nazzam” karena dia pandai membuat prosa dan puisi. Dalam riwayat
lain, karena dia bekerja sebagi perangkai batu merjan di pasar Bashrah.[63]
Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa al-Nazzam itu telah hafal al-Qur’an, Taurat,
Injil dan Zabur dan dapat menafsirkan kitab-kitab tersebut dengan baik. Karena
ketelitian, pengertian serta kemampuan balaghah (ilmu bahasa) yang
sangat tinggi ia dapat mengetahui kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan
kitab-kitab itu.[64]
Masa
mudanya, al-Nazzam banyak bergaul dengan pengikut paham Manicheist dan Saman.
Setelah dewasa ia bergaul dengan para filsuf ateis dan Hisyam ibn al-Hakam
al-Rafidhi.[65]
Pergaulan dengan para tokoh yang beragam itu telah menimbulkan akses-akses yang
tidak kecil sehingga pandangan-pandangan teologisnya banyak berbeda dengan para
pendahulunya. Di antara pandangan-pandangannya adalah:
a.
Allah tidak
berkuasa berbuata baik dan buruk tetapi Ia hanya dapat berbuat sesuatu yang
baik untuk hamba-hamba-Nya.
b.
Perbuatan-perbuatan
hamba hanyalah merupakan gerakan-gerakan dan diam adlah gerakan sandaran.
c.
Berkehendak bukanlah
sifat Tuhan yang sebenarnya tetapi merupakan sumber yang Ia ketahui sendiri.
d.
Sebenarnya
manusia itu adalah jiwa. Adapun badan hanyalah merupakan alat dan bingkainya.
e.
Segala sesuatu
yang melampaui batas kekuasaan (manusia) adalah kewajiban Allah untuk
menciptakan-Nya.
f.
Penafikan
(peniadaan) bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi.
g.
Esensi itu
terdiri dari ‘ard (accident) yang berkumpul.
h.
Tuhan menjadikan
makhluk-Nya sekaligus tetapi berevolusi.
i.
Yang merupakan
mukjizat dari al-Qur’an itu hanyalah keterangan-keterangan yang mengisahkan
tentang hal-hal yang terjadi di masa lampau dan yang akan datang, sedangkan
selebihnya tidak merupakan mukjizat.
j.
Ijma’ dan Qiyas
tidak dpat dipakai untuk menetapkan hukum syara’.
k.
Penetapan Imamah
tidak sah kecuali berlandaskan nash dan pemilihan secara langsung dan terbuka.
l.
Sebelum
diturukannya wahyu orang yang sehat akalnya berkewajiban mengetahui Tuhan
melalui pengamatan dan pembuktian.
m. Dalam
masalah wa’ad dan wa’id, orang tidak dapat disebut fasik jika
mencuri barang (harta) yang nilai harganya belum sampai pada nisab zakat.[66]
2.2.4
Al-Juba’i
Nama
lengkapny adalah Abu ‘Ali Muhammad ibn Abd. Al-Wahab al-Juba’i. Dijuluki “al-Jubba’i”
dinisbatkan dengan tempat kelahirannya “Jubba” suatu daerah di
Kazakhtan. Beliau lahir pada tahun 235 H dan wafat pada 330 H.[67]
Masa
mudanya, al-Jubba’i terkenal sebagai orang yang pandai berdebat. Al-qattan
menceritakan bahwa pada suatu saat orang-orang berkumpul untuk berdiskusi.
Mereka menanti seseorang yang akan mendiskusikan suatu masalah tetapi tidak
datang. Kemudian sebagian dari mereka berkata: Adakah orang yang akan tampil?
Maka ada seseorang ‘alim tampil menawarkan diri. Dia ditanya oleh salah seorang
jamaah. Apakah Allah berbuat adil? Ia menjawab, ya. Apakah dengan perbuatan-Nya
yang adil itu kau sebut Dia adil? Ia menjawab, ya. Apakah Allah berbuat zalim?
Ia menjawab, ya. Apakah dengan perbuatan-Nya itu kau sebut Dia zalim? Ia
menjawab, tidak. Dia berkata: Seharusnya dengan perbuatan yang adil itu Allah
tidak kau sebut adil.[68]
Jamaah kagum dengan keberanian dan kecerdasan penanya yang masih muda usia yang
tidak lain adalah Abu Ali al-Jubba’i.
Al-Jubba’i
belajar kepada Abu Ya’qub Yusuf ibn Abdillah ibn Ishaq al-Sahham, salah seorang
sahabat Abu Huzail.
Dalam
sebuah riwayat dikatakan bahwa al-Jubba’i telah menulis karangan-karangannya
sebanyak 50.100 halaman.[69]
Sayangnya karangan-karangan tersebut tidak dijumpai.
Kemudian
pendapat-pendapat al-Jubba’i sebagaimana yang ditulis dalam buku-buku para
filsuf antara lain:
a.
Allah mengetahui
segala esensi dan accindent. Segala sesuatau diketahui mulai sebelum
asal kejadiannya.
b.
Sifat mulia bagi
Allah memiliki dua pengertian, yaitu aziz (mulia) itu sendiri dan
pemberi yang mulia.
c.
Allah mendengar
dan mengetahui yang tidak terbatas.
d.
Segala yang
diketahui Allah akan ada pasti ada.
e.
Kehendak Allah
untuk mengadakan sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri tetapi yang lainnya.
f.
Perbuatan Allah
pada hamba-Nya adalah perbuatan yang dinilai-Nya akan merupakan kebaikan untuk
hamba itu sendiri walaupun menurut hamba itu hal yang buruk.
g.
Allah itu Qodim
(kekal). Dan kekekalan itu merupakan sifat Allah yang spesial.
h.
Iman sebagaimana
yang dikehendaki Allah hukumnua wajib, sedangkan mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan sunah tidak termasuk iman.
i.
Baligh
menurutnya identik dengan sempurnanya akal dan berakal berarti berilmu.
j.
Kalam Allah itu
didengar dan tidak dapat dilihat.
k.
Esensi-esensi
itu adalah satu jenis dan ia adalah esensi itu sendiri.
l.
Sesungguhnya
badan itu apabila bergerak jumlahnya akan sama dengan bagian-bagian yang digerakkan.
m. Roh
itu adalah jism dan ia bukanlah kehidupan dan kehidupan merupakan accident.
n.
Accident-accident
itu kekal. Dan, uang dikerjakan oleh yang hidup dalam dirinya langsung dari accident-accident
dan ia tidak kekal.
o.
Tempat (wilayah)
terdiri dari dua jenis. Wilayah iman dan wilayah kafir. Orang tidak mungkin
bertempat di wilayah yang bertentangan, kecuali dengan paksaan.[70]
Demikianlah
sebagian pendapat al-Jubba’i dan pendapat-pendapat itu yang pada gilirannya
akan diteruskan oleh anaknya, Abu Hasyim Abd. al-Salam ibn Abi Ali Muhammad
al-Jubba’i.
Sebenarnya
masih banyak tokoh dan pemikir aliran Mu’tazilah ini, tetapi pada dasarnya
pemkiran-pemikiran mereka itu masih merujuk pada ketiga tokoh di atas dengan
beberapa tambahan konsep pemikiran. Al-Mu’tamir misalnnya, menambahkan konsep
“tawallud” (reproduction) yang dimaksudkan untuk mencari batas-batas
pertanggungjawaban manusia atas perbuataannya.[71]
Al-Murdar dalam pendapatannya yang mengatakan bahwa orang yang mengatakan Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala adalah kafir, kalamullah qadim adalah kafir
dan perbuatan manusia ciptaan Allah adalah kafir. Dan, Sumamah dengan
pendapatnya yang mengatakan bahwa orang fasik akan kekal dineraka apabila tidak
bertobat.[72]
2.3 Ushul Al-Khomsah
Terlepas dari
perbedaan pendapat dalam belantara teologi islam tentang asal usul
terminologi Mu’tazilah, yang jelas
golongan ini hadir dalam pentas pemikiran keislaman dengan ide-ide yang
berkonotasi rasionalis liberalis. Persoalan-persoalan teologi yang dipaparkan
bersifat filosofis. Penggunaan rasio dalam kajian mereka sangat intens, namun
demikian al-Qur’an tidak diabaikan. Karena cara berpikir yang rasionalis dan
liberalis inilah mereka dijuluk kaum “Rasionalisme Islam”.[73]
Pola pikir yang rasionalis
dikalangan umat islam tampaknya hidup kembali diawal abad ke-20 ini. Salah satu
sebabnya mungkin karena adanya interaksi dunia Barat dengan negara-negara
islam, sebagaimana halnya dengan kaum muslimin zaman klasik yang berinteraksi
dengan filsafat Yunani. Melalui interaksi tersebut terjadi proses penetrasi
rasionalis Eropa ke tengah kaum muslimin. Tidak jarang rasionalis-rasionalis
Muslim abad ini disebut sebagai Mu’tazilah modern. Ada kemungkinan penilaian
itu hanya bertolak dari cara berfikir mereka yang sama. Kiranya pokok-pokok
pemikiran Mu’tazilah terdahulu layak ditelaah kembali.
Pokok-pokok pemikiran Mu’tazilah
yang dikatakan oleh al-Khayyat dalam al-Intishar sebagai syarat i’tizaliah
adalah al-Ushul al-Khamsah. Seseorang dianggap pengikut Mu’tazilah bila
menerima dan menganut kelima ajaran tersebut secara sempurna.[74]
Menurut kedudukan dan pentingnya al-Ushul
al-Khamsah tersebut dijelaskan oleh pemuka Mu’tazilah sebagai berikut al-Tauhid,
al-‘Adl, al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amru bi
al-Ma’ruf wa al-Nahyu’an al-Munkar.[75]perincian
dari kelima ajaran pokok Mu’tazilah akan dipaparkan berikut ini.
2.3.1
Al-Tauhid
Tauhid adalah ajaran Mu’tazilah yang
terpenting. Mereka memiliki penafsiran yang khas dan pembahasan filosofis yang
mendalam tentang masalah ini. Karena penjelasan-penjelasan yang dipaparkan Argumentative,
logis serta filosofis. Mereka dijuluki “Ahlu al-Tauhid”, walaupun
sebenarnya semua kaum muslimin sama-sanma mengkaji masalah ketauhidan dan
mengakui bahwa La ilaha illa Allah Wahdahu la syariika lahu.[76]
Dalam paham Mu’tazilah, Tuhan Maha Esa,
Tidak ada Tuhan selain Allah, tunggal tidak ada serikat bagi-Nya, sesuai dengan
kandungan surah al-Ikhlas dan syahadat pertama dari syahadataini.[77]Tuhan
akan betul-betul Maha Esa hanya Tuhan merupakan zat yang unik. Tiada yang
serupa dengan-Nya. Oleh karena itu, mereka menolak paham antropomorfisme.[78]
Kaum Mu’tazilah, dalam upaya menucikan
dan memelihara keunikan Tuhan serta transendensi-Nya atas yang lain, menurut
al-Asy’ari mereka berpendirian bahwa Allah itu Maha Esa, tidak ada sesuatu
apapun yang menyerupai-Nya. Ia Maha mendengar lagi Maha Melihat, tida berijin,
tidak berbentuk orang, tidak berbadan, tidak berupa, tidak berdaging, dan tidak
berdarah. Ia bukan juz’ (bagian), bukan jauhar (substansi), dan bukan pula ‘ard
(aksiden). Ia tidak dapat diraba. Ia tidak panas dan tidak pula dingin, tidak
basah dan tidak pula kering, tidak panjang, tidak lebar dan tidak pula dalam.
Ia tidak berkumpul dan tidak pula berpisah, tidak bergerak dan tidak pula diam.
Tidak terpotong-potong, tidak memiliki bagian-bagian (ajza’) dan tidak pula
memiliki anggota. Ia tidak mempunyai sudut, tidak ada kanan dan kiri, muka dan
belakang, atas dan bawah. Ia tidak menempati ruang dan waktu. Tidak bisa
disifati dengan sifat-sifat yang ada yang makhluk yang menunjukkan kebaruan
makhluk tersebut dan tidak pula disifati dengan sifat menunjukkan
ketidakazalian Tuhan. Allah tidak dibatasi oleh apa pun, tidak beranak dan
tidak pula diperanakkan. Tidak ditutupi oleh penutup dan tidak bisa tirai-tirai
penutup dan tidak bisa dicapai oleh pancaindra. Ia tidak bisa dibandingkan dengan manusia, tidak bisa
disamakan dengan makhluk dalam bentuk apapun dan tidak terpaku waktu bagi-Nya.
Ia tidak tertimpa oleh penyakit. Setiap sesuatu yang terlintas dalam iliran dan
tergambar angan-angan, tidak serupa dengan tuhan. Ia adalah selalu yang paling
awal dan yang mendahului segala sesuatu yang mungkin dan senantiasa dalam
keadaan mengetahui, berkuasa, hidup, dan selamanya akan begitu. Dia, tidak
dapat dijangkau oleh penglihatan dan tidak terliput oleh khayalan. Allah lah
satu-satunya wujud Abadi yang tiada wujud abadi selain Dia dan tiada Tuhan
(selain) atau menyerupai-Nya dalam segala.[79]
Tuhan Esa pada zat-Nya, tidak mempunyai
sifat-sifat. Maksudnya Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri
diluar Zat. Karena itu Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat azaliyah seperti
Ilmun, Qudratun, Hayatun, Sam’un, dan Basorun yang terpisah dari
zat-Nya. Allah mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat dengan zat-Nya.
Tidak ada sifat-sifat yang berdiri secara terpisah.[80]
Bila ada komposisi dimana ada zat di satu sisi dan sifat dipihak lain, akan
melahirkan dua yang qadim, yaitu zat dan sifat. Adanya dua yang qadim,
berarti adanya dua Tuhan, dan ini tidak dapat diterima.[81]
Namun demikian, tidak berarti bahwa
Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka tetap
Maha tahu, Maha kuasa, Maha hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya.
Tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari zat nTuhan. Dengan kata lain,
sifat-sifat tersebut dibagi oleh Mu’tazilah kedalam dua kategori, yaitu sifat
zatiyah dan sifat fi’liyah. Sifat zatiyah adalah yang merupakan
esensi Tuhan seperti al-Wujud, al-Qidam, al-Hayah, al-Qudrah. Adapun
sifat fi’liyah adalah sifat-sifat yang nerupakan perbuatan Tuhan dalam
hubungannya dengan makhluk seperti al-Iradah, al-Kalam, dan al-‘Adl.[82]
Lebih jauh al-Jubba’i menjelaskan bahwa sifat
zatiyah adalah sifat-sifat yang tidak boleh dinisbahkan kepada tuhan dengan
sifat-sifat kebalikannya. Sebagai contoh: Allah mempunyai sifat ‘Alim
(Maha tahu), maka Dia tidak mempunyai sifat jahil (Maha bodoh). Allah
mempunyai sifat Qadir (Maha kuasa), maka Dia tidak bisa bersifat ‘Ajiz
(Maha lemah). Demikian selanjutnya. Adapun sifat fi’liyah adalah sifat-sifat
yang boleh dinisbahkan kepada Tuhan dengan sifat-sifat kebalikannya, sebagai
contoh: Allah mempunyai sifat Hub (cinta), Dia juga mempunyai sifat karohah
(terpaksa). Demikian seterusnya.[83]
Karena penolakan terhadap terhadap
antropomorfisme, yaitu penyerupaan Tuhan dengan makhluk, kaum Mu’tazilah
menginterpresentasikan ayat-ayat personifikasi didalam al-Qur’an dengan
pengertian lain, sehingga Tuhan betul-betul suci dari kemiripan dengan makhluk.
Dengan demikian kata al-‘Arsy dalam berfirman “al-rahman ‘ala al-arsy
istawa” mereka artikan kekuasaan; kata al-‘ain dalam “wa li
tusna’a ‘ala ‘aini” diartikan ilmu; kata wajh dalam “kullu syai halikun
illa wajhahu” diinterpresentasikan dengan zat atau esensi; kata yad dalam “lima
khalaqtu bi yaday” ditafsirkan kekuasaan, terkadang kata yad bisa di
interpretasikan dengan nikmat seperti pada ayat “bal yadahu madsutotani”.,
kata janb didalam “ya hasrota ‘ala ma farrattu fi janb Allah”
diartikan ketaatan., dan kata yamin dalam “wa al-Samawat matwiyatun
bin yaminini” diartikan dengan kekuatan.[84]
Sebagai konsekuensi logis dari penolakan
diatas, Mu’tazilah menentang beatific vision, yaitu Tuhan dapat dilihat
dengan mata-kepala.[85]
Sebagai argumen dijelaskan bahwa Tuhan tidak mengambil tempat, dengan demikian
tidak bisa dilihat, karena yang bisa dilihat hanyalah yang mengambil tempat.
Dan kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata-kepala, Tuhan akan dapat dilihat
sekarang, dalam dunia ini juga. Kenyataannya menunjukkan bahwa tidak ada orang
yang melihat Tuhan dialam ini.[86]
Bertolak dari keinginan kuat untuk
menyucikan Tuhan dari hal yang tidak layak dan berpegang pada prinsip “tidak
ada yang qadim kecuali Allah”, Mu’tazilah menolak paham bahwa al-Qur’an
adalah qadim. Menurut mereka al-Qur’an atau kalamullah adalah
diciptakan, karenanya bersifat baru. Pandangan ini hubungannya dengan penolakan
mereka terhadap sifat. Bagi Mu’tazilah, kalamullah bukan sifat melainkan
perbuatan. Sebab itu kalamullah adalah baru.
Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa
al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa surat dan ayat. Ayat yang satu
mendahului yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain. Terdapatnya pada
sesuatu, sifat terdahulu dan sifat yang datang kemudian, membuat sesuatu itu
tidak qadim.[87]
2.3.2
Al-‘Adl
Al-‘Adl
sebagai ajaran Mu’tazilah kedua, erat kaitannya dengan al-Tauhid. Kalau
dengan al-Tauhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari
persamaan dengan makhluk, dengan al-‘Adl mereka ingin menyucikan
perbuatan Tuhan dari persamaan dari perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang
berbuat adil. Tuhan tidak bisa berbuat zalim, pada makhluk terdapat perbuatan
zalim. Dengan kata lain, kalau al-Tauhid membahas keunikan diri Tuhan, al’Adl
membahas keunikan perbuatan-Nya.[88]
Adapun yang di maksud Al-‘Adl
bagi kaum Mu’tazilah ialah keadilan Tuhan dalam menghisab perbuatan-perbuatan
hamba-Nya. Ini berdasarkan firman Allah dalam Fushilat ayat 6 yang
berbunyi “wa ma rabbuka bi dzullamin li al-“abid”. Dikatakan Tuhan itu
adil menurut Abd. al-Jabar artinya bahwa semua perbuatan Tuhan itu bersifat
baik; Tuhan tidak berbuat jahat dan tidak melalaikan apa yang wajib
dikerjakan-Nya.[89]Dengan
demikian, Tuhan tidak berdusta,tidak bersikap dzalim, tidak menyiksa anak-anak
orang polytheist lantaran dosa orang tua mereka, tidak menurunkan
mukjizat bagi pendusta dan tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul
manusia.[90]
Untuk dapat memikul beban-beban yang
diberikan, Tuhan memberikan daya kepada manusia, menerangkan hakikat-hakikat
beban itu, dan memberi upah atau hukuman atas perbuatan-perbuatan manusia.
Kalau Tuhan memberi siksaan,maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan
maslahat manusia; karena kalau bukan untuk kemaslahatan manusia, berati Tuhan
melalaikan salah satu kewajiban-Nya.[91]
Bagi Mu’tazilah, kejahatan dan kebaikan
bukanlah konsep-konsep konvensional atau arbitrer yang validitasnya berakar
pada ketentuan-ketentuan Tuhan, melainkan merupakan kategori-kategori rasional
yang dapat dibangun melalui akal murni. Oleh karena itu, Tuhan tidak dapat (la
Yaqdir) memerintahkan apa yang bertentangan dengan akal, atau melakukan
tindakan yang sama sekali tidak menghiraukan kemaslahatan makhluk-Nya, bila
tidak hal tersebut akan membahayakan keadilan dan kebijaksanaan-Nya.[92]
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia itu sendiri melakukan ataupun
tidak melakukan dengan daya yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Tuhan tidak
menyuruh kecuali hal-hal ia kehendaki
dan tidak melarang kecuali hal-hal yang ia sukai. Ia menguasai setiap kebaikan
yang diperintahkan-Nya dan terbebas dari setiap keburukan yang dilarang-Nya.[93]
Paham keadilan menurut Mu’tazilah,
mengandung kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Tuhan. Keadilan
bukan hanya sebatas memberi ganjaran kepada yang berbuat baik dan hukuman
kepada yan berbuat salah, akan tetapi mencakup kewajiban berbuat yang terbaik
buat manusia, yang dikenal dengan paham al-Salah wa al-Ashlah. Dalam
paham ini termasuklah kewajiban-kewajiban menepati janji-janji-Nya mengirimkan
para rasul untuk menyampaikan petunjuk kepada manusia, memberi rezeki kepada
manusia dan sebagainya.[94]
2.3.3
Al-Wa’du
wa al-Wa’id
Ajaran dasar ketiga ini erat sekali
hubungannya dengan keadilan Tuhan sebagaimana telah diraikan diatas. Sebab bial
Tuhan menjatuhkan siksaan kepada orang yang taat atau memasukkan orang yang
berbuat maksiat kedalam syurga, maka perbuatan tersebut bertentangan dengan
prinsip keadilan-Nya yang berarti telah menyalahi janji-Nya. Menurut al-Wa’du
wa al-Wa’id ini, Tuhan mesti memberi kesenangan (pahala) keapad yang
berbuat baik dan memberikan siksaan bagi yang berbuat maksiat. Bila tidak
demikian, tentu Allah berdusta dan tidak menempati janji-Nya.[95]
Manusia diberi kemerdekaan oleh Tuhan
untuk memilih perbuatan yang dikehendaki. Baik dan buruknya perbuatan manusia
adalah hasil pilihannya sendiri. Karena itulah Allah menempatkannya di akhirat
sesuai dengan hasil usahanya didunia ini. Kalau tidak demikian, berarti Tuhan
tidak berlaku adil dan tidak memberi hak atas yang berhak.[96]
Mu’tazilah menolak adanya syafa’at
(pengampunan) pada hari kiamat. Baik syafa’at nabi, para wali maupun rahmat
Tuhan sendiri tidak dapat mengubah apa yang telah diputuskan oleh keadilan-Nya,
karena hal ini akan membahayakan kebajikan-Nya dan membiarkan makhluk-Nya sama
sekali tidak tahu akan nasibnya yang terakhir (sebenarnya).[97]
Seorang mukmin yang mati dengan segala
ketaatannya dan penuh tobat, ia berhak akan pahala. Dan, barangsiapa mati tanpa
bertobat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, ia akan kekal di neraka,
tetapi siksaannya lebih ringan daripada orang kafir.[98]
Dengan demikian, tidak ada alternatif
bagi Tuhan kecuali memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan
menyiksa orang yang berbuat jahat, kecuali orang tersebut telah bertobat dengan
sebenarnya. Dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa perbuatan Tuhan itu
terkait dengan janji dan ancaman-Nya, dan bahwa mu’tazilah berusaha membawa
manusia agar bermoral baik dan terpuji.
2.3.4
Al-Manzilah
bain al-Manzilataini
Timbulnya ajaran Al-Manzilah bain
al-Manzilataini adalah setelah terjadinya peristiwa antara wasil ibn ‘Atha
dan temanya Amr ibn Ubaid dengan guruny Hasan al-Basri di Bashrah. Wasil selalu
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri di Masjid Bashrah. Pada
suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang-orang
yang melakukan dosa besar. Sebagaiman kaum khawarij memandang mereka kafir,
sedangkan al-Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih
berpikir, wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan “Saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir,tetapi mengambil posisi diantara keduannya, tidak mukmin dan tidak pula
kafir”.Yakni berada pada posisi diantara dua posisi.[99]
Paham Al-Manzilah bain al-Manzilataini inilah ajaran Mu’tazilah yang
paling awal.
Pembuat dosa besr, demikian Harun
Nasution menjelaskan, tidaklah kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan
Nabi Muhammad; tetapi ia juga bukan mukmin karena imannya tidak sempurna.
Karena bukan mukmin ia tidak dapat masuk surga dan bukan kafir pula, ia
sebenarnya tidak mesti masuk neraka. Ia harusnya ditempatkan diluar surga dan
diluar neraka. Tetapi karena diakhirat tidak ada tempat selain dari surga dan
neraka, maka pembuat dosa besar,harus dimasukkan kedalam salah satu tempat ini.
Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan paham Mu’tazilah tentang iman.
Iman bagi mereka, digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan,
tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian, pembuat dosa besar tidak
beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga. Tempat satu-satunya adalah
neraka mendapatkan siksaan yang sama berat dengan orang kafir. Oleh karena
itu,pembuat dosa besar,betul masuk neraka,tetapi mendapat siksaan yang lebih
ringan.[100]
Dari ajaran ini tamapak bahwa Mu’tazilah
benar-benar mau meletakkan keadilan Tuhan dengan seadil-adilnya serta mendorong
manusia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan terutama dosa besar,
sebab dosa besar dapat menyeret manusia kedalam neraka.
2.3.5
Al-Amru
bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
Ajaran Mu’tazilah yang kelima ini lebih
menitikberatkan pada aspek moral praktis dan politis (daripada aspek teologis).[101]
Menurut ajaran tersebut, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat wajib
dilakukan oleh setiap orang yang beriman apabila memenuhi syarat-syaratnya.
Syarat-syarat tersebut adalah:
a.
Ia mengetahui
bahwa yang diperintahkan itu adlah memang suatu yang ma’ruf dan yang
dilarang itu memang sesuatu yang munkar.
b.
Ia mengetahui bahwa
kemungkaran itu nyat dilakukan orang.
c.
Ia mengetahui
bahwa perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat itu tidak akan membawa
mudharat yang lebih besar.
d.
Ia mengetahui
atau setidaknya menyangka bahwa usahanya berhasil.
e.
Ia mengetahui
atau setidaknya sudah mengira bahwa apa yang ia lakukan tidak akan membahayakan
dirinya atau hartanya.[102]
Perintah berbuat baik dan larangan
berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja,
tetapi juga oleh golongan umat islam lainnya. Perbedaannya adalah dalam
pelaksanaannya saja. Ada yang berpendapat bahwa perintah dan larangan cukup
dijalankan dengan penjelasan dan seruan saja, dan ada yang berpendapat perlu
dengan paksaan dan kekerasan.[103]
Kaum Khawarij dalam melaksanakan
Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar ini dengan kekerasan yakni
menggunakan pedang.[104]
Maka dalam sejarah kaum Khawarij banyak menumpahkan darah. Adapun Murji’ah
melaksanakannya tanpa kekerasan. Di sisi lain, Mu’tazilah menganggap bila sudah
cukup dengan penjelasan, paksaan dan kekerasan tidak diperlukan lagi. Tetapi
bila penjelasan tidak cukup, barulah memakai kekerasan, walaupun nantinya akan
menimbulkan peperangan.[105]
Hal ini terjadi di dalam peristiwa mihnah.
2.4 Al-Mihnah
Mihnah
berasal dari kata mahana - yumhinu – mihnan yang berhasil yang berarti احتبرمو جربه yang menguji, mengetes. Adapun
al-Mihnah ما يمتحن الانسان من بلية[106]
yaitu manusia yang di uji dengan cobaan. Menurut Hans Wehr al-Mihnah
berarti Severe, trial, ordeal, tribulation[107],
yaitu pemeriksaan keras, cobaan keras, kesengsaraan. Dari pengertian ini dapat
disimpulkan bahwa mihnah adalah ujian, pemeriksaan, dan cobaan yang
berat yang mengakibatkan kesengsaraan.
Dalam
pengertian lebih lanjut, mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan
dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadi’
dan penjabat serta tokoh masyarakat agar mereka menerima paham bahwa Al-Qur’an
diciptakan, sebagaimana dianut kaum Mu’tazilah. Bagi para qadi’ yang
menyatakan pandangannya sesuai dengan Mu’tazilah dalam hal diciptakannya
Al-Qur’an itu, dapat melanjutkan jabatannya dan mereka di pandang sah
kesaksiaannya di pengadilan.[108]
Paham tentang kemakhlukan Al-Qur’an sebenarnya merupakan konsekuensi dari
ajaran Mu’tazilah tentang al-tauhid. Tuhan dalam paham mereka akan
betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan satu zat yang unik tidak ada
yang serupa dengan-Nya. Mereka menolak paham antropomorfisme yaitu
menggambarkan Tuhan dekat dengan makhluknya. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul
tidak mungkin ada pada makhluknya ialah sifat qadim. Hanya zat Tuhan
yang boleh qadim.[109] Mengakui
Al-Qur’an qodim adalah syirik, karena berarti ada yang qodim selain
Allah.
Khalifah
al-Ma’mun, putra khalifah Haun al-Rasyid, setelah menjadikan teologi Mu’tazilah
sebagai paham resmi yang dianut negara, lalu beliau mengumumkan pula tentang
kemakhlukan Al-Qur’an.[110]
Sebenarnya
paham tentang kemakhlukan Al-Qur’an ini sudah ada pada masa khalifah Bani
Umayyah terakhir, Mawan bin Muhammad. Paham ini di lontarkan oleh Ja’ad ibn
Dirham, guru Marwan. Ja’ad memperolehnya dari Thalut bin A’sham, seorang
Yahudi. Ja’ad mempunyai murid bernama Jaham ibn Shafwan, yang kelak mempunyai
pengaruh yang besar dalam pemikiran Mu’tazilah. Karena pahamnya
tersebut,akhirnya ia di bunuh oleh Khalid ibn Abdillah al-Qasri, wali Kufah[111].
Pada
masa Khalifah Harun al-Rasyid, paham tentang kemakhlukan. al-Qur’an ini di
kemukakan oleh Basyar al-Marisi Khalifah marah sekali sehingga beliau
mengatakan ”kalau tuhan memberi panjang umurku dan aku bersua dengan Basyar,
niscaya akan aku bunuh dia”. Akhirnya Basyar al-Marisi menyembunyikan diri
sampai khalifah meninggal dunia.[112]
Setelah
mengumumkan kemakhlukan Al-Qur’an, Ma’mun melancarkan mihnah kepada para
qadi’, para pejabat dan tokoh masyarakat. Tujuannya adalah untuk
meluruskan akidah warga negaranya, karena banyak para qadi yang juga
meyakini qadim-nya Al-Qur’an, padahal mereka harus dapat dipercaya.Yang
dapat dipercaya hanyalah yang benar imannya.[113]
Pelaksanaan
mihnah dijelaskan oleh Harun Nasution sebagai berikut : Perintah untuk
menguji dan memeriksa itu dalam bentuk instruksi pemerintah kepada gubernurnya.
Yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim(al-Qudah). Instruksi
ini menjelaskan bahwa orang yang mengakui al-Qur’an itu bersifat qadim, dan
dengan demikian menjadi musyrik, tidak berhak untuk menjadi hakim. Bukan para
hakim dan para pemuka saja yang dipaksa mengakui bahwa al-Qur’an diciptakan; yang
menjadi saksi dalam perkara yang diajukan Makhamah juga harus menganut paham
demikian. Jika tidak kesaksiaannya batal. Kemudian ujian serupa dihadapkan pula
kepada para pemuka tertentu dari masyarakat, karena yang memimpin masyarakat
haruslah orang yang betul-betul menganut paham tauhid. Ahli fiqih dan
Hadist di waktu itu mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Kalau golongan
ini mengakui diciptakannya al-Qur’an, tentu banyak dari rakyat yang mengikuti
ajaran Mu’tazilah.
Langkah
pertama yang dilakukan al-Ma’mun adalah menulis surat kepada Ishak ibn Mush’ab,
Gubernur Baghdad, pada bulan Rabi al-awal 218 H. Surat tersebut berisi antara
lain tentang kemakhlukan Al-Qur’an dan agar menguji para qadi dan ahli
Hadist. Surat yang sama juga dikirimkan kepada Gubernur Mesir, Kaidar.[114]
Beliau menguji Harun ibn Abdullah al-Zuhri, qadi Mesir waktu itu. Dalam
jawabannya mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Makhluk. Selanjutnya ia menguji
para saksi dan muhaditsin.[115]
Surat
kedua dikirimkan kepada Ishak ibn Ibrahim, Gubernur Baghdad untuk menguji tujuh
orang muhadistin yaitu Muhammad ibn Sa’ad, Abu Muslim, Yahya ibn Ma’in
Zuhair ibn Harb Abu Kaitsamah, Ismail ibn Daud, Ismail ibn Ali Mas’ud, dan
Ahmad ibn Ibrahim al-Dauraqi. Dalam pengujian itu, mereka semua menjawab bahwa
Al-Qur’an makhluk. Lalu mereka dikembalikan ke Baghdad.[116]
Kekelahan
tujuh orang ortodoks ini membuat Ibn Hanbal sedih yang amat mendalam. Dia
berpendapat sekiranya mereka bersabar dan tetap pada pendiriannya, mihnah pasti
tidak akan kedengeran lagi di Baghdad[117].
Kalau demikian halnya, kemungkinan tujuh orang ini melakukan taqiah.
Surat
ketiga dikirimkan kepada Ishak ibn Ibrahim untuk menguji para penjabat
pemerintah, fuqaha dan muhadistsin. Kemudian Ishak memanggil para
pejabat fuqaha dan muhadistsin. Dari pengujian tersebut banyak
diantara mereka yang memberikan jawaban tidak tegas sebagai upaya mengelak
mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk, dan tidak pula terang-terangan mengatakan qadim.
Ini agaknya dilakukan sebagai upaya untuk menghindari siksaan, diantaranya
Bisyr ibn Wali, Ali ibn Abi Muqatal, Ibn Hanbal, dan Ibn al-Bakka.[118]
Hasil
ujian tersebut dikirim kepada Khalifah al-Ma’mun. Ternyata Khalifah tidak puas
terhadap jawaban mereka yang tidak tegas. Khalifah memerintahkan Gubernur Ishak
untuk memanggil kembali Basyar ibn Walid dan Ibrahim ibn Mahdi. Jika mereka
menerima, dibebaskan, jika menolak, maka akan dibunuh.[119]
Khalifah
Ma’mun masih tetap marah sehingga Ishak mengumpulkan kembali 30 orang terdiri
dari qadi, Muhadist, dan fuqaha. Lalu mereka diuji. Mereka
menerima bahwa al-Qur’an makhluk, kecuali empat orang, yaitu: Ahmad ibn Hanbal,
Sajadah, Qowariri, dan Muhammad ibn Nuh. Mereka kemudian dibelenggu, Iskhak
lalu menguji mereka kembali. Dalam ujian ini Sajadah mengakui kemakhlukan
al-Qur’an, lalu ia dilepaskan. Hari berikutnya al-Qawariri juga mengakui
kemakhlukan al-Qur’an dan persoalannya selesai. Kecuali Ahmad ibn Hanbal dan
Abdullah ibn Nuh yang tetap pada pendiriannya. Dengan tangan terbelenggu, keduanya
dikirim kepada khalifah di Tarsus. Namun mereka belum sempat dihadapkan
langsung kepada khalifah, karena beliau telah wafat sebelum keduanya sampai di
sana. Ahmad ibn Hanbal dan Abdullah ibn Nuh dikembalikan ke Baghdad. Dalam
perjalanan pulang ini Muhammad meninggal dunia.[120]
Dengan
meninggalnya Khalifah al-Ma’mun, tidak berarti pengujian dan penyiksaan
terhadap Ahmad ibn Hanbal juga selesai. Khalifah Mu’tasim melanjutkan
ujian-ujian tersebut. Karena keras kepada pendiriannnya Ahmad ibn Hanbal didera
dan dimasukkan ke dalam penjara.[121]
Setelah
Mu’tashim wafat pada tahun 842 M, penggantinya al-Wasiq, seorang yang mempunyai
pengetahuan luas dan diberi nama Ma’mun kecil, melanjutkan mihnah bukan
saja kepada para fuqaha dan muhaddist, tetapi juga kepada seluruh
rakyat, sehingga penjara penuh dengan orang-orang yang menolak kemakhlukan
al-Qur’an.[122] Akan
tetapi, al-Wasiq tidak melakukan kekerasan kepada Ahmad ibn Hanbal, hanya
melarang tinggal di negeri itu. Ahmad ibn Hanbal lalu menyembunyikan diri
sampai al-Wasiq wafat.[123]
Tampaknya al-Wasiq takut menimbulkan kekacauan, karena ibn Hanbal ini banyak pengikutnya.
Al-Mutawakkil
mulai memerintah tahun 847 M, menggantikan al-Wasiq dan mihnah masih
tetap ada selama dua tahun.[124]
Akhirnya Al-Mutawakkil, membatalkan mihnah pada tahun 848 M. Dengan
demikian, selesailah riwayat mihnah yang ditimbulkan kaum Mu’tazilah dan
dari ketika itu mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah.[125]
2.5 Sejarah Perkembangan Mu’tazilah Selanjutnya Sebagai Aliran
Dengan adanya mihnah yang
dijalankan oleh kaum mu’tazilah terhadap kelompok lain yang sepaham dengannya, ternyata
membawa dampak yang kurang menguntungkan baginya sebagai suatu aliran. Meraka
tantangan keras dari umat islam lain
mereka berusaha di abad kesembilan untuk melaksanakan paham-paham mereka
dengan memakain kekerasan pada umat islam yang ada pada waktu itu.[126]
Setelah kejadian itu kaum mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang
berarti.[127] Pemikiran
rasional dan sikap kekerasan mereka membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi
lain dalam islam.[128]
Sejak itu pengaruh mu’tazilah mulai menurun, terutama setelah al-mutawakkil
yang menganut paham al-Quran qadim, menghapuskan mihnah. Mu’tazilah
mengalami tekanan berat. Rasionalisme dilarang selanjutnya ia menindas para
cendekiawan mu’tazilah. Buku-buku mereka dibakar dan kekuatan mereka dicerai
beraikan sehingga tidak ada lagi aliran mu’tazilah sebagai golongan.
Pada zaman berkuasanya dinasti
Buwaih (945-1055 M) mu’tazilah naik kembali. Di zaman ini orang-orang
mu’tazilah mulai kembali menduduki posisi-posisi penting dalam negara. Juga
diadakan majelis-majelis besar untuk mengajarkan aliran mu’tazilah. Aliran ini
mendapat sokongan dari Sahib ibn Abbad, perdana menteri dari Sultan Fakhr
al-Dawlah.[129]
Dinasti buwaih beraliran syi’ah
dalam teologi syi’ah dan mu’tazilah mempunyai paham-paham dasar yang sama.
Golongan syi’ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat, dan bagi
golongan yang serupa ini teologi yang berdasar pada rasio seperti yang
dianjurkan kaum mu’tazilah lebih sesuai daripada aliran teologi yang banyak
bersifat tradisional seperti yang ditimbulkan oleh Asy’ari.[130]
Filsuf-filsuf besar umumnya hidup di zaman ini seperti al-Farabi, ibn
Maskawaih, al-Ghazali, al-Biruni, dan Ibnu Haitami.
Sewaktu dinasti Buwaih digulingkan
oleh Tughril dari dinasti saljuk di tahun 1055, kedudukan mu’tazilah belum
mengalami perubahan.[131]
Perdana menteri Abu Nashr Muhammad ibn Mansur yang beraliran Mu’tazilah memberi
dukungannya kepada Mu’tazilah. Dengan meninggalnya Tughril Bek, Mu’tazilah
menurun kembali karena penggantinya Alp Arselan mengangkat Nizham al-Mulk, seorang
penganut Asy’ariah menjadi perdana menteri.
Semenjak itu nama Mu’tazilah
berangsur-angsur hilang sebagai aliran. Lebih kurang selama Tujuh abad nama
Mu’tazilah tidak terdengar lagi baru pada abad kesembilan belas Mu’tazilah
muncul kembali, tetapi tidak dalam bentuk aliran. Pemikiran-pemikiran
Mu’tazilah mulai muncul kembali oleh para pemuka pembaruan terutama Jamaluddin
al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Sayyid Ahmad Khan.[132]
Atas pengaruh merekalah pandangan orang terhadap Mu’tazilah mulai berubah. Telah
ada pengarang-pengarang, bahkan aliran ulama mulai membela kaum Mu’tazilah, seperti
Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam dan Dluha al-Islam, Ali Sami
al-Nasysyar dalam Nas’yah al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam, Syeh Muhammad
Yusuf Musa dalam al-Quran wa al-Falsafah, Syeh Muhammad Abu
Zahrah dalam kitab al-Madzahib al-Islamiyah, dan Syeh Ali Mustafa
Al-Ghurabi dalam Tarikh al-Firaqal-Islamiyah.[133]
Di Indonesia
Pemikiran Mu’tazilah sudah lama diminati. Para tokoh pembaru K.H Ahmad Dahlan, H.Agus
Salim kebanyakan di pengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Demikian
juga tokoh-tokoh lain seperti Hamka, Harun Nasution, Nurcholish Madjid.
2.6 Penilaian Orang Terhadap Aliran Mu’tazilah
Kehadiran
dan peranan Mu’tazilah telah disoroti oleh para pakar secara kontroversial. Ada
yang menyorotnya secara positif dan ada pula yang secara negatif. Oleh para
pendukung, kata Mu’tazilah diberi konotasi yang baik, yaitu orang-orang yang
memisahkan diri dan kebatilan. Adapun pihak-pihak lawannya memberikan konotasi
negatif, yang berarti orang-orang yang memisahkan diri dari kebenaran atau
dengan kata lain, kelompok orang-orang yang sesat.
Sorotan
positif dapat dijumpai terutama dari para penulis modern seperti Ahmad Amin, Syeh
Mustafa al-Ghurabi, dan sebagainya. Ahmad Amin menilai bahwa Mu’tazilah adalah
golongan pertama yang menggunakan senjata yang digunakan oleh lawan islam
seperti kaum Yahudi, Kristen, Majusi, dan kaum materialis, dalam mengikis
serangan-serangan terhadap Islam pada permulaan kerajaan Bani Abbasiyah. Mu’tazilah
mempunyai andil besar dalam melawan musuh-musuh Islam. Al-Ghurabi menilai bahwa
Mu’tazilah adalah suatu golongan yang ditakdirkan oleh Allah untuk bangkit
membela Islam. Jika tidak demikian, mungkin Ilmu Kalam tidak akan muncul dengan
kekayaan yang besar dan kita tidak bisa membeli Islam dari serangan-serangan
orang luar.[134]
Demikian
pula analisis yang lebih menarik yaitu pernyataan W. Montgomery Watt, seorang
orientalis non-Muslim dalam bukunya Islamic Theology and Phylosophy, beliau
menulis: Kaum Mu’tazilah sebagai pemikir bebas Islam. Islam akan lebij cocok
bagi orang-orang Eropa seandainya saja kaum Mu’tazilah tidak digantikan oleh
golongan Asy’ariyah dan golongan serupa lainnya yang kering kerontang dan
sangat tertutup.
Al-Syahrastani
dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal menyatakan, ada keterangan lain
menyebutkan, orang-orang yang memisahkan diri dari suatu kelompok atau jama’ah
dapat saja disebut Mu’tazilah atau Mu’tazilin. Dari itu kelompok orang yang
tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian politik di masa Utsman ibn Affan, Ali
ibn Abi Thalib dan masa-masa sesudahnya yang hanya menekuni soal-soal ilmu
pengetahuan dan ibadah di masjid dinamai Mu’tazilah.[135]
Dalam
kaitan ini Ahmad Amin menyatakan, ada segi persamaan antara Mu’tazilah awal
dengan Mu’tazilah Wasil. Mu’tazilah awal mempunyai corak politik, menjauhi
pertikaian antara ali dan lawan-lawannya, begitu pula Mu’tazilah Wasil
mempunyai corak politik, karena mereka juga membahas praktik-praktik politik
yang dilakukan oleh Ustman, Ali, Mu’awiyah, dan sebagainya. Perbedaan antara
kedua adalah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persolan teologi dan falsafat
kedalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka. Pendapat Ahmad Amin sama dengan
pendapat yang dikemukakan oleh C.A.Naliino yang menyatakan bahwa golongan Wasil
adalah golongan yang berdiri netral diantara Khawarij yang memandang Ali dan
Mu’awiyah dan orang yang berdosa besar lainnya kafir, dan Murjiah yang
memandang mereka tetap mukmin. Menurut Nallino, golongan Mutazilah yang
mempunyai kedua hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah yang pertama atau
dapat dikatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan
Mu’tazilah pertama.[136]
Sorotan
Negatif terhadap Mu’tazilah dapat dijumpai pada pendapat Kiai Haju Sirajjudin Abbas
yang menggambarkan Mu’tazilah sebagai suatu kaum yang membikin heboh dunia
Islam pada abad-abad permulaan Islam, pernah membunuh ulama-ulama Islam seperti
Syeh Buwaithi, pengganti Imam Syafi’i dalam peristiwa Qur’an makhluk.[137]
Selain
itu menurut beliau: “Imam Ahmad ibn Hanbal, pembangunan Madzhab Hambali, mengalami
pula siksaan dalam penjara selama lima belas tahun, akibat peristiwa itu”.[138]
Selanjutnya Sirajjudin Abbas mengatakan Mu’tazilah banyak menggunakan akal, bukan
mengutamakan Qur’an dan Hadist, Mu’tazilah dianggapnya sebagai golongan yang
sesat dan tergelincir dalam arti yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
Aliran Mu’tazilah timbul dari suasana politik pada
peristiwa tahkim di zaman Khalifah Ali, lalu dari peristiwa ini menjurus
kepada bidang teologi. Aliran Mu’tazilah menampakkan diri setelah adanya dua
sikap paham teologi sebelumnya yakni Khawarij dan Murjiah yang banyak
membicarakan tentang perbuatan dosa besar.
Wasil
bin ‘Atha adalah pendiri dan tokoh utama dari Aliran Mu’tazilah secara peletak
dasar dasar aliran ini yang dikenal dengan Ushul al-Khamsah.
Kaum
Mu’tazilah (kaum rasionalis islam) mempunyai jasa yang besar dalam
mempertahankan serangan-serangan jasa yang datang dari luar yang terjadi di
zaman itu. Mereka mempunyai lima ajaran dasar (Pancasila), yaitu al-Tauhid, al-‘Adl,
al-Wa’duwa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilataini, dan al-Amru bi
al-Ma’ruf wa alNahyu ‘an al-Munkar. Kelima sila ini harus dipakai secara
utuh.
Dalam
menyiarkan ajaran-ajarannya, mereka suka menggunakan kekerasan. Hal ini
terlihat dengan dilancarkannya apa yang disebut mihnah (pemeriksaan
paham pribadi, inquistion) yang dengan ini orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka dikejar-kejar dan disiksa. Ini terjadi pertama kali pada
masa Khalifah Abbasiyah al-Ma’mun, kemudian dilanjutkan oleh al-Mu’tasim dan
al-Wasiq.
Mihnah
bertitik tolak dari argumentasi bahwa syirik adalah dosa besar yang tidak bisa
diampuni. Mengakui al-Qur’an qadim (kekal) adalah syirik, karena yang qadim
hanya satu yaitu Allah. Selain dari Allah adalah baru (Hadist), al-Qur’an
adalah ciptaan Allah, karena itu al-Qur’an baru.[139]
Mihnah
dilancarkan kepada penguasa untuk menguji apakah apakah mereka telah musyrik, dengan
sebab mengakui al-Qur’an qadim, karena seorang musyrik tidak dapat dijadikan
pemimpin. Namun sayang, mihanh membawa dampak negatif bagi perkembangan
Mu’tazilah selanjutnya sebagai aliran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Abr, Abdul Latiif Muhammad.
t.th. Al-Ushul al-Fikriyah li al-Mahzhab Ahli as-Sunnah. Kairo: Dar
al-Nadhlah.
Abbas, Sirajudin. 1991. I’tiqad
Ahlusunnah wa al-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Abu Zahrah, Muhammad Ahmad. t.th. Al-Mazahib
al-Islamiyah. Al-Maktabah al-Mahmudah.
Al-Baghdadi. t.th. Al-Farq bain
al-Firaq. Kairo: Maktabah Subeih.
Al-Ghurabi. 1950. Ali Mustafa, Tarikh
al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Muhammad Ali Shabah.
A History of Muslim Philosophy”. Congress
Pakistan Philosophical. Germany: Allgiluer Heimatverlag Gmbh.
Al-Jabbar, al-Qodi Abd. 1965. Syekh
al-Usul al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbiyah.
Al-Nasysyar, Ali Sami. 1996. Nast’at
al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam. Mesir.
Al-Syahrastani, Abd. al-Karim ibn
Muhammad. 1951. Al-Milal wa al-Nihal. Kaior: Dar al-Fikr.
Amin, Ahmad. 1936. Duha al-Islam.
Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Mishiriyah.
Amin, Ahmad. 1965. Fajr al-Islam.
Singapura: Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i.
Badawi, Abdurrahman. 1971. Mazahib
al-Islamiyah. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
Badir’un, Faishal. 1982. ‘Ilm
al-Kalam wa Madarisuhu, Mesir: Maktabah al-Mishriyah al-Haditsah.
Dahlan, Abdul Aziz. 1987. Sejarah
Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Beunabi Cipta.
Fakhry, Majid. 1986. Sejarah
Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Gibb, H.A.R. dan JH. Kramers. 1974.
Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: EJ. Brill.
Madjid, Nurcholish. 1988. Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah
Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Ma’luf, Louis. 1973. Al-Munjid
fi al-Lughah wa al-‘Alam. Beirut: Dar al-Masyriq.
Montgomery, Watt. 1987. Pemikiran
Teoplogi dan Filsafat Islam. Terj., Umar Basalim. Jakarta: P3M.
Musthafa, Ali. 1950. Tarikh
al-Firak al-Islamiyah. Kairo: Muhammad Ali Shabah.
Nasution, Harun. 1986. Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakrta: UI-Press.
Nasution, Harun. 1974. Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang.
Patton, Walter M. 1897. Ahmad
Ibn Hanbal and al-Mihnah. Leiden: EJ. Brill.
Qosim, Mahmud. 1973. Dirasat fi
al-Falsafat al-Islamiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif.
Subhi, Ahmad Mahmud. 1969. Fi’ilm
al-Kalam: Dirasah Falsafiyah. Iskandariyah: Dar al-Kutub al-Jami’iyyah.
Syalabi, Ahmad. 1978. Muusu’ah
fi al-Tarikh al-Islami wa al-Hadlarah al-Islamiyah. Mesir: Maktabah
al-Nadlah.
Watt, W. Montgomery. 1987. Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam. (Terj. Umar Basalin, Jakarta: P3N.
Wehr, Hans. 1960. A Dictionary
of Modern Written Arabic, J. Milton Coan (Ed.), Ithaca.
Zahrah, Abu. T.th. Al-Mazahib
al-Islamiyah. Jil. I., Kairo: Maktabah al-Adab.
[1] Watt Montgomery, Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam, Terj., Umar Basalim, Jakarta:P3M. 1987, hlm. 7.
[2] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI-Press,
1986, hlm. 6-7.
[3] Ibid, hlm. 7.
[4] Abdul Aziz Dahlan, sejarah
Perkembangan Pemikiran dalam Islam, jakarta: Beunebi Cipta, 1987, hlm. 30.
[5] Harun Nasution, Op.
Cit, hlm. 22-3.
[6] Muhammad Abd.
Al-Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Kairo: Dar al-Fikr, 11.
[7] Ali Musthafa, Tarikh
al-Firuk al-Islamiyah, Kairo: Muhammad Ali Shabah, 1950, hlm. 48.
[8] Ahmad Amin, Fajr
al-Islam, Kairo: al-Nahdah, 1965, hlm. 165.
[9] Harun nasution, Op.
Cit., hlm. 38.
[10] Rasionalisme dalam
Islam berbeda dengan rasionalisme Barat. Rasionalisme barat adalah satu paham
yang mengakui kemutlakan rasio. Adapun dalam Islam hanya membenarkan relatif.
Kebenaran yang mutlak datang dari wahyu. Kihat Nurcholish Madjid, Islam
Kemodernan dan Keisdonesiaan, Bandung: Mizan, 1988, hlm. 28-9.
[11] Al-Nasysyar, Nasy’ah
al-Fikr al-Falsafifi al-Islam, Kairo, Juz I, hlm. 374.
[12] Ahmad Amin, Op.
Cit., hlm. 158.
[13] Al-Nasysyar, Op.
cit., hlm.375.
[14] Harun Nasution, Op.
cit., hlm. 39.
[15] Yang dimaksud masalah
politik adalah masalah pemilihan khalifah. Siapa sebenarnya yang terbaik untuk
menjadi khalifah yang mengatur urusan umat Islam. Adapun masalah agama adalah
hal-hal yang berhubungan denagn dasar-dasar akidah Islam.
[16] Ali Musthafa al-Ghurabi,
Op. cit., hlm. 48-9.
[17] Al-Nasysyar, Op.
cit., hlm. 430.
[18] Ahmad Mahmud Subhi,
Fi’ilm al-Kalam: Dirasah Falsafiyah. Iskandariyah: Dar al-Kutub al-Jammi’iyyah,
1969, hlm. 75.
[19] Harun Nasution.,
Op. cit., hlm. 40.
[20] Ibid.
[21] Ali Musthafa
al-Ghurabi, Op. cit., hlm. 101.
[22] Ibid, hlm.
48-9.
[23] Ibid
[24] Yang dimaksud dengan
masalah politik dalam kalimat ini adalah masalah pemilihan Khalifah: Siapa
sebenarnya yang berhak untuk menjadi Khalifah yang mengatur urusan umat Islam.
Adapun masalah agama yang dimaksud adalah hal-hal yang ada hubungannya dengan
pokok-pokok atau dasar-dasar akidah Islam.
[25] Abu Zahrah, al-Mazahib
al-Islamiyah, Jil. I., Kairo: Maktabah al-Adab, t.thm., hlm. 138.
[26] Ahmad Mahmud Subhi,
Fi ‘Ilm al-Kalam; Dirasah Falsafiyah, Iskandariyah: Dar al-Kutub,
al-Jami’iyyah, 1969, hlm. 73.
[27] Al-Syahrastani, Op.
cit., hlm. 47-8.
[28] Harun Nasution, Op.
cit., hlm. 38.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Abdul Aziz Dahlan, Op.
cit., hlm. 69.
[32] Mahmud Qasim, Dirasat
fi al-Falsafat al-Islamiyah, Mesir: Dar al- Ma’arif, 1973, hlm. 161.
[33] Ahmad Mahmud Subhi, Op.
cit., hlm. 80-1.
[34] Ibid., hlm.
75-6.
[35] Abdurrahman Badawi, Madahib
al-Islamiyah, Beirut: Dar al-‘Ilm li al Malayyin, 1971, hlm. 41.
[36] Ibid, hlm. 81.
[37] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1983,
hlm.43.
[38] Abdurrahman Badawi, Op.
cit., hlm. 81-2
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Al-Syahrastani, Op.
cit., hlm. 47-8.
[43] Al-Qodi Abd.
Al-Jabbar, Syekh al-Usul al-Khomsah, Kairo: Maktabah Wabiyah, 1965, hlm.
666.
[44] Harun Nasution, Op.
cit., hlm. 44.
[45] Al-Syahrastani, Op.
cit.
[47] Ibid.
[48] Al-Syahrastani, Op.
cit.
[49] Harun Nasution, Op.
cit.
[50] Ibid.
[51] Al-Nasysyar, Op.
cit., hlm. 435.
[52] Al-Baghdadi, Al-Farq
bain al-Firaq, Kairo: Maktabah Subeih, tt.
[53] Al-Syahrastani, Op.
cit., hlm. 49.
[54] Harun Nasution, Op.
cit., hlm. 45.
[55] “A History of Muslim
Philosophy”., Congress Pakistan Philosophical, Germany: Allgiluer Heimatverlag
Gmbh, hlm. 207.
[56] Ibid.
[57] Abdul Latif Muhammad
al-‘Abr, Al-Ushul al-Fikriyah li al-Mazhab Ahli as-Sunnah, Kairo: Dar
al-Nadhlah, tt, hlm. 102.
[58] Ali Mustafa
al-Ghurabi, Op. cit., hlm. 183-4.
[59] Abdul Latif Muhammad
al-‘Abr. Op. cit., hlm. 103.
[60] Ali Musthafa
al-Ghurabi, Op. cit., hlm. 185.
[61] Abd. Al-Karim ibn
Muhammad al-Syahrastani, Op. cit., hlm. 49-51.
[62] Abdul Latif Muhammad
al-‘Abr, Op. cit., hlm. 121.
[63] Abdullah Badawi,
Op.cit., hlm. 198.
[64] Ali Mustafa
al-Ghurabi, Op.cit., hlm. 186.
[65] Abdul Latif Muhammad
al-‘Abr, Op. cit., hlm. 133.
[66] Al-Syahrastani, Op.
cit., hlm. 55-8.
[67] Abd. Al-Rahmah
Badawi, Op. cit., hlm. 280.
[68] Ibid, hlm.
282.
[69] Ibid.
[70] Ibid, hlm.
290-324
[71] Ahmad Amin, Duha
al-Islam, Kairo: al-Nahdah, 1964, hlm. 147.
[72] Al-Syahrastani, Op.
Cit., hlm. 70-1
[73] Harun Nasution,
Op. Cit., hlm. 38.
[74] Ahmad Amin, Op.
Cit., hlm. 22.
[75] Abd. Al-Jabbar, Syarh
al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1965, hlm. 6.
[76] Ahmad Amin, Op.
Cit.
[77] Abd. Al-Jabbar, Op.
Cit., hlm. 7.
[78] Harun Nasution, Op.
Cit., hlm. 52.
[79] Ali Sami al-Nasysyar,
Op. Cit., hlm, 422-3.
[80] Ahmad Amin, Fajr
al-Islam, Op. Cit., hlm. 297.
[81] Al-Syahrastani, Op.
Cit., hlm. 46.
[82] Harun Nasution, Op.
Cit., hlm. 53-3
[83] Ali Mustafa
al-Ghurabi, Op. Cit., hlm. 226.
[84] Abd. al-Jabbar, Op.cit.,
hlm. 227-8.
[85] Harun Nasution, Op.cit.,
hlm. 52.
[86] Abd. al-Jabbar, Op.cit.,
hlm. 253.
[87] Harun Nasution, Op.cit.,
hlm. 144.
[88] Ibid., hlm.
53.
[89] Abd. al-Jabbar, Op.cit.,
hlm. 132.
[90] Ibid., hlm.
133.
[91] Ibid.
[92] Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, hlm. 85.
[93] Ali Sami al-Nasysyar,
Op.cit., hlm. 434.
[94] Harun Nasution, Op.cit.,
hlm. 128.
[95] Faishal Badir’un, ‘Ilm
al-Kalam wa Madarisuhu, Mesir: Maktabah al-Mishriyah al-Haditsah, 1982,
hlm. 202.
[96] Ahmad Amin, Op.
Cit., hlm. 63.
[97] Majid Fakhry, Op.cit.,
hlm. 128.
[98] Al-Syahrastani, Op.cit.,
hlm. 59.
[99] Ibid., hlm.48.
[100] Harun Nasution, Op.cit.,
hlm. 55.
[101] Ali Sami al-Nasysyar,
Op.cit., hlm. 430.
[102] Abd. al-Jabbar, Op.cit.,
hlm. 142-3.
[103] Harun Nasution, Op.cit.,
hlm. 56.
[104] Ahmad Amin, Op.cit.,
hlm. 67.
[105] Faisal Badir’un, Op.cit.,
hlm. 225..
[106] Louis Ma’luf, a-Munjid
fi al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1973, hlm. 750.
[107] Hans Wehr,A
Dictionary of Modern Written Arabic,J Milton Coan(Ed),Ithaca,1960.hlm.895
[108] H.A.R Gibb dan JH
Kramers,Shorter Encyclopaedia of Islam,Leiden:EJ.Brill,1974,hlm.377.
[109] Harun Nasution,Op.Cit.,hlm.52.
[110] Ibid.,hlm.8.
[111] Ibid
[112] Ahmad Syalabi,Mausu’ah
fi al-Tarikh al-Islami wa al-Hadlarah al-Islamiyah,Mesir:Maktabah
al-Nadlah,1987,hlm.183.
[113] Harun Nasution,Op.,Cithlm.62.
[114] Walter M.Patton,Ahmad
ibn Hanbal and al-Mihnah,Leiden:EJ.Brill,1897,hlm.56.
[115] Ibid,hlm.61-62
[116] Ahmad Amin,Op.,Cit.,hlm.170
[117] Walter M. Patton.,Op.,Cit.
[118] Ahmad Amin,Op.,Cit,hlm.170.
[119] Ibdi.hlm.176
[120] Ibid.,hlm.177.
[121] Harun Nasution,Op.,Cit.,hlm.63.
[122] Ahmad Amin,Op.,Cit.hlm.184.
[123] Muhammad Ahmad Abu
Zahrah,Op.,Cit.,hlm.254.
[124] Walter M.Patton ,Op.,Cit,hlm.122.
[125] Harun Nasution,Op.,Cit.
[126] Harun Nasution,Islam
ditinjau dari berbagai aspeknya,Jakarta:Bulan Bintang,1974,hlm.40.
[127] W.Montgomery Watt,Op.,Cit.hlm.78.
[128] Harun Nasution,Islam,Op.,Cit.
[129] Harun Nasution,Teologi,hlm.74.
[130] Ibid
[131] Ibid
[132] Harun Nasution,Islam,hlm.43.
[133] Ibid
[134] Al-Ghurabi,Op.,Cit.hlm.263.
[135] Al-Syahrastani,Op.,Cit..
[136] Harun Nasution,Op.,Cit.hlm.41.
[137] Sirajjudin Abbas,Ihtiqad
Ahlus Sunnah Wal Jamaah,Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1991,hlm 173.
[138] Ibid
[139] Harun Nasutin.Op.,Cit.hlm.54
dan 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar