Kamis, 13 September 2018

MAKALAH OTORITAS JASA KEUANGAN



 

 

MAKALAH

OTORITAS JASA KEUANGAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Lembaga Keuangan Syariah Non Bank


Dosen Pengampu:
Firman Setiawan SHi., MEi.


Disusun oleh
Zakiyatur Rahmah     (150721100126)


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1998. Krisis tersebut menyebabkan efek yang besar bagi perekonomian Indonesai. Banyak Lembaga aKeuanagna yanng harus gulung tikar. Kemnudian muncullah gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga independen untuk mengatasi oermasalahan tersebut.  Menurut undang-undang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan harus sudah terbentuk pada tahun 2002. Meskipun sudah berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan UU, tapi kenyataanya pada tahun 2002 belum terbentuk juga. Pada tanggal 27 Oktober 2011, RUU Otoritas Jasa Keuangan disahkan oleh DPR, dan selanjutnya pemerintah mensahkan dan membuat undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan(OJK) yaitu Undang-undang nomor 21 tahun 2011.
OJK mengambil alih tugas bank Indonesia dalam hal pengawasan terhadap Lembaga Keuangan yang ada di Indonesia sehingga Bank Indonesia fokus terhadap penstabilan kurs dan aspek moneter lainnya. Hak tersebut dilakanakan mulai akhir tahun 2013.
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.[1]
Oleh karena itu kami akan membahas tentang pengertian dari Otoritas Jasa Keuangan, dasar hukum, tugas dan wewenang serta kendala dan problematika otoritas jasa keuangan di Indonesia. 




BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.[2]
Sementara itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Bab 1 Pasal 1 pengertian OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.[3]
Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.[4]
Salah satu tugas utama OJK adalah mengatur dan mengawasi seluruh jasa keuangan yang berada di negara Indonesia baik perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.[5] Sementara itu yang dimaksud dengan lembaga keuangan lainnya meliputi: asuransi, sekuritas, modal ventura, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, termasuk pasar modal.
Tujuan utama didirikannya Otoritas Jasa Keuangan adalah meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik dibidang jasa keuangan, menegakkan peraturan peraturan perundangan-undangan di jasa keuangan, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan serta melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Satu hal yang juga diharapkan terbentuknya OJK adalah persoalan perlindungan konsumen. Secara garis besar OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan[6] :
1.        Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
2.        Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
3.        Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Sementara itu tujuan independensi OJK dimaksudkan agar kemampuan dalam mengatur dan mengawasi jalannya lembaga keuangan di Indonesia dapat dilakukan dengan baik dan tegas. Salah satu tujuan lain pembentukan OJK ini tentunya diharapkan akan mampu memperkecil tingkat terjadinya kredit macet, yaitu dengan menerapkan berbagai sistem dan aturan untuk dipatuhi oleh pihak industri keuangan non bank.
Dalam aktivitas kegiatan nya OJK akan melakukan pungutan pada pihak yang terlibat dalam kegiatan jasa keuangan. Berikut adalah penjelasannya pada pasal 37 pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi :
1.        OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
2.        Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3.        Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
4.        OJK menerimana, mengelola. Dan mengadministrasikan pungutan seagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
5.        Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didasarkan kepada 3(tiga) landasan, yaitu:
1.        Landasan Filosofis:
Mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat indonesia.
2.        Landasan Yuridis:
a.    Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia
b.    UU No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No. 2 tahun 2008  tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi undang-Undang.
3.        Landasan Sosiologis:
a.    Globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.
b.    Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
c.    Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.[7]
1.2    Dasar Hukum
Yang menjadi dasar ukum utama OJK yakni Undang-undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Berikut adalah rincian Undang-Undang tersebut[8]:
a.         Bab I Ketentuan Umum.
Penjelasan mengenai: Pengertian, serta aturan dan ketentuan yang diatur UU otoritas Jasa Keuangan.
b.        Bab II Pembentukan, Status, dan Tempat Kedudukan.
Penjelasan mengenai: dasar hukum pembentukan, status independen, dan kedudukan OJK.
c.         Bab III. Tujuan, Fungsi, Tugas dan Wewenang.
Penjelasan mengenai: tujuan pembentukan, fungsi, tugas, dan wewenang yang dimiliki OJK dalam kegiatan disektor jasa keuangan.
d.        Bab IV Dewan Komisioner.
Penjelasan mengenai: pembentukan Dewan Komisioner OJK, termasuk Struktur Dewan Komisioner, Pengangkatan dan Pemberhentian, Penggantian antar waktu, serta Tugas dan Wewenang yang dimiliki dan yang dilarang.
e.         Bab V Organisasi dan Kepegawaian
Penjelasan mengenai: Pembentukan Organisasi dan Kepegawaian di OJK.
f.         Bab VI Perlindungan Konsumen dan Masyarakat
Penjelasan mengenai: wewenang yang dimiliki OJK dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat, termasuk didalamnya adalah edukasi dan sosialisasi, pencegahan, serta pembelaan hukum jika diperlukan.
g.        Bab VII Kode Etik dan Kerahasiaan Informasi
Penjelasan mengenai: kode etik yang dimiliki OJK, serta kerahasian informasi yang harus dilakukan beserta sanksi jika terjadi pelanggaran.
h.        Bab VIII Rencana Kerja dan Anggaran
Penjelasan mengenai: rencana kerja dan anggaran yang dimiliki OJK sebagai pendukung dalam melaksanakan tugasnya.
i.          Bab IX pelaporan dan Akuntabilitas
Penjelasan mengenai: kewajiban OJK untuk membuat laporan keuangan dan laporan kegiatan, serta akuntabilitas dengan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
j.          Bab X hubungan Kelembagaan
Penjelasan mengenai: koordinasi dan kerjasama yang dilakukan OJK dengan Bank Indonesia dalam fungsi pengawasan perbankan, serta protokol koordinasi di Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dan hubungan yang bersifat internasional.
k.        Bab XI Penyidikan
Penjelasan mengenai: wewenang khusus untuk penyidikan yang dimiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK.
l.          Bab XII Ketentuan Pidana
Penjelasan mengenai: sanksi pidana bagi pelanggar UU OJK dan bagi yang mengabaikan, tidak memenuhi serta menghambat pelaksanaan kewenangan OJK.
m.      Bab XIII Ketentuan Peralihan
Penjelasan mengenai: penjelasan pada tanggal 31 Desember 2012 sebagai berlakunya fungsi, tugas, dan wewenang OJK dalam pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan, serta penetapan mengenai Anggota Dewan Komisoner.
n.        Bab XIV Ketentuan Penutup
Penjelasan mengenai: dasar hukum peralihan sejumlah fungsi, tugas, dan wewenang yang tadinya dimiliki instansi keuangan lain ke OJK.
2.3  Tugas dan Wewenang
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap[9]:
a.         kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b.        kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.         kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun.
d.        Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, OJK mempunyai wewenang[10]:
a.         pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi[11]:
2.    perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
3.    kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b.        pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi[12]:
1.    likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2.    laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3.    sistem informasi debitur;
4.    pengujian kredit (credit testing); dan
5.    standar akuntansi bank;
c.         pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi[13]:
1.    manajemen risiko;
2.    tata kelola bank;
3.    prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4.    pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5.    pemeriksaan bank.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang[14]:
a.         menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.        menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.         menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.        menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.         menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.         menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.         menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.        menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.          menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan, OJK memiliki wewenang[15]:
a.         menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.        mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.         melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.        memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.         melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.         menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.         menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.        memberikan dan/atau mencabut:
1.    izin usaha;
2.    izin orang perseorangan;
3.    efektifnya pernyataan pendaftaran;
4.    surat tanda terdaftar;
5.    persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6.    pengesahan;
7.    persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8.    penetapan lain,
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut[16]:
1.        Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.        Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3.        Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
4.        Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
5.        Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.        Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
7.        Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
2.4  Kendala dan Problematika Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia
Kendala Otoritas Jasa Keuangan:
1.         Restrukturisasi organisasi
Pada awal berdiri, APRA sempat terancam gagal karena kendala restrukturisasi organisasi. APRA menyerap sumberdaya manusia (SDM) dari sembilan dinas pemerintahan di Australia. Proses penyerapan SDM dari berbagai dinas ternyata bukan perkara mudah.[17]
Penyamaan persepsi kerja ternyata menjadi kendala meski APRA sudah menyusun sistem kerja. Tak ayal, target restrukturisasi organisasi yang semula dipatok kurang dari tiga tahun, malah berturut-turut.[18]
2.         Biaya Operasional
Sektor pengawasan yang banyak dan wilayah yang luas menuntut konsekuensi berupa biaya operasional yang sangat besar. APRA misalnya harus mengawasi 327 perusahaan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Termasuk mengawasi 291 dana pensiun.[19]
3.         Koordinasi
Dibanding dua kendala diatas, koordinasi merupakan menjadi kendala yang dialami oleh lembaga pengawas  keuangan.
Menurut Lana, fungsi koordinasi menjadi penentu utama keberhasilan lembaga pengawas keuangan, “Supaya tidak ada lagi tumpang tindih kewenangan dan saling lempar tanggung jawab ketika muncul masalah, katanya”.[20]
1.        Problematika Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia
a.        Track Record lembaga di Indonesia yang tersandung kasus korupsi
Independensi tidak menjamin apakah suatu lembaga bersih dari korupsi atau tidak. Apalagi sebagai lembaga baru, OJK akan dikelilingi uang triliunan rupiah dari industri perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya yang mereka bawahi. Maka cukup menjadi perhatian lebih mengingat beberapa lembaga independen yang ada di Indonesia sering terkait kasus korupsi dan merugikan negara.
b.        Perlindungan bagi Koperasi
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menggagalkan UU No. 17 Tahun 2012 tentang koperasi membuat diakuinya kembali koperasi yang berbentuk “badan usaha” tidak hanya yang berbentuk “badan hukum”.[21] Koperasi yang masih berupa badan usaha ada sangat banyak di Indonesia namun OJK tidak menjangkau perlindungan pada koperasi terutama koperasi simpan pinjam. Padahal sebagai salah satu dari tiga soko guru perekonomian nasional, koperasi juga harus mendapat perlindungan dan pengawasan dari lembaga semacam OJK.
c.         Birokrasi yang menjadi lebih besar
OJK termasuk badan pengawasan yang besar sehingga dalam aplikasinya sangat dimungkinkan membuat birokrasi lebih besar dari sebelumnya ketika microprudential dan macroprudential masih ditangani oleh satu lembaga yaitu Bank Indonesia. Akan sangat berbahaya jika birokrasi yang menjadi lebih lebar tersebut malah menghambat deteksi masalah terutama yang membutuhkan koordinasi dengan BI.
d.        Terbebaninya anggota pasar modal yang tidak bergerak di pasar keuangan
OJK menetapkan pungutan bagi emiten atau perusahaan terbuka yang akan melakukan aksi korporasi. Penetapan itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK. Pemungutan tersebut memberatkan anggota pasar modal yang bukan di sektor keuangan.[22] Hal ini berbahaya karena perusahaan akan cenderung mencari peraturan yang lebih sederhana di luar negeri.
e.         Kompetensi Dewan Komisioner OJK
OJK yang terdiri dari perwakilan regulator, perbankan, asuransi, dan pasar modal, memerlukan orang yang memiliki kompetensi di semua bidang tersebut tidak hanya spesialisasi di salah satu bidang. Kecenderungan yang terjadi ketika rapat komisioner atau
f.          Tumpang tindih peran dan wewenang
Untuk menjalankan fungsi sebagai lembaga yang menjalankan pengawasan sektor perbankan, OJK memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap bank di Indonesia agar tetap menjalankan kegiatan secara sehat dan mampu memelihara kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa perbankan (microprudential). Pada akhirya, OJK harus memastikan bahwa bank di Indonesia harus berada dalam keadaan finansial dan kinerja yang sehat dan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat akan industri perbankan.
Di sisi lain, Bank Indonesia sebagai lembaga yang memberikan arahan mengenai perkembangan perbankan, melakukan pengawasan terhadap bank – bank di Indonesia agar mereka terus menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macroprudential). Tentu saja dalam hal ini BI harus memastikan bahwa bank – bank tersebut turut mendukung kebijakan yang dikeluarkan BI dalam menjaga stabilitas moneter.[23]
Khal diatas, sebenarnya tidaklah dapat dipisahkan secara rigid peran dan wewenang dari kedua institusi ini (BI dan OJK), karena poin yang diawasi pun akhirnya merupakan satu bagian yang saling terkait. Poin yang diawasi tersebut bergantung pada kebijakan manajemen bank yang tidak terpisah. Itu artinya potensi tumpang tindih peran dan wewenang antara BI - OJK tidak dapat dihindari.
Pada dasarnya tumpang tindih antara peran OJK dan BI ini bisa diatasi dengan koordinasi yang baik antara kedua lembaga tersebut. Akan tetapi, fenomena koordinasi yang buruk antar lembaga di Indonesia yang terjadi selama ini menjadi ketakutan tersendiri untuk menempatkan satu fungsi yang sama pada dua institusi yang berbeda. [24]
Jika suatu peran diletakkan pada dua institusi yang berbeda, yang akan terjadi adalah inefektifitas dalam pelaksanaannya, dimana mereka harus selalu berkoordinasi dan tidak bisa bertindak secara mandiri.
g.        Transaction cost yang besar
Otoritas Jasa Keuangan telah dibentuk sebagai sebuah lembaga yang independen dengan tugas dan fungsi utamanya untuk mengatur dan mengawasi sektor keuangan di Indonesia menggantikan peran Bank Indonesia (pengawasan perbankan) dan Bapepam LK (pengawasan non perbankan), sehingga peran Bank Indonesia akan berfokus kepada stabilitas moneter dan peran Otoritas Jasa Keuangan ada di stabilitas keuangan. Pengalihan fungsi pengawasan ini memiliki efek negatif yaitu biaya transaksi yang besar dan juga waktu transisi yang lama. Pertama, kebutuhan akan sumber daya manusia yang meningkatkan pengeluaran. Kedua, pendekatan terintegrasi yang digunakan OJK mengharuskan adanya sistem transparasi dan koordinasi antara OJK dan BI maupun OJK dan Bapepam LK karena kebijakan yang saling terkait dan mempengaruhi. Hal ini yang kemudian menimbulkan biaya koordinasi yang mahal sebab dibutuhkan pembangunan sistem IT untuk menggabungkan server data diantara institusi tekait agar mempermudah proses data sharing dan data interfacing. Ketiga, struktur ini belum menimbang pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan membutuhkan waktu lama guna pembentukan OJK daerah.[25]




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Otoritas Jasa keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyidikan di mana sebelumnya kewenangan pengaturan dan pengawasan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan, Bank indonesia dan Bank Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Dasar hukum OJK terdapat di undang-undang nomor 21 tahun 2011.
Tugas OJK dari beberapa sistem perbankan maupun non bank, diantaranya: Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, Pegadaian, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Lembaga Penjaminan, Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan dan Penyelenggara program jaminan sosial, pensiun dan kesejahteraan.
Wewenang OJK Membuat dan menetapkan peraturan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang jasa keuangan, Memberi dan mencabut izin untuk melakukan kegiatan di bidang jasa keuangan.
Kendala OJK di Indonesia ada tiga: Restrukturisasi organisasi, Biaya Operasional, dan Koordinasi. Problematika Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia adalah sumber pembiayaan dan susunan dewan komisioner OJK, Permasalahan selanjutnya terkait susunan dewan komisioner OJK dan Aturan hukum yang menjadi acuan OJK sendiri juga masih menjadi bahan perdebatan.






DAFTAR PUSTAKA
Dasrol. 2013. Fungsi Strategis Lembaga Otoritas Jasa Keuangan  Dalam Pengawasan Perbankan Nasional Indonesia. Jurnal Ekonomi Volume 21, Nomor 2. Riau: Program Studi Ilmu Hukum , Fakultas Hukum Universitas Riau.
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI. 2014. Kajian Pro-Kontra Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia. Depok: BEM FE UI.
Fahmi, Irham. 2014. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta.
http://keuangan.kontan.co.id/news/kendala-kendala-yang-harus-di-hadapi-ojk. Di akses pada tanggal 12-09-2017. Jam 15.32
Kasmir. 2014. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Otoritas Jasa Keuangan. 2014. Booklet Perbankan Indonesia 2014. Jakarta.
Otoritas Jasa Keuangan. 2014. Booklet Perbankan Indonesia.
Sundari, Siti. 2011. Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan; Kementrian Hukum dan HAM RI.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.











                                                                                                     
KATALOG



[1] Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2014, (Jakarta; 2014), 4.
[2] Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementrian Hukum dan HAM RI, 2011, 44
[3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, 2.
[4] Dasrol, Fungsi Strategis Lembaga Otoritas Jasa Keuangan  Dalam Pengawasan Perbankan Nasional Indonesia, Jurnal Ekonomi Volume 21, Nomor 2,( Riau: Program Studi Ilmu Hukum , Fakultas Hukum Universitas Riau, 2013), 2.
[5] Irham Fahmi, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, (Bandung: Alfabeta, 2014), 16
[6] Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2014, 4.
[7] Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2014), 270-271
[8] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan,
[9] Ibid,
[10] Ibid,
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Ibid,
[15] Ibid,
[16] Ibid,
[17] http://keuangan.kontan.co.id/news/kendala-kendala-yang-harus-di-hadapi-ojk. Di akses pada tanggal 12-09-2017. Jam 15.32
[18] Ibid,
[19] Ibid,
[20] Ibid,
[21] Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI, Kajian Pro-Kontra Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia, (Depok: BEM FE UI, 2014).
[22] Ibid,
[23] Ibid,
[24] Ibid,
[25] Ibid,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar