MAKALAH
OTORITAS
JASA KEUANGAN
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Lembaga Keuangan Syariah Non Bank
Dosen Pengampu:
Firman Setiawan SHi., MEi.
Disusun oleh
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
PROGRAM STUDI EKONOMI
SYARIAH (A)
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1998. Krisis tersebut
menyebabkan efek yang besar bagi perekonomian Indonesai. Banyak Lembaga
aKeuanagna yanng harus gulung tikar. Kemnudian muncullah gagasan untuk
mendirikan sebuah lembaga independen untuk mengatasi oermasalahan tersebut. Menurut undang-undang pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan harus sudah terbentuk pada tahun 2002. Meskipun sudah berdasarkan kesepakatan
dan diamanatkan UU, tapi kenyataanya pada tahun 2002 belum terbentuk juga. Pada
tanggal 27 Oktober 2011, RUU Otoritas Jasa Keuangan disahkan oleh DPR, dan
selanjutnya pemerintah mensahkan dan membuat undang-undang tentang Otoritas Jasa
Keuangan(OJK) yaitu Undang-undang nomor 21 tahun 2011.
OJK mengambil alih tugas bank Indonesia dalam hal pengawasan
terhadap Lembaga Keuangan yang ada di Indonesia sehingga Bank Indonesia fokus
terhadap penstabilan kurs dan aspek moneter lainnya. Hak tersebut dilakanakan
mulai akhir tahun 2013.
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.[1]
Oleh karena itu kami akan membahas tentang pengertian dari Otoritas
Jasa Keuangan, dasar hukum, tugas dan wewenang serta kendala dan problematika
otoritas jasa keuangan di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan
seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana
pensiun dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan
di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik
segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.[2]
Sementara itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Bab 1 Pasal 1 pengertian OJK adalah
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.[3]
Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat
ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang
memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.[4]
Salah satu tugas utama OJK adalah mengatur dan mengawasi seluruh
jasa keuangan yang berada di negara Indonesia baik perbankan maupun lembaga
keuangan lainnya.[5] Sementara
itu yang dimaksud dengan lembaga keuangan lainnya meliputi: asuransi, sekuritas,
modal ventura, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya, termasuk pasar modal.
Tujuan utama didirikannya Otoritas Jasa Keuangan adalah
meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik dibidang jasa keuangan,
menegakkan peraturan peraturan perundangan-undangan di jasa keuangan,
meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan serta melindungi
kepentingan konsumen jasa keuangan. Satu hal yang juga diharapkan terbentuknya
OJK adalah persoalan perlindungan konsumen. Secara garis besar OJK dibentuk
dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan[6]
:
1.
Terselenggara
secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
2.
Mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
3.
Mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Sementara itu tujuan independensi OJK dimaksudkan agar kemampuan
dalam mengatur dan mengawasi jalannya lembaga keuangan di Indonesia dapat
dilakukan dengan baik dan tegas. Salah satu tujuan lain pembentukan OJK ini
tentunya diharapkan akan mampu memperkecil tingkat terjadinya kredit macet,
yaitu dengan menerapkan berbagai sistem dan aturan untuk dipatuhi oleh pihak
industri keuangan non bank.
Dalam aktivitas kegiatan nya OJK akan melakukan pungutan pada pihak
yang terlibat dalam kegiatan jasa keuangan. Berikut adalah penjelasannya pada
pasal 37 pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi :
1.
OJK mengenakan
pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
2.
Pihak
yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang
dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3.
Pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
4.
OJK
menerimana, mengelola. Dan mengadministrasikan pungutan seagaimana dimaksud
pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
5.
Dalam
hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk
tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
didasarkan kepada 3(tiga) landasan, yaitu:
1.
Landasan
Filosofis:
Mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil
dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua
sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh
rakyat indonesia.
2.
Landasan
Yuridis:
a.
Pasal
34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia
b.
UU
No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No. 2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi undang-Undang.
3.
Landasan
Sosiologis:
a.
Globalisasi
dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi
serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks,
dinamis, dan saling terkait antar subsektor keuangan baik dalam hal produk
maupun kelembagaan.
b.
Adanya
lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor
keuangan (konglomerasi) menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar
lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
c.
Banyaknya
permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang meliputi tindakan moral
hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan
terganggunya stabilitas sistem keuangan.[7]
1.2
Dasar Hukum
Yang menjadi dasar ukum utama OJK yakni Undang-undang nomor 21
tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Berikut adalah rincian Undang-Undang
tersebut[8]:
a.
Bab
I Ketentuan Umum.
Penjelasan mengenai: Pengertian, serta aturan dan ketentuan yang
diatur UU otoritas Jasa Keuangan.
b.
Bab II
Pembentukan, Status, dan Tempat Kedudukan.
Penjelasan mengenai: dasar hukum pembentukan, status independen,
dan kedudukan OJK.
c.
Bab
III. Tujuan, Fungsi, Tugas dan Wewenang.
Penjelasan mengenai: tujuan pembentukan, fungsi, tugas, dan
wewenang yang dimiliki OJK dalam kegiatan disektor jasa keuangan.
d.
Bab
IV Dewan Komisioner.
Penjelasan mengenai: pembentukan Dewan Komisioner OJK, termasuk
Struktur Dewan Komisioner, Pengangkatan dan Pemberhentian, Penggantian antar
waktu, serta Tugas dan Wewenang yang dimiliki dan yang dilarang.
e.
Bab
V Organisasi dan Kepegawaian
Penjelasan mengenai: Pembentukan Organisasi dan Kepegawaian di OJK.
f.
Bab
VI Perlindungan Konsumen dan Masyarakat
Penjelasan mengenai: wewenang yang dimiliki OJK dalam rangka
memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat, termasuk didalamnya
adalah edukasi dan sosialisasi, pencegahan, serta pembelaan hukum jika
diperlukan.
g.
Bab
VII Kode Etik dan Kerahasiaan Informasi
Penjelasan mengenai: kode etik yang dimiliki OJK, serta kerahasian
informasi yang harus dilakukan beserta sanksi jika terjadi pelanggaran.
h.
Bab
VIII Rencana Kerja dan Anggaran
Penjelasan mengenai: rencana kerja dan anggaran yang dimiliki OJK
sebagai pendukung dalam melaksanakan tugasnya.
i.
Bab
IX pelaporan dan Akuntabilitas
Penjelasan mengenai: kewajiban OJK untuk membuat laporan keuangan
dan laporan kegiatan, serta akuntabilitas dengan audit oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
j.
Bab
X hubungan Kelembagaan
Penjelasan mengenai: koordinasi dan kerjasama yang dilakukan OJK
dengan Bank Indonesia dalam fungsi pengawasan perbankan, serta protokol
koordinasi di Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dan hubungan yang
bersifat internasional.
k.
Bab
XI Penyidikan
Penjelasan mengenai: wewenang khusus untuk penyidikan yang dimiliki
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK.
l.
Bab
XII Ketentuan Pidana
Penjelasan mengenai: sanksi pidana bagi pelanggar UU OJK dan bagi
yang mengabaikan, tidak memenuhi serta menghambat pelaksanaan kewenangan OJK.
m.
Bab
XIII Ketentuan Peralihan
Penjelasan mengenai: penjelasan pada tanggal 31 Desember 2012
sebagai berlakunya fungsi, tugas, dan wewenang OJK dalam pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan, serta penetapan mengenai Anggota Dewan
Komisoner.
n.
Bab
XIV Ketentuan Penutup
Penjelasan mengenai: dasar hukum peralihan sejumlah fungsi, tugas,
dan wewenang yang tadinya dimiliki instansi keuangan lain ke OJK.
2.3 Tugas dan Wewenang
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap[9]:
a.
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b.
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun.
d.
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan,
untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, OJK
mempunyai wewenang[10]:
a.
pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank
yang meliputi[11]:
2.
perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank,
anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha
bank; dan
3.
kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana,
penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b.
pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang
meliputi[12]:
1.
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset,
rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman
terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2.
laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja
bank;
3.
sistem informasi debitur;
4.
pengujian kredit (credit testing); dan
5.
standar akuntansi bank;
c.
pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian
bank, meliputi[13]:
1.
manajemen risiko;
2.
tata kelola bank;
3.
prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4.
pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan
perbankan; dan
5.
pemeriksaan bank.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang[14]:
a.
menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.
menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
c.
menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.
menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor
jasa keuangan;
e.
menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.
menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur,
serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.
menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan,
OJK memiliki wewenang[15]:
a.
menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan;
b.
mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang
dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan,
perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.
memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa
Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.
melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.
menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.
menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan
h.
memberikan dan/atau mencabut:
1.
izin usaha;
2.
izin orang perseorangan;
3.
efektifnya pernyataan pendaftaran;
4.
surat tanda terdaftar;
5.
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6.
pengesahan;
7.
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8.
penetapan lain,
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan
berlandaskan asas-asas sebagai berikut[16]:
1.
Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan
dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2.
Asas
kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3.
Asas
kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen
dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
4.
Asas
keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
5.
Asas
profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas
dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.
Asas
integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap
tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa
Keuangan; dan
7.
Asas
akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.
2.4
Kendala dan Problematika Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia
Kendala Otoritas Jasa Keuangan:
1.
Restrukturisasi
organisasi
Pada awal berdiri, APRA sempat
terancam gagal karena kendala restrukturisasi organisasi. APRA menyerap
sumberdaya manusia (SDM) dari sembilan dinas pemerintahan di Australia. Proses
penyerapan SDM dari berbagai dinas ternyata bukan perkara mudah.[17]
Penyamaan persepsi kerja ternyata
menjadi kendala meski APRA sudah menyusun sistem kerja. Tak ayal, target
restrukturisasi organisasi yang semula dipatok kurang dari tiga tahun, malah
berturut-turut.[18]
2.
Biaya
Operasional
Sektor pengawasan yang banyak dan
wilayah yang luas menuntut konsekuensi berupa biaya operasional yang sangat
besar. APRA misalnya harus mengawasi 327 perusahaan yang terdiri dari bank,
credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Termasuk mengawasi 291
dana pensiun.[19]
3.
Koordinasi
Dibanding dua kendala diatas,
koordinasi merupakan menjadi kendala yang dialami oleh lembaga pengawas keuangan.
Menurut Lana, fungsi koordinasi
menjadi penentu utama keberhasilan lembaga pengawas keuangan, “Supaya tidak ada
lagi tumpang tindih kewenangan dan saling lempar tanggung jawab ketika muncul
masalah, katanya”.[20]
1.
Problematika Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia
a.
Track Record lembaga di Indonesia
yang tersandung kasus korupsi
Independensi
tidak menjamin apakah suatu lembaga bersih dari korupsi atau tidak. Apalagi
sebagai lembaga baru, OJK akan dikelilingi uang triliunan rupiah dari industri
perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya yang mereka bawahi. Maka cukup menjadi perhatian
lebih mengingat beberapa lembaga independen yang ada di Indonesia sering
terkait kasus korupsi dan merugikan negara.
b.
Perlindungan
bagi Koperasi
Keputusan
Mahkamah Konstitusi untuk menggagalkan UU No. 17 Tahun 2012 tentang koperasi
membuat diakuinya kembali koperasi yang berbentuk “badan usaha” tidak hanya
yang berbentuk “badan hukum”.[21]
Koperasi yang masih berupa badan usaha ada sangat banyak di Indonesia namun OJK
tidak menjangkau perlindungan pada koperasi terutama koperasi simpan pinjam.
Padahal sebagai salah satu dari tiga soko guru perekonomian nasional, koperasi
juga harus mendapat perlindungan dan pengawasan dari lembaga semacam OJK.
c.
Birokrasi
yang menjadi lebih besar
OJK
termasuk badan pengawasan yang besar sehingga dalam aplikasinya sangat
dimungkinkan membuat birokrasi lebih besar dari sebelumnya ketika microprudential
dan macroprudential masih ditangani oleh satu lembaga yaitu Bank
Indonesia. Akan sangat berbahaya jika birokrasi yang menjadi lebih lebar
tersebut malah menghambat deteksi masalah terutama yang membutuhkan koordinasi
dengan BI.
d.
Terbebaninya
anggota pasar modal yang tidak bergerak di pasar keuangan
OJK
menetapkan pungutan bagi emiten atau perusahaan terbuka yang akan melakukan
aksi korporasi. Penetapan itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK. Pemungutan tersebut
memberatkan anggota pasar modal yang bukan di sektor keuangan.[22]
Hal ini berbahaya karena perusahaan akan cenderung mencari peraturan yang lebih
sederhana di luar negeri.
e.
Kompetensi
Dewan Komisioner OJK
OJK yang
terdiri dari perwakilan regulator, perbankan, asuransi, dan pasar modal,
memerlukan orang yang memiliki kompetensi di semua bidang tersebut tidak hanya
spesialisasi di salah satu bidang. Kecenderungan yang terjadi ketika rapat
komisioner atau
f.
Tumpang
tindih peran dan wewenang
Untuk
menjalankan fungsi sebagai lembaga yang menjalankan pengawasan sektor
perbankan, OJK memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap bank di
Indonesia agar tetap menjalankan kegiatan secara sehat dan mampu memelihara
kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa perbankan (microprudential).
Pada akhirya, OJK harus memastikan bahwa bank di Indonesia harus berada dalam
keadaan finansial dan kinerja yang sehat dan dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat akan industri perbankan.
Di sisi
lain, Bank Indonesia sebagai lembaga yang memberikan arahan mengenai
perkembangan perbankan, melakukan pengawasan terhadap bank – bank di Indonesia
agar mereka terus menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter
(macroprudential). Tentu saja dalam hal ini BI harus memastikan bahwa
bank – bank tersebut turut mendukung kebijakan yang dikeluarkan BI dalam
menjaga stabilitas moneter.[23]
Khal
diatas, sebenarnya tidaklah dapat dipisahkan secara rigid peran dan wewenang
dari kedua institusi ini (BI dan OJK), karena poin yang diawasi pun akhirnya
merupakan satu bagian yang saling terkait. Poin yang diawasi tersebut
bergantung pada kebijakan manajemen bank yang tidak terpisah. Itu artinya
potensi tumpang tindih peran dan wewenang antara BI - OJK tidak dapat
dihindari.
Pada
dasarnya tumpang tindih antara peran OJK dan BI ini bisa diatasi dengan
koordinasi yang baik antara kedua lembaga tersebut. Akan tetapi, fenomena
koordinasi yang buruk antar lembaga di Indonesia yang terjadi selama ini
menjadi ketakutan tersendiri untuk menempatkan satu fungsi yang sama pada dua
institusi yang berbeda. [24]
Jika suatu
peran diletakkan pada dua institusi yang berbeda, yang akan terjadi adalah inefektifitas
dalam pelaksanaannya, dimana mereka harus selalu berkoordinasi dan tidak bisa
bertindak secara mandiri.
g.
Transaction
cost yang besar
Otoritas
Jasa Keuangan telah dibentuk sebagai sebuah lembaga yang independen dengan
tugas dan fungsi utamanya untuk mengatur dan mengawasi sektor keuangan di
Indonesia menggantikan peran Bank Indonesia (pengawasan perbankan) dan Bapepam
LK (pengawasan non perbankan), sehingga peran Bank Indonesia akan berfokus
kepada stabilitas moneter dan peran Otoritas Jasa Keuangan ada di stabilitas
keuangan. Pengalihan fungsi pengawasan ini memiliki efek negatif yaitu biaya
transaksi yang besar dan juga waktu transisi yang lama. Pertama, kebutuhan akan
sumber daya manusia yang meningkatkan pengeluaran. Kedua, pendekatan
terintegrasi yang digunakan OJK mengharuskan adanya sistem transparasi dan
koordinasi antara OJK dan BI maupun OJK dan Bapepam LK karena kebijakan yang
saling terkait dan mempengaruhi. Hal ini yang kemudian menimbulkan biaya
koordinasi yang mahal sebab dibutuhkan pembangunan sistem IT untuk
menggabungkan server data diantara institusi tekait agar mempermudah proses
data sharing dan data interfacing. Ketiga, struktur ini belum menimbang
pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan membutuhkan waktu lama
guna pembentukan OJK daerah.[25]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Otoritas Jasa keuangan adalah lembaga yang independen dan
bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyidikan di mana sebelumnya
kewenangan pengaturan dan pengawasan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan,
Bank indonesia dan Bank Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Dasar hukum OJK terdapat di undang-undang nomor 21 tahun 2011.
Tugas OJK dari beberapa sistem perbankan maupun non bank,
diantaranya: Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, Pegadaian,
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Lembaga Penjaminan, Perusahaan Pembiayaan
Sekunder Perumahan dan Penyelenggara program jaminan sosial, pensiun dan
kesejahteraan.
Wewenang OJK Membuat dan menetapkan peraturan sebagai pelaksanaan
peraturan perundang-undangan dibidang jasa keuangan, Memberi dan mencabut izin
untuk melakukan kegiatan di bidang jasa keuangan.
Kendala OJK di Indonesia ada tiga: Restrukturisasi organisasi,
Biaya Operasional, dan Koordinasi. Problematika Otoritas Jasa Keuangan di
Indonesia adalah sumber pembiayaan dan susunan dewan komisioner OJK, Permasalahan
selanjutnya terkait susunan dewan komisioner OJK dan Aturan hukum yang menjadi
acuan OJK sendiri juga masih menjadi bahan perdebatan.
DAFTAR PUSTAKA
Dasrol. 2013. Fungsi Strategis Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perbankan
Nasional Indonesia. Jurnal
Ekonomi Volume 21, Nomor 2. Riau: Program Studi Ilmu Hukum ,
Fakultas Hukum Universitas Riau.
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI.
2014. Kajian Pro-Kontra Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia.
Depok: BEM FE UI.
Fahmi, Irham. 2014. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Bandung:
Alfabeta.
http://keuangan.kontan.co.id/news/kendala-kendala-yang-harus-di-hadapi-ojk.
Di akses pada tanggal 12-09-2017. Jam 15.32
Kasmir. 2014. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Otoritas Jasa Keuangan. 2014. Booklet Perbankan Indonesia 2014. Jakarta.
Otoritas Jasa Keuangan. 2014. Booklet Perbankan Indonesia.
Sundari, Siti. 2011. Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan;
Kementrian Hukum dan HAM RI.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
KATALOG
[1] Otoritas
Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2014, (Jakarta; 2014), 4.
[2] Siti
Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementrian Hukum dan HAM
RI, 2011, 44
[3]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, 2.
[4] Dasrol,
Fungsi Strategis Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan
Perbankan Nasional Indonesia, Jurnal
Ekonomi Volume 21, Nomor 2,( Riau: Program Studi
Ilmu Hukum , Fakultas Hukum Universitas Riau, 2013), 2.
[5] Irham
Fahmi, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, (Bandung: Alfabeta, 2014),
16
[6] Otoritas
Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2014, 4.
[7] Kasmir, Dasar-Dasar
Perbankan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2014), 270-271
[8]
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan,
[9]
Ibid,
[10]
Ibid,
[11]
Ibid,
[12]
Ibid,
[13]
Ibid,
[14]
Ibid,
[15]
Ibid,
[16]
Ibid,
[17]
http://keuangan.kontan.co.id/news/kendala-kendala-yang-harus-di-hadapi-ojk.
Di akses pada tanggal 12-09-2017. Jam 15.32
[18]
Ibid,
[19]
Ibid,
[20] Ibid,
[21]
Departemen
Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI, Kajian Pro-Kontra Hadirnya
Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia, (Depok: BEM FE UI, 2014).
[22]
Ibid,
[23]
Ibid,
[24]
Ibid,
[25] Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar