MAKALAH
ILMU MUNASABAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Qur’an
Dosen pengampu :
Lc. Dony Burhan Noor Hasan, M.A
Disusun
oleh :
1. Mega Nur Maulidia (150721100039)
2. Wardatul Jannah (150721100120)
3. Ahmad Fauzi (150721100123)
4. Zakiyatur Rahmah (150721100126)
5. Amalia (150721100132)
EKONOMI
SYARIAH (A)
FAKULTAS
ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
TAHUN
AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan
hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Lc Dony Burhan Noor Hasan, M.A yang telah membimbing
dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput juga kami ucapkan terima
kasih banyak kepada teman-teman yang ikut menyumbang pikirannya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami
memohon maaf kepada bapak dosen Lc Dony Burhan
Noor Hasan, M.A khususnya dan umumnya kepada para
pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah
ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kami mengharap kritik dan sarannya
yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah ini.
Bangkalan,
04 April 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman Judul....................................................................................................... i
Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian....................................................................................................... 2
2.2 Sejarah
dan Perkembangan Ilmu Munasabah................................................. 3
2.3 Urgensi
Ilmu Munasabah............................................................................... 4
2.4 Macam-Macam
Ilmu Munasabah................................................................... 6
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 18
Daftar
Pustaka....................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
al-Qur’an
merupakan mukjizat yang paling besar yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.
Segala yang ada di dalamnya tidak ada sama sekali keraguan. Hal tersebut
terjadi karena Allah telah berjanji akan menjaga isi kandungan al-Qur’an hungga
hari kiamat.
Oleh
karena itu kita sebagai umat Muslim dianjurkan untuk membacanya. Bukan hanya
sekedar membacanya saja, tapi juga harus mengetahui isi kandungannya. Dan untuk
dapat menafsirkan al-Qur’an dengan baik dan benar maka kita harus mempelajari
Ulumul Qur’an terlebih dahulu.
Ulumul
Qur’an sendiri berasal dari dua kata yakni, ulum dan al-Qur’an. Ulum
berarti ilmu, sedangkan al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang tidak
akan berubah isi kandungannya hingga akhir zaman.
Sehingga
secara umum al-Qur’an dapat diartikan sebagai ilmu yang mmpelajari keseluruhan dari
kitab suci al-Qur’an. Bukan hanya itu juga, ulumul Qur’an juga mempelajari
tentang ilmu-ilmu agama Arabiah yakni Islam.
Dalam
Ulumul Qu’an juga dibahas tentang Ilmu Munasabah. Dan Ilmu Munasabah merupakan
ilmu yang mempelajari tentang hubungan satu ayat dengan ayat yang berikutnya
baik yang terlihat jelas maupun yang tidak jelas.
Oleh
karena itu, kami akan membahas tentang Ilmu Munasabah dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa pengertian
dari Ilmu Munasabah?
1.2.2
Bagaimana
sejarah dan perkembangan Ilmu Munasabah?
1.2.3
Bgaimana Urgensi
dari Ilmu Munasabah?
1.2.4
Apa saja macam
dari Ilmu Munasabah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Menurut
As-Suyuthi, kata munasabah secara etimologis dapat diartikan dalam dua kata
yakni, al-musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan).
Istilah munasabha digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas, dan bereti Al-wash
Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubngan dengan hukum) dikutip dari buku
karya Badr A-Din Muhammad bin ‘AbdillahAz-Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul Al-Burhan
fi “Ulum Al-Qur’an. Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth
(pertalian).[1]
Berikut
adalah beberapa definisi munasabah secara termologi:
1.
Menurut Manna’
Al-Qaththan
وَجْهُ
اْلإِرْتِبَاطِ بَيْنَ الْجُمْلَةِ وَالْجُمْلَةِ فِى اْلأَيَةِ الْوَاحِدَ ةِ
أَوْبَيْنَ اْلأَيَةِوَاْلأَيَةِ فِى اْلأَيَةِ الْمُتَعَدِّدَةِأَوْبَيْنَ
السُّوْرَةِوَالسُّوْرَةِ.
Artinya:
“Munasabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa
ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antar
surat (di dalam al-Qur’an).”
2.
Menurut Ibn
Al-‘Arabi
إِرْتِبَاطُ أَيِّ
الْقُرْآنِ بَعْضِهَابِبَعْضٍ حَتَّى تَكُوْنَ كَا لْكَلِمَةِ
الْوَاحِدَةِمُتَّسِقَةِ الْمَعَانِيْ مُنْتَظِمَةِ الْمَبَانِيْ,عِلْمٌ عَظِيْمٌ.
Artinya:
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an
sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”
3.
Menurut
Al-Biqa’i
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui
alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat
dengan ayat, atau surat dengan surat.”
Dalam Ulumul Qur’an, munasabah
berarti menjelaskan kolerasi makana antarayat atau antarsurat, baik kolerasi
itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau
imajinatif (khayali); tau kolerasi berupa sebab-akibat, ‘llat dan ma’lul,
perbandingan, dan perlawanan dikutip dari buku Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
karya Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni.
2.2
Sejarah
dan Perkembangan Ilmu Munasabah
Kitab
suci Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun lebih beberapa bulan. Kitab inin
berisi berbagai macam petunjuk yang di syari’atkan karna beberapa sebab dan
hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surat-suratnya ditertibkan
sesuai dengan yang terdapat dalam lauh mahfudh, sehingga tampak adanya
persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain yang antara surat yang satu
dengan surat yang lainnya.
Lahirnya
pengetahuan tentang teori korelasi(munasabah)
ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika al-Qur’an
sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta
kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat
tentang urutan surat di dalam al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat
bahwa hal itu di dasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat
bahwa hal itu di dasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan
memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat
serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfal(8) dan Bara’ah(9) yang
dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat
pertama diatas di dukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu
pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat
kedua di dukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan
Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat ketiga di anut oleh Al-Baihaqi. Salah satu
penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang
bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis
turunnya, seperti mushaf Ali yang di mulai dengan ayat Iqra’, kemudian mushaf
Ibn Mas’ud di mulai dengan surat Al-Baqarah(2), An-Nisa’(4) lalu surat Al-Imran(3)
dikutip dari Jalaluddin As-Suyuthi dari bukunya
yang berjudul Asrar Tartib Al-Qur’an.
Atas dasar perbedaan pendapat
tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi al-Qur’an kurnag
mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum al-Qur’an. Ulama yang
pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut as-Suyuthi, adalah
Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa Ulama ahli
tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar al-Qur’an, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan
bukunya Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi
wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar Al-Tartib al-Qur’an dikutip
dari buku karya Jalaluddin
As-Suyuthi yang berjudul Asrar Tartib Al-Qur’an. Di antara ulama
lain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin
Al-Zubair Al-Andalusi(807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi munasabah tartib suwar
al-Qur’an. Dalam konteks ini, Tafsir
Al-Kabir yang ditulis oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir yang
banyak mengemukakan sisi munasabah dalam al-Qur’an.
2.3
Urgensi
Ilmu Munasabah
Sebagaimana
asbab dan an-nuzul, munasabah berperan dalam memahami al-qur’an. Muhammad
‘Abdullah Darraz berkata:”sekalipun permasalahan-permasalahan yang
diungkapkanoleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan
pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang
hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya,
sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.” Dikutip dari buku karya ‘Abdullah Ad-Darraz yang berjudul An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar
Al-‘Urubah.
Disamping
itu, para ulama bahwa Al-qur’an ini, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih
dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yag berbeda-beda, sesungguhnya
memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi
mencari asbab nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah
bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsipiyu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa
jika tidak ada asbab an-nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.
Lebih
jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu
Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut (dikutip dari buku Abdul Djalal dengan judul Ulumul
Quran):
1.
Dapat
mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-qur’an kehilangan nya
antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya terhadap firman Allah
dalam surat Al-baqarah [2] ayat 189:
يَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الْاَهَلَّةِ. قُلْ هِيَ
مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ. وَلَيْسَ الْبِرُّبِاَنْ تَأْتُواالْبُيُوْتَ
مِنْ ظُهُوْرِهَاوَلَكِنَّ الْبِرَّمَنِ اتَّقَى. وَأْتُواالْبُيُوْتَ مِنْ
اَبْوَابِهَاوَاتَّقُوااللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Artinya:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “ bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi mnausia dan (bagi ibadat); Dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertaqwa. Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintunya; dan bertaqwalah kepada
Allah agar kamu beruntung.”(Q.S Al-Baqarah:189).
Orang
yang membaca ayat tersebut akan bertanya-tanya: Apakah kolerasi antara
pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan
munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-zarkasy menjelaskan:
“
Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai
kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu,
dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama
sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.” Dikutip dari pendapat Al-Zarkasyi.
2.
Mengetahui atau
persambungan/hubungan antara bagian Al-qur’an, baik antara kalimat atau antar
ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan
terhadap kitab Al-qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan
kemukjizatannya.
3.
Dapat diketahui
mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya
yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari
yang lain.
4.
Dapat membantu
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an setelah diketahui huungan suatu kalimat
atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lainnya.
2.4
Macam-Macam
Ilmu Munasabah
Di dalam kitab
suci umat Islam Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada tujuh macam munasabah, yakni:
1)
Munasabah
antarsurat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antarsatu
surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan
ungkapan pada surat sebelumnya.[2]
Salah satu contohnya yakni pada surat Al- Fatihah
ayat 1 dimana terdapat ungkapan Alhamdulillah. Di surat lain juga ada ungkapan
Alhamdulillah tersebut untuk berkolerasi dengan ayat sebelumnya yakni dalam surat Al- Baqarah ayat
152 dan 186:
فَاذْكُرُوْنِي
اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْلِيْ وَلاَتَكْفُرُوْنِ.(البقرة:152)
Artinya:
“Karena
itu, ingatlah kamu kepada-ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS.
Al-Baqarah: 152)
وَاِذَاسَآَلَكَ
عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ.اُجِيْبُ دَعْوَةَالدَّاعِ اِدَعَانِ
فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ. (البقرة:
186)
Artinya:
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya,’Aku adalah dekat’. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, makahendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (QS. Al- Baqarah: 186)
Contoh lainnya adalah terdapat dalam Surat Al- Fatihah yakni ungkapan “rabb al-alamin” yang
kolerasi dengan Surat Al- Baqarah ayat 21-22:
يَآيُّهَاالنَّاسُ
اعْبُدُوْارَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ~ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ اْلاَرْضَ
فِرَاشًاوَالسَّمَآءَبِنَآءً,وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِمَآءًفَاَخَ بِهِ مِنَ
الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَّكُم. فَلاَتَجْعَلُوْالِلَّهِ انْدَادًاوَّاَنْتُمْ
تَعْلَمُوْنَ.(البقرة:22-21)
Artinya:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelumnya, agar kamu bertaqwa. Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan)dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu
mengada-adakan sekutu-sekutubagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah: 21-22)
Nasr Abu Zaid mengemukakan pendapat
yang berkaitandengan munasabah yang macam ini. Dimana ia menjelaskan bahwa
adanya hubungan khusus antara surat al- Fatihah dengan surat al- Baqarah adalah
bagian dari hubungan stilistika kebahasaan. Hal ini terjadi karena dalam akhir
surat al- Fatihah menyatakan adanya arti do’a. Sedangkan pada awal surat al-
baqarah diterangkan tentang jawaban dari do’a tersebut. Sehinggga terjadi
kesinambungan antara keduanya.
2)
Munasabah antar nama surat dan
tujuan diturunnya
Setiap surat memiliki tema
pembicaraan yang menonjol, hal tersebut tercermin dalam nama-nama surat berikut
ini: surat al- Baqarah, surat an- Naml, surat Yusuf, dan surat Al- Jinn.berikut
adlah surat al-Baqarah ayat 67-71:
وَاِذْقَالَ مُوْسَى لِقَوْمِهِ اِنَّ
اللَهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْ بَحُوْابَقَرَةً. قَالُوْآاَتَتَّخِذُنَاهُزُوًا.
قَالَ اَعُوْذُبِا اللَهِ انْ اَكُوْنَ مِنَ الْجَهِلِيْنَ. قَالُواادْعُ لَنَارَبَّكَ
يُبَيٍّنْ لَّنَامَاهِيَ. قَالَ اِنَّهُ يَقُوْلُ
اِنَّهَابَقَرَةٌلاَّفَارِضٌوَّلاَبِكْرٌ. عَوَانٌ بَيْنَ ذَالِكَ.
فَافْعَلُوْامَاتُؤْمَرُوْنَ. قَالُواادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ
لَّنَامَالَوْنُهَا. قَالَاِنَّهُ يَقُوْلُاِنَّهَابَقَرَةٌصَفْرَآءُفَاقِعٌ
لَوْنُهَاتَسُرُّالنَّاظِرِيْنَ.قَالُواادْعُ لَنَارَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَامَاهِيَ
اِنَّالْبَقَرَتَشَبَهَ عَلَيْنَا. وَاِنَّآاِنْشَآءَاللَهُ لَمُهْتَدُوْنَ. قَالَ
اِنَّهُ يَقُول اِنَّهَابَقَرَةٌلاَّذَلُوْلٌ تُثِيْرُالاَرْضَ وَلاَتَسْقِى
الْحَرْثَ. مُسَلَّمَةٌ-لاَّشِيَةَ فِيْهَا. قَالُوْاالْئَنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ
فَذَبَحُوْهَاوَمَاكَادُوْايَفْعَلُوْنَ. (البقرة: 71-67)
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata
kepada kaumnya, ‘sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina.’ Mereka berkata, ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?’ Musa
menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang daroi
orang-orang yang jahil’. Mereka menjawab,’ Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk
kami agar Dia mnerangkan kepada kami apa warnanya’. Musa menjawab,
‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adlah sapi betina yang
kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.’ Mereka
berkata, ‘Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada
kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu
(masih)samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Akan mendapat petunjuk
(untuk memperoleh sapi sapi itu).’ Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak sawah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak becacat, tidak ada
belangnya’ Mereka berkata, ‘Sekarang barulah kami menerangkan hakikat sapi
betina yang sebenarnya.’ Kemudian, mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka
tidak melaksanakan perintah itu.” (QS. Al-Baqarah: 67-71)
Inti pembicaraan tentang sapi betina
pada surat Al- baqarah di atas yakni kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati.
Jadi, tujuan surat ini adalah tentang kekuasaan Allah SWT dan iman terhadap
hari kiamat dan kehidupan setelahnya.
3)
Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah
macam ini sering berbentuk pola munasabah Al- Tandhadat (perlawanan). Hal
tersebut dapat dilihat pada firman Allah yang berbunyi:
هُوَالَّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَتِ
وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِاَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَاى عَلَى الْعَرْشِ. يَعْلَمُ
مَايَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَاوَمَايَنْزِلُ مِنَ
السَّمَآءِوَمَايَعْرُجُ فِيْهَا. وَهُوَمَعَكُمْ اَيْنَ مَاكُنْتُمْ. وَاللَه
بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ. (احديد: 4)
Artinya:
“Dialah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa; Kemudian, Dia bersemayam di atas Arsy Dia mengetahui apa
yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu diman a saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Hadid: 4)
Antara kata “yaliju” (masuk)
dengan kata “yakhruju” (keluar), serta
kata “yanzilu” (turun) dengan kata “ya’ruju” (naik) terdapat kolerasi
perlawanan. Contoh lainnya adalah kata “Al-‘adzab” dan “Ar-rahmah” dan janji
baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam surat Al-
Baqarah, An-Nisa, dan surat Al- Maidah.[3]
4)
Munasabah antarayat yang
letaknya berdampingan
Munasabah jenis ini ada yang
terlihat jelas namun ada juga yang tidak. Munasabah antarayat yang terlihat
dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas),
i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).[4]
Yang
menggunakan pola ta’kid apabila ayat disampingnya diterangkan dan diperkuat
maknanya oleh salah satu ayat maupun bagian ayat. Dengan kata lain suatu ayat
menguatkan isi kandungan ayat lainnya.[5]
Berikut adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبَّ الْعَلَمِيْنَ. (الفاتحة: 2-1)
Artinya:
“dengan menyebut nama Allah yang
Maha Pengaih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam.”
(QS. Al- Fatihah: 1-2)
Sedangkan yang menggunakan pola
tafsir yakni apabila terdapat ayat atau salah satu bagian ayat yang ada di sampingnya menafsirkan makna ayat
tersebut. Contoh firman Allah SWT:
ذَلِكَ الْكِتَبُ
لاَرَيْبَ"فِيْهِ"هُدً ى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ
بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَمِمَّارَزَقْنَهُمْ يُنْفِقُوْنَ. (البقرة:
3-2)
Artinya:
“Kitab Al- Qur’an ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al- Baqarah: 2-3)
Makna “muttaqin” pada ayat kedua
ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang beriman adalah orang
yang beriman pada hal-hal ghaib, mengerjakan sholat, dan seterusnya.[6]
Yang dimaksud dengan pola i’tiradh
yakni apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam
i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua
kalimat yang berhubungan maknanya. Sebagai contoh adalah firman Allah yang
bunyinya:
وَيَجْعَلُوْنَ لِلَّهِ الْبَنَتِ
سُبْحَنَهُ وَلَهُمْ مَايَشْتَهُوْنَ. (النحل: 57)
Artinya:
“Dan mereka menetapkan bagi Allah
anak-anak perempuan. Mahasuci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka
tetapkan) apa yng mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (QS. An-Nahl :57)
Kata “subhanallah” pada ayat di atas
merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan
bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi
Allah.[7]
Munasabah antarayat yang selanjutnya
yakni dengan polatasydid dimana suatu ayat berfungsi mempertegas suatu ayat
yang ada di sampingnya. Salah satu contohnya ada di surat Al- Fatihah ayat 6-7:
اِهْدِنَاالصِّرِاطَ الْمُسْتَقِيْمَ.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ انْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
وَلاَالضَّآلِّيْنَ. (الفاتحة: 7-6)
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,(
yaitu) jalan orang-orang yangtelah Engkau beri nikmat kepaada mereka. Bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-
Fatihah: 6-7)
Pada
kata “Ash-shirath Al-mustaqim dipertegas oleh ayat selanjutnya yang berbunyi
“shirathalladzina....”. kedua ungkapan tersebut saling memperkuat ditandai
huruf athaf (langsung ) maupun tanpa huruf athaf (tidak langsung).
Sedangkan munasabah antarayat yang
tidak jelas bisa diketahui melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna) yang
dapat dilihat pada keempat pola munasabah.
Pola pertama yakni At-tanzir
(perbandingan), yakni antara ayat yang berdampingan tersebut terlihat
perbandingannya. Seperti yang da dlam firman Allah berikut ini:
اُولَئِكَ هُمُ
الْمُؤْمِنُوْنَحَقَّا. لَهُمْ دَرَجَتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌوَّرِزْقٌ
كَرِيْمٌ. كَمَآاَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِا لْحَقِّ وَاِنَّ
فَرِيْقًامِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ لَكَرِهُوْنَ. (الانفال: 5-4)
Artinya:
“itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka
akan memperoleh bebrapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana
Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya
sebagian dari orang-orang yang beriman itu idak menyukainya.” (QS. Al- Anfaal:
4-5)
Pada ayat yang kelima disebutkan
meski para sahabat Rasul tidak menyukainya namun Allah menyuruh Rasul untuk
tetap melaksanakannya. Sedangkan pada ayat yang keempat Allah memerintahkan
untuk pergi keluar rumah untuk berperang. Dalam kedua ayat ini terdapat
perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap ketidaksukaan mereka
untuk berperang serta pembagian ghanimah oleh Rasul.
Selanjutnya adalah munasabah pola
al- mudharat, yaitu dua ayat berurutan yang memperbincangkan dua hal yang
berlawanan seperti surga dan mereka dan neraka serta kafir dan iman.[8]
Seperti yang ada dalam surat An- Nisa’ ayat 150-152:
إِنَّ آلَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ
بِآللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوْابَيْنَ آللَّهِ
وَرُسُلِهِ. وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُبِبَعْضٍ وَيُرِيْدُوْنَ
أَنْ يَتَّخِذُواْبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُوْلَىَئِكَ هُمُ آالْكَفِرُوْنَ
حَقًا. وَأَعْتَدْنَالِلْكَفِرِيْنَ عَذَابًامُّهِيْنًا.
وَآلذِّيْنَءَامَنُواْبِآللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَلَمْ يُفَرِّقُوأبَيْنَ
أَحَدٍمِّنْهُمْ أُولَىَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُوْرَهُمْ. وَكَا نَ آللَّهُ
غَفَرُورًارَّحِيمًا.
Artinya:
“Sesunggunhnya orang-orang yang
kafir kepada Allah dan rasul-rasulnya-Nya, dan bermaksud memperbedkan antara
(keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “kami beriman
kepada yang sebagian dan Kami kafir terhadap yang sebagian (yang lain)”, serta
bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah)di antara yang
demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang
menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-nya dan tidak
membedakan-membedakan seorang pun di
antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Sebenarnya apabila dikaji melalui
zhahirnya sama seklai tidak ada hubungan antar ayat-ayat di atas. Keduanya juga
tidak dihubungkan oleh waw ‘athaf. Namun, apabila dikaji lebih jauh akan
terlihat hubungannya dimana dalam Al- Qur’an disebutkan mengenai iman dan taqwa
dan sering didampingi oleh kafir. Hal tersebut sebagai motivasi agar orang yang
beriman tidak terjerumus menjadi orang kafir. Oleh karena itu munasabah pola
ini disebut berlawanan. Dalam contoh kali ini adalah iman dan kafir.
Pola munasabah selanjutnya adalah
istishrad (sampai), yakni perbincangan suatu ayat mengenai suatu masalah sampai
kepada hal lain yang tidak berkaitanlangsung dengan masalah yang sedang
diperbincangkan,tetapi hukumnya sama dengan hal yang diperbincangkan itu.[9]
Berikut adalah contoh dari pola munasabah ini (surat Al-A’raf: 26):
يَبَنِيْ آدَمَ
قَدْاَنْزَلْنَاعَلَيْكُمْ لِبَاسًايُّوَارِيْ سَوْاَتِكُمْ وَرِيْشًا.
وَلِبَاسُالتَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ
يَذَّكَّرُوْنَ. (الاعراف: 56)
Artinya:
“Hai anak Adam, sesunggunhnya Kami
telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu
ingat.”
Ungkapan “walibaasut taqwa” tidak
ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya dalam ayat tersebut. Sebab kalimat
sebelumnya menjelaskan tentang pakaian penutup aurat secara fisik sedangkan
yang selanjutnya menjelaskan tentang pakaian taqwa (bukan pakaian fisik). Namun
hubungannya terlihat bahwa pakaian sebagai penutup aurat merupakan bagian dari
ketaqwaan seseorang.
Munasabah antar ayat terakhir yang
hubungannya tidak jelas yakni munasabah takhallush. Munasabah pola ini dapat
dilihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara
halus. Misalnya, dalam surat A- A’raf, mula-mula Allah berbicara tentang para
nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang
selanjutnya berkisah tentang nabi Muhammad dan umatnya.[10]
5)
Munasabah antar-suatu kelompok ayat
dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al- Baqarah ayat 1
sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan
fungsi Al- Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat
berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang
berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.[11]
6)
Munasabah antarfashilah (pemisah)
dan isi surat
Munasabah ini mnegandung beberapa
tujuan tertentu seperti, menguatkan makna yang terkandung dalam suatu ayat. Hal
ini dapat dilihat dalam surat Al- Ahzab ayat 25:
وَرَدَّاللَّه الَّذِيْنَ كَفَرُ
وْابِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوْاخَيْرًا. وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِيْنَ
الْقِتَا لَ. وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيْزًا. (الاحزاب:25)
Artinya:
“Dan Allah menghalau orang -orang
yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak
memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.(QS. Al- Ahzab: 25)
Dalam surat ini dijelaskan bahwa
umat muslim dihindarkan oleh Allah dari sebuah peperangan bukan karena umat
muslim lemah namun karena Allah Maha Kuat lagi Maha Kuasa.
Tujuan selanjutnya munasabah jenis
ini adalah memberi penjelasan tambahan. Misalnya dalam surat An- Naml ayat 80:
اِنَّكَ لاَتُسْمِعُ الْمَوْتَى
وَلاَتُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَآءَاِذَاوَلَّوْامُدْبِرِيْنَ. (النمل: 80)
Artinya:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan
orang-orang yang tuli mendengar panggilan apabila mereka telah berpaling
membelakang.” (QS. An- Naml:80)
Kalimat “idza wallau mudbirin”
merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.[12]
7)
Munasabah antarawal surat dengan
akhir surat yang sama
Salah satu contohnya terdapat pada
surat Al- Qashas dimana dijelaskan tentang Nabi Musa yang mengahadapi tekanan
dari Raja Firaun yang akhirnya ia berhasil keluar dari Mesir. Sedangkan pada
akhir surat diterangkan bagaimana perjuangan Nabi Muhammad mengalami tekanan
(juga) saat melakukan dakwanya. Kesamaan kondisi kedua Nabi inilah yang menjadi
munasabah dalam surat ini.
8)
Munasabah antar-penutup suatu surat
dengan awal surat berikutnya
Sekalipun tidak mudah untuk
menemukannya, setiap awal surat akan ada munasabah dengan akhir surat yang
sebelumnya. Berikut adalah contohnya dalam surat Al- Hadid ayat 1:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَافِى السَّمَوَتِ
وَالْاَرْضِ. وَهُوَالْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ. (الحديد:1)
Artinya:
“Semua yang berada di langit dan
yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al- Hadid: 1)
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الْعَظِيْمِ. (الواقعة: 96)
Artinya:
“Maka bertasbilah denganj (menyebut)
nama Rabbmu Yang Maha Besar.
Kedua ayat ini memiliki hubungan
dimana ayat terakhir dari surat Al- Waqiah memerintahkan untuk bertasbih kepada
Allah SWT. Begitu pula pada awal surat Al- Hadid.
2.5 Metode Menentukan Munasabah
Pengetahuan tentang
munasabah bersifat ijtihad, artinya pengetahuan tentang itu ditentukan
berdasarkan ijtihad para ulama. Nabi tidak menetapkan pengetahuan tersebut.
Oleh karena itu tidak ada kewajiban untuk mencari munasabah pada setiap ayat
atau surat. Walaupun tidak ada keharusan untuk menemukan munasabah, namun ada
empat langkah yang perlu diperhatikan bagi para peminat munasabah, yakni:
1.
Harus diperhatikan tujuan
pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.
Memperhatikan uraian ayat-ayat
yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.
Menentukan tingkatan uraian-uraian
tersebut, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.
Setelah kita memahami
uraian-uraian ayat, maka kita mulai menentukan tingkatan uraian-uraian tersebut
sehingga sampai pada kesimpulan bahwa ayat atau surat ini mempunyai atau tidak
mempunyai hubungan satu sama lain.
5.
Dan yang terakhir, dalam mengambil
kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar
dan tidak berlebihan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ilmu Munasabah berarti
menjelaskan kolerasi makana antarayat atau antarsurat, baik kolerasi itu
bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif
(khayali); tau kolerasi berupa sebab-akibat, ‘llat dan ma’lul, perbandingan,
dan perlawanan dikutip dari buku Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an karya Muhammad bin
‘Alawi Al-Maliki Al-Husni.
Kegunaan
mempelajari ilmu Munasabah dapat
dijelaskan sebagai berikut (dikutip dari buku Abdul
Djalal dengan judul Ulumul Quran):
5.
Dapat
mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-qur’an kehilangan nya
antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
6.
Mengetahui atau
persambungan/hubungan antara bagian Al-qur’an, baik antara kalimat atau antar
ayat maupun antar surat.
7.
Dapat diketahui
mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya
yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari
yang lain.
8.
Dapat membantu
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an setelah diketahui huungan suatu kalimat
atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lainnya.
Sedangkan
macam-macam Ilmu Munasabah dibagi menjadi delapan, yakni:
1.
Munasabah
antarsurat dengan surat sebelumnya
2.
Munasabah antar nama surat dan tujuan diturunnya
3.
Munasabah antar bagian suatu ayat
4.
Munasabah antarayat yang letaknya
berdampingan
5.
Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di
sampingnya
6.
Munasabah antarfashilah (pemisah) dan isi surat
7.
Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama
8.
Munasabah antar-penutup suatu surat dengan awal surat
berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
Djalal, Abdul. Ulumul
Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2013
Anwar, Rosihon. Ulum
Al- Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/munasabah-dalam-al-quran/
(diakses tangal 12 April 2016 pukul 16:25 WIB)
M. Yusuf, Kadar. Studi
Al- Qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.
[1]
Rosihon Anwar, Ulum Al- Qur’an
(Bandung: Pustaka Setia, 2012), 82.
[2] Ibid,
hlm. 84.
[3] Ibid,
89.
[4] Ibid,
89.
[5]
Kadar M. Yusuf, Studi Al- Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2012), 98.
[6]
Rosihon Anwar, Op. cit., hlm.
90.
[7] Ibid.
[8]
Kadar M. Yusuf, Op. cit., hlm. 101.
[9] Ibid,
102.
[10] Rosihon Anwar,
Op. cit., hlm. 92.
[11] Ibid.
[12] Ibid,
93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar