Kamis, 13 September 2018

MAKALAH ILMU MUNASABAH

MAKALAH
ILMU MUNASABAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen pengampu : Lc. Dony Burhan Noor Hasan, M.A



Disusun oleh :
1.     Mega Nur Maulidia              (150721100039)
2.     Wardatul Jannah                  (150721100120)
3.     Ahmad Fauzi                         (150721100123)
4.     Zakiyatur Rahmah               (150721100126)
5.     Amalia                                    (150721100132)

EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AJARAN 2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Lc Dony Burhan Noor Hasan, M.A yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput juga kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang ikut menyumbang  pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami memohon maaf kepada bapak dosen Lc Dony Burhan Noor Hasan, M.A khususnya dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kami mengharap kritik dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah ini.



Bangkalan, 04 April 2016


Penyusun









DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... i
Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2    Rumusan Masalah.......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1    Pengertian....................................................................................................... 2
2.2    Sejarah dan Perkembangan Ilmu Munasabah................................................. 3
2.3    Urgensi Ilmu Munasabah............................................................................... 4
2.4    Macam-Macam Ilmu Munasabah................................................................... 6

BAB III PENUTUP
3.1    Kesimpulan..................................................................................................... 18

Daftar Pustaka....................................................................................................... 19











BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
al-Qur’an merupakan mukjizat yang paling besar yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Segala yang ada di dalamnya tidak ada sama sekali keraguan. Hal tersebut terjadi karena Allah telah berjanji akan menjaga isi kandungan al-Qur’an hungga hari kiamat.
Oleh karena itu kita sebagai umat Muslim dianjurkan untuk membacanya. Bukan hanya sekedar membacanya saja, tapi juga harus mengetahui isi kandungannya. Dan untuk dapat menafsirkan al-Qur’an dengan baik dan benar maka kita harus mempelajari Ulumul Qur’an terlebih dahulu.
Ulumul Qur’an sendiri berasal dari dua kata yakni, ulum dan al-Qur’an. Ulum berarti ilmu, sedangkan al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang tidak akan berubah isi kandungannya hingga akhir zaman.
Sehingga secara umum al-Qur’an dapat diartikan sebagai ilmu yang mmpelajari keseluruhan dari kitab suci al-Qur’an. Bukan hanya itu juga, ulumul Qur’an juga mempelajari tentang ilmu-ilmu agama Arabiah yakni Islam.
Dalam Ulumul Qu’an juga dibahas tentang Ilmu Munasabah. Dan Ilmu Munasabah merupakan ilmu yang mempelajari tentang hubungan satu ayat dengan ayat yang berikutnya baik yang terlihat jelas maupun yang tidak jelas.
Oleh karena itu, kami akan membahas tentang Ilmu Munasabah dalam makalah ini.
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1        Apa pengertian dari Ilmu Munasabah?
1.2.2        Bagaimana sejarah dan perkembangan Ilmu Munasabah?
1.2.3        Bgaimana Urgensi dari Ilmu Munasabah?
1.2.4        Apa saja macam dari Ilmu Munasabah?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian
Menurut As-Suyuthi, kata munasabah secara etimologis dapat diartikan dalam dua kata yakni, al-musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Istilah munasabha digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas, dan bereti Al-wash Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubngan dengan hukum) dikutip dari buku karya Badr A-Din Muhammad bin ‘AbdillahAz-Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul Al-Burhan fi “Ulum Al-Qur’an. Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).[1]
Berikut adalah beberapa definisi munasabah secara termologi:
1.        Menurut Manna’ Al-Qaththan
وَجْهُ اْلإِرْتِبَاطِ بَيْنَ الْجُمْلَةِ وَالْجُمْلَةِ فِى اْلأَيَةِ الْوَاحِدَ ةِ أَوْبَيْنَ اْلأَيَةِوَاْلأَيَةِ فِى اْلأَيَةِ الْمُتَعَدِّدَةِأَوْبَيْنَ السُّوْرَةِوَالسُّوْرَةِ.
Artinya:
“Munasabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam al-Qur’an).”
2.        Menurut Ibn Al-‘Arabi
إِرْتِبَاطُ أَيِّ الْقُرْآنِ بَعْضِهَابِبَعْضٍ حَتَّى تَكُوْنَ كَا لْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِمُتَّسِقَةِ الْمَعَانِيْ مُنْتَظِمَةِ الْمَبَانِيْ,عِلْمٌ عَظِيْمٌ.
Artinya:
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”
3.        Menurut Al-Biqa’i
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.”
Dalam Ulumul Qur’an, munasabah berarti menjelaskan kolerasi makana antarayat atau antarsurat, baik kolerasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); tau kolerasi berupa sebab-akibat, ‘llat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan dikutip dari buku Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an karya Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni.
2.2    Sejarah dan Perkembangan Ilmu Munasabah
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun lebih beberapa bulan. Kitab inin berisi berbagai macam petunjuk yang di syari’atkan karna beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surat-suratnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat dalam lauh mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain yang antara surat yang satu dengan surat yang lainnya. 
Lahirnya pengetahuan tentang teori korelasi(munasabah) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu di dasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu di dasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfal(8) dan Bara’ah(9) yang dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat pertama diatas di dukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua di dukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat ketiga di anut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang di mulai dengan ayat Iqra’, kemudian mushaf Ibn Mas’ud di mulai dengan surat Al-Baqarah(2), An-Nisa’(4) lalu surat Al-Imran(3) dikutip dari Jalaluddin As-Suyuthi dari bukunya yang berjudul Asrar Tartib Al-Qur’an.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi al-Qur’an kurnag mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut as-Suyuthi, adalah Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa Ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar al-Qur’an, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar Al-Tartib al-Qur’an dikutip dari buku karya Jalaluddin As-Suyuthi yang berjudul Asrar Tartib Al-Qur’an. Di antara ulama lain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair Al-Andalusi(807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi munasabah tartib suwar al-Qur’an. Dalam konteks ini, Tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir yang banyak mengemukakan sisi munasabah dalam al-Qur’an.
2.3    Urgensi Ilmu Munasabah
Sebagaimana asbab dan an-nuzul, munasabah berperan dalam memahami al-qur’an. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata:”sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapkanoleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.” Dikutip dari buku karya ‘Abdullah Ad-Darraz yang berjudul An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar Al-‘Urubah.
Disamping itu, para ulama bahwa Al-qur’an ini, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yag berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsipiyu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab an-nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.        
Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut (dikutip dari buku Abdul Djalal dengan judul Ulumul Quran):
1.        Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-qur’an kehilangan nya antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam surat Al-baqarah [2] ayat 189:
يَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الْاَهَلَّةِ. قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ. وَلَيْسَ الْبِرُّبِاَنْ تَأْتُواالْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَاوَلَكِنَّ الْبِرَّمَنِ اتَّقَى. وَأْتُواالْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَاوَاتَّقُوااللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “ bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi mnausia dan (bagi ibadat); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”(Q.S Al-Baqarah:189).
     Orang yang membaca ayat tersebut akan bertanya-tanya: Apakah kolerasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-zarkasy menjelaskan:
“ Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.” Dikutip dari pendapat Al-Zarkasyi.
2.        Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.        Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.        Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an setelah diketahui huungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lainnya.
2.4    Macam-Macam Ilmu Munasabah
Di dalam kitab suci umat Islam Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada tujuh macam munasabah, yakni:
1)        Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antarsatu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya.[2]
Salah satu contohnya yakni pada surat Al- Fatihah ayat 1 dimana terdapat ungkapan Alhamdulillah. Di surat lain juga ada ungkapan Alhamdulillah tersebut untuk berkolerasi dengan ayat  sebelumnya yakni dalam surat Al- Baqarah ayat 152 dan 186:
فَاذْكُرُوْنِي اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْلِيْ وَلاَتَكْفُرُوْنِ.(البقرة:152)
Artinya:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
وَاِذَاسَآَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ.اُجِيْبُ دَعْوَةَالدَّاعِ اِدَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ. (البقرة: 186)
Artinya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya,’Aku adalah dekat’. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, makahendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al- Baqarah: 186)
Contoh lainnya adalah terdapat dalam Surat Al- Fatihah yakni ungkapan “rabb al-alamin” yang kolerasi dengan Surat Al- Baqarah ayat 21-22:
يَآيُّهَاالنَّاسُ اعْبُدُوْارَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ~ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ اْلاَرْضَ فِرَاشًاوَالسَّمَآءَبِنَآءً,وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِمَآءًفَاَخَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَّكُم. فَلاَتَجْعَلُوْالِلَّهِ انْدَادًاوَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.(البقرة:22-21)
Artinya:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelumnya, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengada-adakan sekutu-sekutubagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al- Baqarah: 21-22)
Nasr Abu Zaid mengemukakan pendapat yang berkaitandengan munasabah yang macam ini. Dimana ia menjelaskan bahwa adanya hubungan khusus antara surat al- Fatihah dengan surat al- Baqarah adalah bagian dari hubungan stilistika kebahasaan. Hal ini terjadi karena dalam akhir surat al- Fatihah menyatakan adanya arti do’a. Sedangkan pada awal surat al- baqarah diterangkan tentang jawaban dari do’a tersebut. Sehinggga terjadi kesinambungan antara keduanya.
2)        Munasabah antar nama surat dan tujuan diturunnya
Setiap surat memiliki tema pembicaraan yang menonjol, hal tersebut tercermin dalam nama-nama surat berikut ini: surat al- Baqarah, surat an- Naml, surat Yusuf, dan surat Al- Jinn.berikut adlah surat al-Baqarah ayat 67-71:
وَاِذْقَالَ مُوْسَى لِقَوْمِهِ اِنَّ اللَهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْ بَحُوْابَقَرَةً. قَالُوْآاَتَتَّخِذُنَاهُزُوًا. قَالَ اَعُوْذُبِا اللَهِ انْ اَكُوْنَ مِنَ الْجَهِلِيْنَ. قَالُواادْعُ لَنَارَبَّكَ يُبَيٍّنْ لَّنَامَاهِيَ. قَالَ اِنَّهُ يَقُوْلُ اِنَّهَابَقَرَةٌلاَّفَارِضٌوَّلاَبِكْرٌ. عَوَانٌ بَيْنَ ذَالِكَ. فَافْعَلُوْامَاتُؤْمَرُوْنَ. قَالُواادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَّنَامَالَوْنُهَا. قَالَاِنَّهُ يَقُوْلُاِنَّهَابَقَرَةٌصَفْرَآءُفَاقِعٌ لَوْنُهَاتَسُرُّالنَّاظِرِيْنَ.قَالُواادْعُ لَنَارَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَامَاهِيَ اِنَّالْبَقَرَتَشَبَهَ عَلَيْنَا. وَاِنَّآاِنْشَآءَاللَهُ لَمُهْتَدُوْنَ. قَالَ اِنَّهُ يَقُول اِنَّهَابَقَرَةٌلاَّذَلُوْلٌ تُثِيْرُالاَرْضَ وَلاَتَسْقِى الْحَرْثَ. مُسَلَّمَةٌ-لاَّشِيَةَ فِيْهَا. قَالُوْاالْئَنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوْهَاوَمَاكَادُوْايَفْعَلُوْنَ. (البقرة: 71-67)
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.’ Mereka berkata, ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang daroi orang-orang yang jahil’. Mereka menjawab,’ Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia mnerangkan kepada kami apa warnanya’. Musa menjawab, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adlah sapi betina yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.’ Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih)samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi sapi itu).’ Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak sawah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak becacat, tidak ada belangnya’ Mereka berkata, ‘Sekarang barulah kami menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.’ Kemudian, mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (QS. Al-Baqarah: 67-71)
            Inti pembicaraan tentang sapi betina pada surat Al- baqarah di atas yakni kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Jadi, tujuan surat ini adalah tentang kekuasaan Allah SWT dan iman terhadap hari kiamat dan kehidupan setelahnya.
3)        Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah macam ini sering berbentuk pola munasabah Al- Tandhadat (perlawanan). Hal tersebut dapat dilihat pada firman Allah yang berbunyi:
هُوَالَّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِاَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَاى عَلَى الْعَرْشِ. يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَاوَمَايَنْزِلُ مِنَ السَّمَآءِوَمَايَعْرُجُ فِيْهَا. وَهُوَمَعَكُمْ اَيْنَ مَاكُنْتُمْ. وَاللَه بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ. (احديد: 4)
Artinya:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian, Dia bersemayam di atas Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu diman a saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Hadid: 4)
Antara kata “yaliju” (masuk) dengan  kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dengan kata “ya’ruju” (naik) terdapat kolerasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata “Al-‘adzab” dan “Ar-rahmah” dan janji baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam surat Al- Baqarah, An-Nisa, dan surat Al- Maidah.[3]
4)        Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah jenis ini ada yang terlihat jelas namun ada juga yang tidak. Munasabah antarayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).[4]
            Yang menggunakan pola ta’kid apabila ayat disampingnya diterangkan dan diperkuat maknanya oleh salah satu ayat maupun bagian ayat. Dengan kata lain suatu ayat menguatkan isi kandungan ayat lainnya.[5] Berikut adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبَّ الْعَلَمِيْنَ. (الفاتحة: 2-1)
Artinya:
“dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengaih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam.” (QS. Al- Fatihah: 1-2)
Sedangkan yang menggunakan pola tafsir yakni apabila terdapat ayat atau salah satu bagian ayat  yang ada di sampingnya menafsirkan makna ayat tersebut. Contoh firman Allah SWT:
ذَلِكَ الْكِتَبُ لاَرَيْبَ"فِيْهِ"هُدً ى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَمِمَّارَزَقْنَهُمْ يُنْفِقُوْنَ. (البقرة: 3-2)
Artinya:
“Kitab Al- Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al- Baqarah: 2-3)
Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang beriman adalah orang yang beriman pada hal-hal ghaib, mengerjakan sholat, dan seterusnya.[6]
Yang dimaksud dengan pola i’tiradh yakni apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Sebagai contoh adalah firman Allah yang bunyinya:
وَيَجْعَلُوْنَ لِلَّهِ الْبَنَتِ سُبْحَنَهُ وَلَهُمْ مَايَشْتَهُوْنَ. (النحل: 57)
Artinya:
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Mahasuci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yng mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (QS. An-Nahl :57)
Kata “subhanallah” pada ayat di atas merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.[7]
Munasabah antarayat yang selanjutnya yakni dengan polatasydid dimana suatu ayat berfungsi mempertegas suatu ayat yang ada di sampingnya. Salah satu contohnya ada di surat Al- Fatihah ayat 6-7:
اِهْدِنَاالصِّرِاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ انْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّيْنَ. (الفاتحة: 7-6)
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,( yaitu) jalan orang-orang yangtelah Engkau beri nikmat kepaada mereka. Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al- Fatihah: 6-7)
            Pada kata “Ash-shirath Al-mustaqim dipertegas oleh ayat selanjutnya yang berbunyi “shirathalladzina....”. kedua ungkapan tersebut saling memperkuat ditandai huruf athaf (langsung ) maupun tanpa huruf athaf  (tidak langsung).
Sedangkan munasabah antarayat yang tidak jelas bisa diketahui melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna) yang dapat dilihat pada keempat pola munasabah.
Pola pertama yakni At-tanzir (perbandingan), yakni antara ayat yang berdampingan tersebut terlihat perbandingannya. Seperti yang da dlam firman Allah berikut ini:
اُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَحَقَّا. لَهُمْ دَرَجَتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌوَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ. كَمَآاَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِا لْحَقِّ وَاِنَّ فَرِيْقًامِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ لَكَرِهُوْنَ. (الانفال: 5-4)
Artinya:
“itulah orang-orang  yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh bebrapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan  serta rezeki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu idak menyukainya.” (QS. Al- Anfaal: 4-5)
Pada ayat yang kelima disebutkan meski para sahabat Rasul tidak menyukainya namun Allah menyuruh Rasul untuk tetap melaksanakannya. Sedangkan pada ayat yang keempat Allah memerintahkan untuk pergi keluar rumah untuk berperang. Dalam kedua ayat ini terdapat perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap ketidaksukaan mereka untuk berperang serta pembagian ghanimah oleh Rasul.
Selanjutnya adalah munasabah pola al- mudharat, yaitu dua ayat berurutan yang memperbincangkan dua hal yang berlawanan seperti surga dan mereka dan neraka serta kafir dan iman.[8] Seperti yang ada dalam surat An- Nisa’ ayat 150-152:
إِنَّ آلَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِآللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوْابَيْنَ آللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُبِبَعْضٍ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَّخِذُواْبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُوْلَىَئِكَ هُمُ آالْكَفِرُوْنَ حَقًا. وَأَعْتَدْنَالِلْكَفِرِيْنَ عَذَابًامُّهِيْنًا. وَآلذِّيْنَءَامَنُواْبِآللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَلَمْ يُفَرِّقُوأبَيْنَ أَحَدٍمِّنْهُمْ أُولَىَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُوْرَهُمْ. وَكَا نَ آللَّهُ غَفَرُورًارَّحِيمًا.
Artinya:
“Sesunggunhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulnya-Nya, dan bermaksud memperbedkan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “kami beriman kepada yang sebagian dan Kami kafir terhadap yang sebagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah)di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-nya dan tidak membedakan-membedakan seorang pun  di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Sebenarnya apabila dikaji melalui zhahirnya sama seklai tidak ada hubungan antar ayat-ayat di atas. Keduanya juga tidak dihubungkan oleh waw ‘athaf. Namun, apabila dikaji lebih jauh akan terlihat hubungannya dimana dalam Al- Qur’an disebutkan mengenai iman dan taqwa dan sering didampingi oleh kafir. Hal tersebut sebagai motivasi agar orang yang beriman tidak terjerumus menjadi orang kafir. Oleh karena itu munasabah pola ini disebut berlawanan. Dalam contoh kali ini adalah iman dan kafir.
Pola munasabah selanjutnya adalah istishrad (sampai), yakni perbincangan suatu ayat mengenai suatu masalah sampai kepada hal lain yang tidak berkaitanlangsung dengan masalah yang sedang diperbincangkan,tetapi hukumnya sama dengan hal yang diperbincangkan itu.[9] Berikut adalah contoh dari pola munasabah ini (surat Al-A’raf: 26):
يَبَنِيْ آدَمَ قَدْاَنْزَلْنَاعَلَيْكُمْ لِبَاسًايُّوَارِيْ سَوْاَتِكُمْ وَرِيْشًا. وَلِبَاسُالتَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ. (الاعراف: 56)
Artinya:
“Hai anak Adam, sesunggunhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Ungkapan “walibaasut taqwa” tidak ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya dalam ayat tersebut. Sebab kalimat sebelumnya menjelaskan tentang pakaian penutup aurat secara fisik sedangkan yang selanjutnya menjelaskan tentang pakaian taqwa (bukan pakaian fisik). Namun hubungannya terlihat bahwa pakaian sebagai penutup aurat merupakan bagian dari ketaqwaan seseorang.
Munasabah antar ayat terakhir yang hubungannya tidak jelas yakni munasabah takhallush. Munasabah pola ini dapat dilihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat A- A’raf, mula-mula Allah berbicara tentang para nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang selanjutnya berkisah tentang nabi Muhammad dan umatnya.[10]
5)        Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al- Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al- Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.[11]
6)        Munasabah antarfashilah (pemisah) dan isi surat
Munasabah ini mnegandung beberapa tujuan tertentu seperti, menguatkan makna yang terkandung dalam suatu ayat. Hal ini dapat dilihat dalam surat Al- Ahzab ayat 25:
وَرَدَّاللَّه الَّذِيْنَ كَفَرُ وْابِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوْاخَيْرًا. وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِيْنَ الْقِتَا لَ. وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيْزًا. (الاحزاب:25)
Artinya:
“Dan Allah menghalau orang -orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.(QS. Al- Ahzab: 25)
Dalam surat ini dijelaskan bahwa umat muslim dihindarkan oleh Allah dari sebuah peperangan bukan karena umat muslim lemah namun karena Allah Maha Kuat lagi Maha Kuasa.
Tujuan selanjutnya munasabah jenis ini adalah memberi penjelasan tambahan. Misalnya dalam surat An- Naml ayat 80:
اِنَّكَ لاَتُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلاَتُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَآءَاِذَاوَلَّوْامُدْبِرِيْنَ. (النمل: 80)
Artinya:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. An- Naml:80)
Kalimat “idza wallau mudbirin” merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.[12]
7)        Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama
Salah satu contohnya terdapat pada surat Al- Qashas dimana dijelaskan tentang Nabi Musa yang mengahadapi tekanan dari Raja Firaun yang akhirnya ia berhasil keluar dari Mesir. Sedangkan pada akhir surat diterangkan bagaimana perjuangan Nabi Muhammad mengalami tekanan (juga) saat melakukan dakwanya. Kesamaan kondisi kedua Nabi inilah yang menjadi munasabah dalam surat ini.
8)        Munasabah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Sekalipun tidak mudah untuk menemukannya, setiap awal surat akan ada munasabah dengan akhir surat yang sebelumnya. Berikut adalah contohnya dalam surat Al- Hadid ayat 1:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَافِى السَّمَوَتِ وَالْاَرْضِ. وَهُوَالْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ. (الحديد:1)
Artinya:
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al- Hadid: 1)
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ. (الواقعة: 96)
Artinya:
“Maka bertasbilah denganj (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar.
Kedua ayat ini memiliki hubungan dimana ayat terakhir dari surat Al- Waqiah memerintahkan untuk bertasbih kepada Allah SWT. Begitu pula pada awal surat Al- Hadid.
2.5  Metode Menentukan Munasabah
Pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihad, artinya pengetahuan tentang itu ditentukan berdasarkan ijtihad para ulama. Nabi tidak menetapkan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu tidak ada kewajiban untuk mencari munasabah pada setiap ayat atau surat. Walaupun tidak ada keharusan untuk menemukan munasabah, namun ada empat langkah yang perlu diperhatikan bagi para peminat munasabah, yakni:
1.        Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.        Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.        Menentukan tingkatan uraian-uraian tersebut, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.        Setelah kita memahami uraian-uraian ayat, maka kita mulai menentukan tingkatan uraian-uraian tersebut sehingga sampai pada kesimpulan bahwa ayat atau surat ini mempunyai atau tidak mempunyai hubungan satu sama lain.
5.        Dan yang terakhir, dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.











BAB III
 PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Ilmu Munasabah berarti menjelaskan kolerasi makana antarayat atau antarsurat, baik kolerasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); tau kolerasi berupa sebab-akibat, ‘llat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan dikutip dari buku Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an karya Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni.
Kegunaan mempelajari ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut (dikutip dari buku Abdul Djalal dengan judul Ulumul Quran):
5.        Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-qur’an kehilangan nya antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
6.        Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat.
7.        Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
8.        Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an setelah diketahui huungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lainnya.
Sedangkan macam-macam Ilmu Munasabah dibagi menjadi delapan, yakni:
1.        Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya
2.        Munasabah antar nama surat dan tujuan diturunnya
3.        Munasabah antar bagian suatu ayat
4.        Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
5.        Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
6.        Munasabah antarfashilah (pemisah) dan isi surat
7.        Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama
8.        Munasabah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya



DAFTAR PUSTAKA

Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2013
Anwar, Rosihon. Ulum Al- Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/munasabah-dalam-al-quran/ (diakses tangal 12 April 2016 pukul 16:25 WIB)
M. Yusuf, Kadar. Studi Al- Qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.


[1] Rosihon Anwar, Ulum Al- Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 82.
[2] Ibid, hlm. 84.
[3] Ibid, 89.
[4] Ibid, 89.
[5] Kadar M. Yusuf, Studi Al- Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2012), 98.
[6] Rosihon Anwar, Op. cit., hlm.  90.
[7] Ibid.
[8] Kadar M. Yusuf, Op. cit., hlm. 101.
[9] Ibid, 102.
[10] Rosihon Anwar, Op. cit., hlm.  92.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar