Kamis, 13 September 2018

MAKALAH QARDH


 

MAKALAH

QARDH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah II


Dosen Pengampu:
Dzikrullah SE. MEI.


Disusun oleh
Ainul Inayah             (150721100060)
Masfiyatul Fikriyah   (150721100062)
Zakiyatur Rahmah     (150721100126)
Hoirul Amin              (150721100144)


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qardh (Hutang Piutang) ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam mata kuliah Fiqih Muamalah II. Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para pembaca khususnya dalam bidang ekonomi.
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dzikrullah SE. MEI. selaku Dosen mata kuliah Fiqih Muamalah II dan terima kasih kepada teman – teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Bangkalan, 15 Maret 2017



Penyusun







DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Qardl............................................................................................. 3
2.2 Dalil-dalil Akad Qardlu.................................................................................. 4
2.3 Srtuktur Akad Qardlu..................................................................................... 5
2.4 Konsekuensi Akad Qardlu.............................................................................. 7

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah SWT.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk  memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan hukum, hukum qardh, dan lain sebagainya.
1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang di atas,  terdapat beberapa masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1.    Apa definisi al-Qardh menurut bahasa dan istilah?
2.    Apa landasan hukum mengenai al-Qardh?
3.    Apa saja struktur dalam akad al-Qardh?
4.    Bagaimana konsekuensi hukum pada akad al-Qardh?
1.3    Tujuan Masalah
1.    Untuk menjelaskan definisi al-Qardh menurut bahasa dan istilah.
2.    Untuk memaparkan landasan hukum mengenai al-Qardh.
3.    Untuk menjelaskan strukur akad dalam al-Qardh.
4.    Untuk menjelaskan konsekuensi hukum pada akad al-Qardh.





























BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.[1]
Secara etimologi, qardhu berarti pinjaman hutang (muqradl) atau juga bisa berarti memberikan pinjaman hutang (iqaradl). Terminologi qardlu adalah memberikan kepemilikan (tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan penggantinya tanpa unsur tambahan.
Dalam dialek masyarakat hijaz akad qardlu juga diistilahkan dengan akad salaf, sebagaimana akad salam. Sebab antara akad salam dengan akad qardlu memiliki keindetikan dalam asek tanggungan (dzimmah). Yakni, pesanan (muslam fih) yang menjadi tanggungan pihak muslam ilaih dan pengganti (badal) yang menjadi tanggungan pihak peminjam hutang (muqtaridl).[2]
Menurut Hanafiyah, qardh merupakan akad khusus pemberian harta mitsli kepada orang lain dengan adanya kewajiban penembalian semisalnya. Al-qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang memberikan pinjaman yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu.[3]

2.2    Dalil-Dalil
2.2.1        Al- Qur’an
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفُهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيْمٌ
 “Siapakah yan mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Al-Hadid :11)

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۚ  وَ اللهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.[4]

2.2.2        As-Sunnah
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م.قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً. {رواه ابن ماجه وابن حبان}

“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ‘Tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah sekali.”

ثَلاَثَ فِيْهِنَّ البَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى اَجَلٍ والْمُقَارَضَةُ وَخَلَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ وَلاَ لِلْبَيْعِ

“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”

2.2.3        Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam Islam. Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadis diatas. Juga ada hadis lainnya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ ر.ع. قَالَ رَسُولُ الله ص.م. : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ واللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ. {اخرجه مسلم}

“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘Barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan , niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.”[5]
2.3    Struktur Akad Qardlu
Struktur akad qardlu terdiri dari empat rukun. Yaitu muqridl, muqtaridl ,muqardl, dan shighah.
2.3.1        Muqridl
            Muqridl adalah ihak yang memberikan pinjaman hutang (kreditur). Muqridl disyaratkan harus seorang yangn mukhtar  dan ahli at-tabarru’. Mukhtar adalah orang yang melakukan transaksi atas dasar inisiatif sendiri,bukan paksaan atau tekanan dari pihak lain. Sedangkan ahli at-tabrru’  adalah orang yang memiliki kebebasan tasarruf harta secara non-komersial, atau yag disebut juga dengan mutlaq at-tasharruf, sebagaimana diuraikan dalam bab bai’. Karena itu, seorang yang tidak memiliki kriteria ahli at-tabarru’, seperti pengelola (wali) harta anak kecil, orang gila, dll., tidak sah mengadakan akad qardlu menggunakan harta orang-orang yang dibawah otoritasnya (mawali), kecuali dalam kondisi darurat. 
            Muqridl  disyartakan harus seorang yang ahlli at-tabarru’ karena akad qardlu termasuk akad yang semi tabarru’.  Yakni memberikan secara cuma-Cuma manfaat pinjaman hutang selama massa qardlu tidak disebut sebagai akad tabarru’ murni sebab, terdapat kewajiban mengembalikan penggantinya.
2.3.2        Muqtaridl
            Muqtaridl adalah pihak yang menerima pinjaman hutang (debitur). Muqtaridl disyaratkan orang yang memiliki kriteria sah melakukan transaksi (ahliyah muamalah) . Yaitu oaring yang baligh, berakal, dan tidak dibekukan tasarufnya, meskipun tidak memiliki kebebasan tasaruf (ahli at-tabarru’ atau muthlaq at-tasarharruf).
Istilah ahliyah muamalah sama dengan istilah ahli at-tasharuf yang diulas dalam  bab bai’. Karena itu, seorang wali harta anak kecil atau orang gila, sah menjadi muqrtaridl (berhutang) atas nama orang-orang yang dibawah otoritasnya (mawali). Demikian juga sah menjadi muqtaridl, seorang budak mukatab dan budak yang diberi izin sayyidnya. Orang-orang ini sah menjadi muqtaridl (berhutang), sebab memiliki kriteria ahliyah muamalah, namun tidak sah menjadi muqridl (memberi pinjaman hutang), sebab tidak memiliki kriteria ahli at-tabarru’.
2.3.3        Muqradl
Muqradl adalah obyek dalam akad qardlu yang disebut piutang (debit). Muqradl disyaratkan sesuatu yang sah dijual belikan dan bisa dispesifikasikan melalui kriteria (shifah) sebagaimana syarat muslam fih dalam akad salam. Sebab akad qardlu termasuk akad muawadlah, yakni memberikan kepemilikan dengan sistem imbalan (“iwad) dalam tanggungan (dzimmah) sebagaimana akad salam. Sesuatu yang tidak bisa di spesifikasikan melalui sifat, menurut satu versi, tidak sah dijadikan muqradl, sebab akad qardlu mewajibkan pengembalian ganti berupa padanya (mitsil), dan baranng yang tidak bisa dispesifikasi dengan sifat, tidak memiliki padanan. Sedangkan menurut versi lain sah, sebab barang yang memiliki padanan, kewajibannya mengembalikan ganti berupa qimah.
Hanya saja, terdapat beberapa pengecualian, dalam arti sah diakadi salam, namun tidak sah diakadi qardlu, atau sebaliknya. Diantaranya:
a.         Tidak sah memberikan pinjaman hutang berupa budak perempuan kepada muqtaridl yang halal istimta’nya. Sebab,menurut versi yang mengatakan bahwa,muqtaridl berstatus memiliki muqradl dengan penerimaan (qabl ), maka konsekuensinya, muqtaridl akan sah melakukan istimta’ terhadap budak perempuan (muqradl ) tersebut.  Dan ketika kemudian budak perempuan dikembalikan oleh muqtaridl,atau ditarik oleh muqridl sewaltu-waktu,mengingat akad qardlu bersifat ja’iz dari kedua belah pihak,maka muatan akad qardlu demikian sama halnys dengan meminjamkan budak perempuan dengan pelayanan seks yang dilarang. Sedangkan menurut versi yang mengatakan bahwa,muqtaridl belum berstatus memiliki muqradl dengan penerimaan qabdl,melainkan dengan tasaruf,maka akad qardlu sah. Sebab konsekuensi muatan terlarang tersebut tidak akan ada.
b.        Sah memberikan pinjaman hutang berupa hutang roti,sebab telah berlaku secara massif.
c.         Sah memberikan pinjaman berupa separuh kebawah dari sebuah bangunan,sebab muqradl demikian memiliki padanan.
d.        Dll.
2.3.4        Shighah
Shighah dalam akad qardlu adalah ijab dari pihak muqridl  yang menunjukkan pemberian kepemilikan dengan system kewajiban mengembalikan penggantinya,dan qabul dari pihak muqtaridl yng menunjukkan persetujuan dari ijab. Syarat shighah  dalam akad qardlu sebagaimana syarta shighah dalam akad muawadhah yang lain. Namun menurut satu versi,dalam akad qardlu,qabul, dari pihak muqtaridl tidak disyaratkan,sebab qardlu adalah bentuk perizinan penggunaan sesuatu,dengan konsekuensi dlaman (ibahah itlaf bi syarth adl-dlaman).[6]
2.4    Konsekuensi Hukum Akad Qardh
2.4.1        Hak Memiliki dan Status Akad
Menurut qaul ashah, muqtaridl berstatus memiliki atas muqradl, terhitung sejak penerimaan muqradl (qabdl), sebagaimana dalam akad hibbah. Sebab, sejak penerimaan tersebut, muqtaridl telah memiliki otoritas untuk mentasarufkan muqradl.[7]
Dalam pendapat yang sependapat, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, baru berlaku apabila terjadi serah terima barang atau uang.[8] Sesorang yang telah meneriman abrang atau jasa tersebut merupakan seorang peminjam dan barang atau jasa tersebut menjadi miliknya namun perlu digaris bawahi bahwa ia juga memiliki kewajiban untuk mengembalikan sejumlah yang sama (mitsli). Abu Yusuf berpendapat bahwa peminjam (muqtaridh) tidak memiliki hak kepemilikan atas objek qardh selama barang itu masih utuh.
Sementara itu, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hak kepemilikan dalam qardh disamakan seperti hibah, sedekah dan ‘ariyah (meminjamkan barang). Ketiga hal tersebut berlaku dan mengikat setelah terjadinya transaksi atau ijab qabul, meski objeknya belum diserahkan. Peminjam diperbolehkan mengembalikan pinjaman dalam bentuk barang yang sama dengan yang dipinjamnya juga dapat mengembalikannya dengan barang yang dipersamakan dengan yang dipinjam. Baik harta itu termasuk harta harta mitsli maupun tidak. Hal itu selama harta tersebut tidak mengalami perubahan dengan bertambah atau berkurang. Jika berubah, maka harus mengembalikan dengan barang yang sama.
Ulama Syafi’iyah dalam riwayat yang paling shahih dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan qardh berlaku dengan serah terima. Menurut Syafi’i, peminjam mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dipinjam adalah harta yang mitsli, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya. Dan jika yang dipinjam adalah qimiy (harta yang dihitung berdasar nilai), maka ia mengembalikan dengan barang semisal secara bentuk, karena Rasulullah telah berutang unta bakr (yang berusia muda) lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata:
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paing baik dalam membayar utang.”
Menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqaha, dikembalikan dengan barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat berutang. Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam.[9]
Dari penjabaran berbagai pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa akad qardh menimbulkan konsekuensi atas kepemilikan dan juga atas konsekuensi khilaf.
Konsekuensi dari kepemilikan muqtaridl atas muqradl ini adalah, hak muqridl telah berpindah dari muqradl yang tertentu secara fisik (mu’ayyan) pada pengganti (badal)-nya yang berada pada tanggungan (dzimmah)-nya muqtaridl.[10]
Apabila seorang peminjam masih belum menggunakan barang atau uang yang ia pinjam maka akadnya masih jaiz, sehingga kedua belah pihak masih dapat membatalkannya. Baik muqtaridl mengembalikan barang yang ia pinjam maupun yang dipinjami maupun muqridl mengambil atau menarik kembali barang yang ia pinjamkan.
Konsekuensi khilaf (tsamrah al khilaf) antara qaul ashah dan dan musqabil nya ini, akan tampak dalam kasus muqardl berupa barang yang membutuhkan nafkah dan menghasilkan produktivitas (manfaat). Menurut qaul ashah yang menyatakan muqradl telah menjadi milik muqtaridl sejak penerimaan (qabdl), maka biaya nafkah muqradl menjadi tanggung jawabnya sejak penerimaan, demikian juga hasil produktivitas muqradl menjadi hak miliknya. Sedangkan menurut muqabil ashah, nafkah dan hasil produktivitas muqradl sejak penerimaan hingga tasaruf, menjadi tanggung jawab dan hak milik muqridl. Sebab menurut muqabil ashah, dalam masa-masa tersebut status muqradl masih menjadi milik muqridl.[11]
2.4.2        Hutang Bersyarat
1.        Syarat Fasid Pada Mufsid
Yaitu klausal yang disyaratkan dalam akad qardlu yang memberikan keuntungan (naf’an) sepihak, muqridl saja. Seperti memberikan pinjaman hutang dengan syarat mengembalikan dengan nilai lebih. Syarat yang demikian itu dapat membatalkan mufsid (akad) karena termasuk dalam riba qardli.
Dalam buku lain disebutkan bahwa dalam sisi pengambilan manfaatnya para ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat hukumnya haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian.[12]
Hal di atas juga bertentangan dengan konsekuensi akad qardlu karena akad ini dilakukan dengan dasar saling tolong-menolong.
Namun, apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya boleh.[13] Dan justru disunnahkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabda Nabi:
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paing baik dalam membayar utang.”
Atau syarat kelebihan tersebut disyaratkan di luar transaksi (kharij al-‘aqd), terdapat dua pendapat akan hukum akad qardl:
2.5    Menurut Syafi’iyah, sah namun makruh.
2.6    Menurut A’immah Tsalatsah, haram.
Di lain kasus apabila seorang peminjam sudah terbiasa memberikan tambahan ketika ia menegmbalikannya. Atas kasus tersebut terdapat perbedaan antar ulama, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak.
Sementara itu, untuk hukum dari dosa orang yang melakukan praktek riba qardli ini, menurut sebagian ulama hanya ditanggung oleh muqridl, dan sebagian lagi beranggapan bahwa dosanya ditanggung oleh kedua belah pihak.
2.        Syarat Fasid Tidak Mufsid
Persyaratan yang ada dalam klausul ini merupakan persyaratan yang menguntungkan salah satu pihak yakni muqtaridl atau menguntungkan kedua belah pihak namun lebih condong pada muqtaridl.
Semisal perjanjian hutang piutang yang berisi pengembalian yang kurang dari jumlah hutang itu sendiri dan juga tempo yang ditentukan karena melihat kondisi keuangan pihak muqtaridl.
Menurut qaul ashah, klausul kedua ini termasuk syarat yang tidak dihiraukan. (mulghah), sehingga tidak membatalakan akad qardlu (ghair mufsid)[14]. Hal tersebut dikarenakan tujuan dari akad tersebut tidak untuk mencari keuntungan melainkan untuk saling tolong-menolong. Namun, terdapat pendapat lain yang beranggapan bahwa hal tersebut dapat membatalkan akad dikarenakan konsekuensi akad qardlu yang mengaharuskan untuk mengembalikan hutang tersebut tanpa ditambahi maupun dikurangi.
3.        Persyaratan Tempo
Menurut Syafi’iyah, masuk dalam kategori syarat fasid tidak pada mufsid. Kefasidaannya terletak pada tempo yang merupakan ciri dari transaksi barang ribawi, sementara itu tidak mufsid dikarenakan tidak mendzalimi muqtaridl.
Dalam hal penagihannya, meski sudah terdapat jangka waktu, ia boleh menagihnya kapanpun karena hal tersebut sesuai dengan akad qardlu yang dimana seorang muqridl dapat menagih sesuai keinginannya.
Meskipun demikian terdapat norma sosial dan etika yang menganjurkan untuk menagih tepat pada jangka waktu yang telah ditentukan agar tidak menyusahkan pihak muqtaridl. Hal tersebut merupakan bentuk kemurahan (tabarru’) oleh muqridl. Hukumnya mubah dan tidak harus dilaksanakan.
Sementara itu, menurut Imam Malik, syarat tempo dalam akad qardlu termasuk syarat shahih, baik di awal akad (ibtida’an), seperti hutang dengan syarat dibayar pada tempo tertentu, atau di tengah akad (intha’an), seperti hutang dengan pembayaran cash (hal) kemudian disyaratkan tempo (ajal).[15]
4.        Syarat Shahih
Yaitu klausul-klausul yang disyaratkan dalam akad qardlu hanya bersifat sebagai jaminan (watsiqah), seperti syarat gadai (rahn), syarat persaksian (isyhad), syarat ada penanggung jawab (kafil), dll. Sebab, muatan klausul-klausul demikian hanya bersifat sebagai keuntungan yang lebih (naf’an za’idan), sehingga masih sejalan dengan konsekuensi akad (muqtadla al’aqd).[16]
2.4.3        Sistem Pembayaran
Apabila barang yang dijadikan akad qardlu memiliki padanan (mitsli) maka dapat dikembalikan dengan barang yang sama dan hal tersebut hukumnya sah. Sistem tersebut yang paling mendekati dengan pemenuhan hak atas muqridl.
Sementara itu, apabila barang yang dipinjamkan tidak memiliki padanan (mutaqawwim), dalam hal tersebut terdapat perbedaan antar ulama’. Salah satu pendapat menyatakan bahwa pembayarannya dengan mengganti padanan yang sama bentuknya.
Sementara itu, lain pihak berpendapat bahwa harus diganti dengan harga yang sesuai dengan barang yang dipinjam atau lebih biasa disebut qimah (mengganti nilai harga).
Besarnya qimah dilihat dari sejak kapan menjadi kepemilikan muqtaridl. Apabila kepemilikan barang sejak penerimaan barang, maka qimah-nya sebesar itu pula. Apabila kepemilikannya baru terhitung sejak mentasarufkan barang, maka qimah-nya merupakan harga tertinggi antara penerimaan hingga tasaruf.




















BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Secara etimologi, qardhu berarti pinjaman hutang (muqradl) atau juga bisa berarti memberikan pinjaman hutang (iqaradl). Terminologi qardlu adalah memberikan kepemilikan (tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan penggantinya tanpa unsur tambahan.
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفُهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيْمٌ
“Siapakah yan mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Al-Hadid :11)
Struktur akad qardlu ada empat, yaitu muqridl, muqtaridl, muqradl dan sighat.
Konsekuensi hukum akad qardh terjadi pada hak memiliki dan status akad, hutang bersyarat, dan system pembayaran.
















DAFTAR PUSTAKA
Az- Zuhaili, Wahbah. 1984. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Juz 4. Syiriah.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Terjemah untuk Wanita. Bandung: Jabal.
Rahman Al-Jaziri, Abdul. 2003. Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2. Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung; Pustaka Setia.
Tim Laskar Pelangi. 2015. Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi Sosial-Ekonomi. Kediri: Lirboyo.
Wardi Muslich, Ahmad. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.



[1] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), 303.
[2] Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi Sosial-Ekonomi, (Kediri: Lirboyo, 2015), 100
[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 254.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah untuk Wanita, (Bandung: Jabal, 2010).
[5] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung; Pustaka Setia, 2001)
[6] Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi Sosial-Ekonomi, 102-103.
[7] Ibid, 104.
[8] Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Juz 4, (Syiriah, 1984), 378.
[9] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), 281.
[10] Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi Sosial-Ekonomi, 104.
[11] Ibid, 104-105
[12] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 281
[13] Ibid,
[14] Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi Sosial-Ekonomi, 108.
[15] Ibid, 109.
[16] Ibid, 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar