MAKALAH
QARDH
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih Muamalah II
Dosen Pengampu:
Dzikrullah
SE. MEI.
Disusun oleh
Ainul Inayah (150721100060)
Masfiyatul Fikriyah (150721100062)
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
Hoirul Amin (150721100144)
PROGRAM STUDI
EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qardh
(Hutang Piutang) ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu
tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam mata kuliah Fiqih Muamalah II. Makalah
ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para
pembaca khususnya dalam bidang ekonomi.
Dengan selesainya makalah ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada
kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dzikrullah SE. MEI. selaku Dosen mata kuliah Fiqih Muamalah II dan terima kasih kepada teman –
teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya,
mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Bangkalan,
15 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Qardl............................................................................................. 3
2.2 Dalil-dalil Akad Qardlu.................................................................................. 4
2.3 Srtuktur Akad Qardlu..................................................................................... 5
2.4 Konsekuensi Akad Qardlu.............................................................................. 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutang
piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan
manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya
perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman
(hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam
sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur
mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam
pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan.
Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk
dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai
menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu
sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui
oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang
telah disyariatkan oleh Allah SWT.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat
untuk memaparkan apa yang telah
disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) dengan
kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan
hukum, hukum qardh, dan lain sebagainya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang akan dibahas
sebagai berikut:
1.
Apa definisi al-Qardh menurut bahasa dan istilah?
2.
Apa landasan hukum mengenai al-Qardh?
3.
Apa saja struktur dalam akad al-Qardh?
4.
Bagaimana konsekuensi hukum pada akad al-Qardh?
1.3 Tujuan Masalah
1.
Untuk menjelaskan definisi al-Qardh menurut bahasa dan istilah.
2.
Untuk memaparkan landasan hukum mengenai al-Qardh.
3.
Untuk menjelaskan strukur akad dalam al-Qardh.
4.
Untuk menjelaskan konsekuensi hukum pada akad al-Qardh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus.
Dikatakan qaradhtu asy-syai’a
bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang
diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara
terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan
mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian
harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam
literature fikih, qardh dikategorikan
dalam aqad tathawwu’i atau
akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.[1]
Secara
etimologi, qardhu berarti pinjaman hutang (muqradl) atau juga bisa berarti
memberikan pinjaman hutang (iqaradl). Terminologi qardlu adalah memberikan
kepemilikan (tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan penggantinya
tanpa unsur tambahan.
Dalam
dialek masyarakat hijaz akad qardlu juga diistilahkan dengan akad salaf,
sebagaimana akad salam. Sebab antara akad salam dengan akad qardlu memiliki
keindetikan dalam asek tanggungan (dzimmah). Yakni, pesanan (muslam fih) yang
menjadi tanggungan pihak muslam ilaih dan pengganti (badal) yang menjadi
tanggungan pihak peminjam hutang (muqtaridl).[2]
Menurut Hanafiyah, qardh merupakan akad
khusus pemberian harta mitsli kepada orang lain dengan adanya kewajiban
penembalian semisalnya. Al-qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
peminjam dan pihak yang memberikan pinjaman yang mewajibkan peminjam melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu.[3]
2.2
Dalil-Dalil
2.2.1
Al- Qur’an
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفُهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ
كَرِيْمٌ
“Siapakah yan
mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak.” (Al-Hadid :11)
مَنْ ذَا
الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً
ۚ وَ اللهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.[4]
2.2.2
As-Sunnah
عَنِ
ابْنِ مَسْعُودٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م.قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ
مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً. {رواه ابن ماجه
وابن حبان}
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ‘Tidak ada seorang muslim
yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah
sekali.”
ثَلاَثَ
فِيْهِنَّ البَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى اَجَلٍ والْمُقَارَضَةُ وَخَلَطُ الْبُرِّ
بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ وَلاَ لِلْبَيْعِ
“Ada
tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan
mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
2.2.3
Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad
dibolehkan dalam Islam. Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan
mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadis diatas. Juga ada hadis lainnya:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ ر.ع. قَالَ رَسُولُ الله ص.م. : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى
الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا
وَالْاَخِرَةِ واللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ. {اخرجه مسلم}
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘Barang siapa
melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesulitan-kesulitan dunia,
niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang
siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan , niscaya Allah akan
memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi
(aib)nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama
hamba-Nya mau menolong saudaranya.”[5]
2.3
Struktur Akad
Qardlu
Struktur akad qardlu terdiri dari empat
rukun. Yaitu muqridl, muqtaridl ,muqardl, dan shighah.
2.3.1
Muqridl
Muqridl adalah ihak yang
memberikan pinjaman hutang (kreditur). Muqridl disyaratkan harus seorang
yangn mukhtar dan ahli
at-tabarru’. Mukhtar adalah orang yang melakukan transaksi atas dasar
inisiatif sendiri,bukan paksaan atau tekanan dari pihak lain. Sedangkan ahli
at-tabrru’ adalah orang yang
memiliki kebebasan tasarruf harta secara non-komersial, atau yag disebut juga
dengan mutlaq at-tasharruf, sebagaimana diuraikan dalam bab bai’.
Karena itu, seorang
yang tidak memiliki kriteria ahli at-tabarru’, seperti pengelola
(wali) harta anak kecil, orang
gila, dll.,
tidak sah mengadakan akad qardlu menggunakan harta orang-orang yang
dibawah otoritasnya (mawali), kecuali dalam kondisi
darurat.
Muqridl disyartakan harus seorang yang ahlli
at-tabarru’ karena akad qardlu termasuk akad yang semi tabarru’. Yakni memberikan secara cuma-Cuma manfaat
pinjaman hutang selama massa qardlu tidak disebut sebagai akad tabarru’
murni sebab, terdapat
kewajiban mengembalikan penggantinya.
2.3.2
Muqtaridl
Muqtaridl adalah pihak yang
menerima pinjaman hutang (debitur). Muqtaridl disyaratkan orang yang
memiliki kriteria sah melakukan transaksi (ahliyah muamalah) . Yaitu
oaring yang baligh, berakal, dan tidak dibekukan
tasarufnya, meskipun
tidak memiliki kebebasan tasaruf (ahli at-tabarru’ atau muthlaq
at-tasarharruf).
Istilah ahliyah muamalah sama dengan istilah ahli
at-tasharuf yang diulas dalam bab bai’.
Karena itu, seorang
wali harta anak kecil atau orang gila, sah menjadi muqrtaridl (berhutang)
atas nama orang-orang yang dibawah otoritasnya (mawali). Demikian juga
sah menjadi muqtaridl, seorang
budak mukatab dan
budak yang diberi izin sayyidnya. Orang-orang ini sah menjadi muqtaridl (berhutang), sebab memiliki kriteria
ahliyah muamalah, namun
tidak sah menjadi muqridl (memberi pinjaman hutang), sebab tidak memiliki
kriteria ahli at-tabarru’.
2.3.3
Muqradl
Muqradl adalah
obyek dalam akad qardlu yang disebut piutang (debit). Muqradl disyaratkan
sesuatu yang sah dijual belikan dan bisa dispesifikasikan melalui kriteria (shifah)
sebagaimana syarat muslam fih dalam akad salam. Sebab akad qardlu
termasuk akad muawadlah, yakni memberikan kepemilikan dengan sistem imbalan (“iwad) dalam
tanggungan (dzimmah) sebagaimana akad salam. Sesuatu yang tidak bisa di
spesifikasikan melalui sifat, menurut
satu versi, tidak
sah dijadikan muqradl, sebab akad qardlu mewajibkan
pengembalian ganti berupa padanya (mitsil), dan baranng yang tidak bisa
dispesifikasi dengan sifat, tidak
memiliki padanan. Sedangkan menurut versi lain sah, sebab barang yang
memiliki padanan, kewajibannya
mengembalikan ganti berupa qimah.
Hanya saja, terdapat beberapa pengecualian, dalam arti sah diakadi salam, namun tidak sah diakadi
qardlu, atau sebaliknya. Diantaranya:
a.
Tidak
sah memberikan pinjaman hutang berupa budak perempuan kepada muqtaridl yang
halal istimta’nya. Sebab,menurut versi yang mengatakan bahwa,muqtaridl
berstatus memiliki muqradl dengan penerimaan (qabl ), maka
konsekuensinya, muqtaridl akan sah melakukan istimta’ terhadap
budak perempuan (muqradl ) tersebut.
Dan ketika kemudian budak perempuan dikembalikan oleh muqtaridl,atau
ditarik oleh muqridl sewaltu-waktu,mengingat akad qardlu bersifat
ja’iz dari kedua belah pihak,maka muatan akad qardlu demikian
sama halnys dengan meminjamkan budak perempuan dengan pelayanan seks yang
dilarang. Sedangkan menurut versi yang mengatakan bahwa,muqtaridl belum
berstatus memiliki muqradl dengan penerimaan qabdl,melainkan
dengan tasaruf,maka akad qardlu sah. Sebab konsekuensi muatan terlarang
tersebut tidak akan ada.
b.
Sah
memberikan pinjaman hutang berupa hutang roti,sebab telah berlaku secara
massif.
c.
Sah
memberikan pinjaman berupa separuh kebawah dari sebuah bangunan,sebab muqradl
demikian memiliki padanan.
d.
Dll.
2.3.4
Shighah
Shighah dalam
akad qardlu adalah ijab dari pihak muqridl yang menunjukkan pemberian kepemilikan dengan
system kewajiban mengembalikan penggantinya,dan qabul dari pihak muqtaridl
yng menunjukkan persetujuan dari ijab. Syarat
shighah dalam akad qardlu sebagaimana
syarta shighah dalam akad muawadhah yang lain. Namun menurut satu
versi,dalam akad qardlu,qabul, dari pihak muqtaridl tidak
disyaratkan,sebab qardlu adalah bentuk perizinan penggunaan
sesuatu,dengan konsekuensi dlaman (ibahah itlaf bi syarth adl-dlaman).[6]
2.4
Konsekuensi
Hukum Akad Qardh
2.4.1
Hak Memiliki dan Status Akad
Menurut qaul ashah, muqtaridl berstatus memiliki atas muqradl,
terhitung sejak penerimaan muqradl (qabdl), sebagaimana dalam akad hibbah.
Sebab, sejak penerimaan tersebut, muqtaridl telah memiliki otoritas
untuk mentasarufkan muqradl.[7]
Dalam pendapat yang sependapat, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, baru berlaku apabila terjadi serah
terima barang atau uang.[8]
Sesorang yang telah meneriman abrang atau jasa tersebut merupakan seorang
peminjam dan barang atau jasa tersebut menjadi miliknya namun perlu digaris
bawahi bahwa ia juga memiliki kewajiban untuk mengembalikan sejumlah yang sama (mitsli). Abu Yusuf berpendapat bahwa
peminjam (muqtaridh) tidak memiliki hak kepemilikan atas objek qardh selama
barang itu masih utuh.
Sementara itu, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hak kepemilikan dalam qardh
disamakan seperti hibah, sedekah dan ‘ariyah (meminjamkan barang). Ketiga hal tersebut
berlaku dan mengikat setelah terjadinya transaksi atau ijab qabul, meski
objeknya belum diserahkan. Peminjam diperbolehkan mengembalikan pinjaman dalam bentuk barang yang sama
dengan yang dipinjamnya juga dapat mengembalikannya dengan barang yang
dipersamakan dengan yang dipinjam. Baik harta itu termasuk harta harta mitsli maupun tidak. Hal itu selama harta
tersebut tidak mengalami
perubahan dengan bertambah atau berkurang. Jika berubah, maka harus mengembalikan dengan barang
yang sama.
Ulama Syafi’iyah dalam riwayat yang paling shahih dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan
qardh berlaku dengan serah terima. Menurut Syafi’i, peminjam mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dipinjam adalah harta yang mitsli,
karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya. Dan jika yang dipinjam adalah qimiy (harta yang
dihitung berdasar nilai), maka ia
mengembalikan dengan barang semisal secara bentuk, karena Rasulullah telah berutang
unta bakr (yang berusia muda) lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata:
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu
adalah yang paing baik dalam membayar utang.”
Menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditakar (makilat) dan
ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqaha,
dikembalikan dengan barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat
dan mauzunat, ada dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan
harganya yang berlaku pada saat berutang. Kedua, dikembalikan dengan barang
yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau
dipinjam.[9]
Dari penjabaran berbagai pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
akad qardh menimbulkan konsekuensi atas kepemilikan dan juga atas
konsekuensi khilaf.
Konsekuensi dari kepemilikan muqtaridl atas muqradl ini
adalah, hak muqridl telah berpindah dari muqradl yang tertentu
secara fisik (mu’ayyan) pada pengganti (badal)-nya yang berada
pada tanggungan (dzimmah)-nya muqtaridl.[10]
Apabila seorang peminjam masih belum menggunakan barang atau uang yang ia
pinjam maka akadnya masih jaiz, sehingga kedua belah pihak masih dapat
membatalkannya. Baik muqtaridl mengembalikan barang yang ia pinjam
maupun yang dipinjami maupun muqridl mengambil atau menarik kembali
barang yang ia pinjamkan.
Konsekuensi khilaf (tsamrah al khilaf) antara qaul
ashah dan dan musqabil nya ini, akan tampak dalam kasus muqardl
berupa barang yang membutuhkan nafkah dan menghasilkan produktivitas (manfaat).
Menurut qaul ashah yang menyatakan muqradl telah menjadi milik muqtaridl
sejak penerimaan (qabdl), maka biaya nafkah muqradl menjadi
tanggung jawabnya sejak penerimaan, demikian juga hasil produktivitas muqradl
menjadi hak miliknya. Sedangkan menurut muqabil ashah, nafkah dan hasil
produktivitas muqradl sejak penerimaan hingga tasaruf, menjadi
tanggung jawab dan hak milik muqridl. Sebab menurut muqabil ashah,
dalam masa-masa tersebut status muqradl masih menjadi milik muqridl.[11]
2.4.2
Hutang Bersyarat
1.
Syarat Fasid Pada Mufsid
Yaitu klausal yang disyaratkan dalam akad qardlu yang memberikan
keuntungan (naf’an) sepihak, muqridl saja. Seperti memberikan
pinjaman hutang dengan syarat mengembalikan dengan nilai lebih. Syarat yang
demikian itu dapat membatalkan mufsid (akad) karena termasuk dalam riba
qardli.
Dalam buku lain disebutkan bahwa dalam sisi pengambilan manfaatnya para
ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat hukumnya haram, apabila
hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian.[12]
Hal di atas juga bertentangan dengan konsekuensi akad qardlu karena
akad ini dilakukan dengan dasar saling tolong-menolong.
Namun, apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad
maka hukumnya boleh.[13]
Dan justru disunnahkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabda Nabi:
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paing baik dalam
membayar utang.”
Atau syarat kelebihan tersebut disyaratkan di luar transaksi (kharij
al-‘aqd), terdapat dua pendapat akan hukum akad qardl:
2.5 Menurut Syafi’iyah, sah namun makruh.
2.6 Menurut A’immah Tsalatsah, haram.
Di lain kasus apabila seorang peminjam sudah terbiasa memberikan tambahan
ketika ia menegmbalikannya. Atas kasus tersebut terdapat perbedaan antar ulama,
ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak.
Sementara itu, untuk hukum dari dosa orang yang melakukan praktek riba
qardli ini, menurut sebagian ulama hanya ditanggung oleh muqridl,
dan sebagian lagi beranggapan bahwa dosanya ditanggung oleh kedua belah pihak.
2.
Syarat Fasid Tidak Mufsid
Persyaratan yang ada dalam klausul ini merupakan
persyaratan yang menguntungkan salah satu pihak yakni muqtaridl atau
menguntungkan kedua belah pihak namun lebih condong pada muqtaridl.
Semisal perjanjian hutang piutang yang berisi
pengembalian yang kurang dari jumlah hutang itu sendiri dan juga tempo yang
ditentukan karena melihat kondisi keuangan pihak muqtaridl.
Menurut qaul ashah, klausul kedua ini termasuk
syarat yang tidak dihiraukan. (mulghah), sehingga tidak membatalakan
akad qardlu (ghair mufsid)[14].
Hal tersebut dikarenakan tujuan dari akad tersebut tidak untuk mencari
keuntungan melainkan untuk saling tolong-menolong. Namun, terdapat pendapat
lain yang beranggapan bahwa hal tersebut dapat membatalkan akad dikarenakan
konsekuensi akad qardlu yang mengaharuskan untuk mengembalikan hutang
tersebut tanpa ditambahi maupun dikurangi.
3.
Persyaratan Tempo
Menurut Syafi’iyah, masuk dalam kategori syarat fasid
tidak pada mufsid. Kefasidaannya terletak pada tempo yang merupakan ciri
dari transaksi barang ribawi, sementara itu tidak mufsid dikarenakan
tidak mendzalimi muqtaridl.
Dalam hal penagihannya, meski sudah terdapat jangka
waktu, ia boleh menagihnya kapanpun karena hal tersebut sesuai dengan akad qardlu
yang dimana seorang muqridl dapat menagih sesuai keinginannya.
Meskipun demikian terdapat norma sosial dan etika yang
menganjurkan untuk menagih tepat pada jangka waktu yang telah ditentukan agar
tidak menyusahkan pihak muqtaridl. Hal tersebut merupakan bentuk
kemurahan (tabarru’) oleh muqridl. Hukumnya mubah dan
tidak harus dilaksanakan.
Sementara itu, menurut Imam Malik, syarat tempo dalam
akad qardlu termasuk syarat shahih, baik di awal akad (ibtida’an),
seperti hutang dengan syarat dibayar pada tempo tertentu, atau di tengah
akad (intha’an), seperti hutang dengan pembayaran cash (hal)
kemudian disyaratkan tempo (ajal).[15]
4.
Syarat Shahih
Yaitu klausul-klausul yang disyaratkan dalam akad qardlu
hanya bersifat sebagai jaminan (watsiqah), seperti syarat gadai (rahn),
syarat persaksian (isyhad), syarat ada penanggung jawab (kafil),
dll. Sebab, muatan klausul-klausul demikian hanya bersifat sebagai keuntungan
yang lebih (naf’an za’idan), sehingga masih sejalan dengan konsekuensi
akad (muqtadla al’aqd).[16]
2.4.3
Sistem Pembayaran
Apabila barang yang dijadikan akad qardlu memiliki
padanan (mitsli) maka dapat dikembalikan dengan barang yang sama dan hal
tersebut hukumnya sah. Sistem tersebut yang paling mendekati dengan pemenuhan
hak atas muqridl.
Sementara itu, apabila barang yang dipinjamkan tidak
memiliki padanan (mutaqawwim), dalam hal tersebut terdapat perbedaan
antar ulama’. Salah satu pendapat menyatakan bahwa pembayarannya dengan
mengganti padanan yang sama bentuknya.
Sementara itu, lain pihak berpendapat bahwa harus diganti
dengan harga yang sesuai dengan barang yang dipinjam atau lebih biasa disebut qimah
(mengganti nilai harga).
Besarnya qimah dilihat dari sejak kapan menjadi
kepemilikan muqtaridl. Apabila kepemilikan barang sejak penerimaan
barang, maka qimah-nya sebesar itu pula. Apabila kepemilikannya baru
terhitung sejak mentasarufkan barang, maka qimah-nya merupakan harga
tertinggi antara penerimaan hingga tasaruf.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara etimologi,
qardhu berarti pinjaman hutang (muqradl) atau juga bisa berarti memberikan
pinjaman hutang (iqaradl). Terminologi qardlu adalah memberikan kepemilikan
(tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan penggantinya tanpa unsur
tambahan.
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفُهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ
كَرِيْمٌ
“Siapakah
yan mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak.” (Al-Hadid :11)
Struktur akad qardlu
ada empat, yaitu muqridl, muqtaridl, muqradl dan sighat.
Konsekuensi hukum akad qardh terjadi pada hak memiliki dan
status akad, hutang bersyarat, dan system pembayaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Az- Zuhaili, Wahbah. 1984. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Juz 4. Syiriah.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Terjemah untuk Wanita. Bandung:
Jabal.
Rahman Al-Jaziri, Abdul.
2003. Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2. Libanon, Beirut:
Dar- AlKutub Al-Ilmiyah.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung; Pustaka Setia.
Tim Laskar Pelangi. 2015. Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus
Metodologi Konsep Interaksi Sosial-Ekonomi. Kediri: Lirboyo.
Wardi Muslich, Ahmad. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
[1] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala
Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), 303.
[2] Tim Laskar
Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi
Sosial-Ekonomi, (Kediri: Lirboyo, 2015), 100
[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar
Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 254.
[5] Rachmat Syafe’i, Fiqh
Muamalah, (Bandung; Pustaka Setia, 2001)
[6] Tim Laskar
Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi
Sosial-Ekonomi, 102-103.
[10] Tim Laskar
Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi
Sosial-Ekonomi, 104.
[14] Tim Laskar
Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologi Konsep Interaksi
Sosial-Ekonomi, 108.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar