MAKALAH
Perbuatan Baik
Dan Buruk Menurut Akal Dan Wahyu
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Akhlak Tassawuf
Dosen
pembimbing : Lc Dony Burhan Noor
Hasan, M.A
Disusun oleh :
1.
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
2.
Siti Ulfah (150721100127)
3.
Sifa’ Fauziyah (150721100009)
4.
Ayu Fitriyah (150721100066)
5.
Wardatul Jannah (150721100120)
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AJARAN 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan hidayahNya,
makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak Lc Dony Burhan Noor Hasan, M.A yang
telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput juga kami
ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang ikut menyumbang pikirannya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami memohon maaf kepada ibu dosen bapak Lc Dony Burhan Noor Hasan, M.A khusunya
dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan
dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kami
mengharap kritik dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi
lebih baiknya makalah ini.
Bangkalan, 02 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul....................................................................................................... i
Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
Bab II Pembahasan
A. Akal dan Wahyu........................................................................................ 2
B. Hakekat Perbuatan
Manusia....................................................................... 4
C. Kebebasan
Manusia (Jabariyyah dan Qadariyyah)..................................... 9
D. Tolak Ukur Baik
dan Buruk....................................................................... 15
E. Kebebasan,
Tanggung Jawab, dan Hati Nurani.......................................... 21
Bab III Penutup
A. Kesimpulan................................................................................................. 22
Daftar Pustaka....................................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang paling sempurna. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah
akal. Manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk berpikir. Akal yang dimiliki
manusia digunakan untuk memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan
pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Qura’an
yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Dengan
akal pula, manusia mampu menelaah sejarah islam dari masa ke masa dari masa
lampau. Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Sedangkan wahyu digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam berpikir.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan Akal dan fungsinya?
2.
Apa yang dimaksud dengn Wahyu dan
fungsinya?
3.
Bagaimana hakeket dari perbuatan
amal manusia ?
4.
Apa yang dimaksud dengan kebebasan
manusia Jabariyyah dan Qaddariyyah ?
5.
Apa saja aliran yang ada di aliran
Jabariyyah dan Qaddariyyah ?
6.
Bagimana tolak ukur baik dan buruk
perbuatan manusia ?
7.
Apa yang dimaksud dengan Kebebasan, Tanggung Jawab, dan hati Nurani ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Akal Dan Wahyu
1) Pengertian Akal
Kata akal
yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-aql yang
dalam bentuk kata benda, berlainan dengan al-wahy, tidak terdapat dalam
Al-Quran. Al-Quran hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1
ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat
dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan
mengerti.[1]
Dalam kamus
bahasa Arab Lisan Al-‘Arabdijelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr
menahan dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa
nafsu. Sedangkan al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan, al-nuha,
lawan dari lemah pikiran, al-humq. Selanjutnya disebut bahwa al-‘aql
juga mengandung arti kalbu, al-qalb.
Arti asli
dari kata ‘aqala adalah mengikat dan menahan. Sedangkan orang yang ‘aqil
di jaman jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya,
yakni orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya ia dapat mengambil
sikap dan tindakan yang bijaksana dalam mengatasi masalah yang dihadapinya
Menurut
Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dapat diartikan sebagai kecerdasan
praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah.[2]
Sedangkan
Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki
manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.
a.
Fungsi Akal
1.
Sebagai tolak ukur akan kebenaran
dan kebatilan.
2.
Alat untuk berpikir akan berbagai
hal dan cara tingkah laku yang benar.
3.
Alat pencari solusi ketika
permasalahan datang.
Pada hakikatnya
akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai
hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan
akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut.
Dan Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan
akalah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.[3]
2)
Pengertian
Wahyu
Wahyu
berasal dari bahasa arab الوØÙŠ, dan al-wahy yang berarti suara, api, dan
kecepatan. Ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi
dan cepat. Wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat
kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Ketika berbentuk
maf’ul wahyu sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi. Menurut
Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai
keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun
tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun
lainya. [4]
Selanjutnya
dijelaskan lebih dalam bahwa pengertian makna wahyu meluas menjadi beberapa
makna, diantaranya adalah sebagai:
·
Perintah
·
Isyarat, seperti yang terjadi pada kisah Zakaria
Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu
tanda." Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat
bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat." Maka
ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka;
hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang." (Maryam 10-11)
·
Ilham secara kodrati dan insting[5]
a.
Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi
bagi manusia yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih
kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta
menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Secara
tidak langsung wahyu adalah senjata yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya untuk
melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai
keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan Allah SWT.
b.
Kekuatan wahyu
1.
Wahyu ada karena ijin dari Allah,
atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2.
Wahyu lebih condong melalui dua
mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3.
Membuat suatu keyakinan pada diri
manusia.
4.
Untuk memberi keyakinan yang penuh
pada hati tentang adanya alam ghaib.
5.
Wahyu turun melalui para ucapan
nabi-nabi.
B. Hakekat
Perbuatan ( Amal ) Manusia
Sabda
Allah kepada umatnya:
“ Sesungguhnya, seluruh
manusia berada dalam kerugian, kecuali ia beriman, melakukan perbuatan shaleh,
dan saling menasihati dalam kebenaran
dan kesabaran “ ( Qs.Al – Ashr ).
Amal
perbuatan manusia terbagi menjadi dua yaitu Ma’ruf ( baik ) dan Mungkar ( buruk ). Amal baik adalah amal yang berguna baik diri sendiri maupun orang lain dan amal buruk
adalah amal yang merugikan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Apabila hati kita baik,
maka akan menuntun kita kejalan yang
baik begitu pula sebaliknya, itu semua tergantung dari faktor dan tolak ukur manusia
seperti faktor keluarga, lingkungan, dan pola fikir.
Menjadikan
akal sebagai tolak ukur perbuatan tentu berakibat fatal terhadap ukuran baik,
buruk, terpuji dan tercelanya perbuatan. Karna akal manusia bersifat terbatas,
lemah, serba kurang. Sebagaimana firman Allah SWT :
“ Diwajibkan atas kamu berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat bagimu, dan boleh jadi (
pula ) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. ( Qs. Al –
Baqarah: 216 ).
Dari aspek
wilayah pengendaliannya, perbuatan manusia dapat digolongkan menjadi
dua, ( perbuatan Musayyar Dan Muhayyar) , semua perbuatan, apakah ang
menimpa manusia / manusia melakukannya,
yang berada diwilayah yang mengasai
manusia disebut perbuatan musyyar.
Sebaliknya, semua perbuatan manusia yang berada diwilayah yang manusia mampu menguasainya (memiliki
pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan) disebut perbuatan Mukhayyar.
C.
Kebebasan
Manusia (Jabariyyah Dan Qadariyyah)
1. Aliran
Jabaliyyah
a.
Pengertian
Jabariyyah
Nama jabariyyah
berasal dari kata “Jabara” yang mengandung arti memaksa. Begitupun dalam munjid dijelaskan bahwa jabara berarti memaksa dan mengharuskan
melakukan sesuatu. Kemudian kata jabara, ditarik menjadi jabariyyah (dengan
menambah ya’ nisba) artinya adalah suatu kelompok atau aliran
(isme). Lebih lanjut Asy-Syarastani menegaskan bahwa faham Al-jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya
kepada Allh SWT. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris faham
jabariyyah disebut fatalism atau fredestination yaitu yang mengatakan bahwa
perbuatan manusia sudah ditentukan sejak semula oleh Qada’ dan Qadar nya Allah
SWT. Posisi manusia tidak memiliki kebebasan inisiatif sendiri, akan tetapi terikat mutlak pada hakekat Tuhan.
b.
Sejarah
Kemunculan Aliran Jabariyyah.
Orang pertama
kali yang menggemukakan faham jabariyyah
dikalangan umat islam adalah Al-Ja’d Ibn dirham
(terbunuh pd tahun 124 H), Pandangan dan
pemikirannya disebarluaskan oleh pengikutnya seperti “ Jahm bin safwan
(125 H) dari khurasan ( dia pun termasuk pendiri aliran jahmiyah dalam kalangan
murjiah). Mengenai sejarah kemunculan aliran jabariyyah, para ahli mengkajinya
melalui pendekatan geokultural bahasa arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad amin ia mengambarkan kehidupan
bahasa arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara yang memberikan pengaruh
besar kedalam cara hidup mereka.
Harun nasution
menjelaskan bahwa, dalam situasi demikian masyarakat arab tidak banyak melihat
jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya.
Faktor inilah yang membuat mereka merasa lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi
kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal
inilah yang membawa mereka pada fatalism. Sebenarnya benih-benih faham jabr sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh
diatas.
c.
Tokoh-Tokoh
Dan Doktrin Ajaran Jabariyyah
Menurut
Asy-Syahrastani jabariyyah itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu,
ekstrem (segala perbuatan manusia yang
timbul dari kemauannya melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya).
Beberapa aliran yang masuk pada
aliran jabariyyah, yaitu :
1.
Aliran
Al-Jahmiyah
Aliran jabariyyah oleh
Al-Syahrastani menyebutkan dengan istilah Al-jabariyyah al-kharish. Pendirinya
adalah Jahm Ibn shafwan (124 H). nama
lengkapnya adalah abu mahrus jaham bin shofwan. Dia berasal dari khurasan yang
bertempat tinggal dikuffah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah ( orator )
yang termasuk seorang mawali yang menentang pemerintahan bani umayyah, ia
ditawan kemudian dibunuh oleh muslim Ibn ahwas almazini pada akhir dinasti
kholifah dari bani umayyah. Aliran ini tersebar di Tirmiz dan Balk. Dai
dianggap sebagai pengikut jabariyyah murni.
Aliran jahmiyah ini tidak
menetapakan perbuataan atau kekuasaan sedikitpun. Seluruh tindakannya tidak
boleh terlepas dari aturan, scenario dan
kehendak Tuhan. Segala akibat baik atau buruk yang diterima oleh manusia
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan dari Allah SWT. Namun ada
kecenderungan bahwa Tuhan lebih memperlihatkan sikapnya yang mutlak atau
absolut dab berbuat sekehendakNya. Hal inilah yang menimbulkan kesan
seolah-olah Allah tdk adil jika Ia menyiksa orang-orang yang berbuat dosa yang
dilakukan orang itu terjadi atas Tuhan .
2. Aliran
An-Najariyyah
Pendiri aliran ini diberi istilah
yaitu al-jabariyyah Al- mutawasithah, pendiri aliran ini adalah Al-husein Ibnu
Muhammad an-najjar (230H) dan ia termasuk tokoh mu’tazilah yang paling banyak
mengunakan ratio yakni menetapkan adanya Qudrat pada manusia tetapi Qudrat
tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan. An-Najjar juga berkata ; Tuhan
hanya berkehendak dengan zatNya , juga
Tuhan mengetahui dengan zatNya. Karena
itu taalluqnya menyuruh Allah menghendaki baik dan buruk , bermanfaat dan
mudharat.
3. Ad-Dhirariyyah
Pendirinya adalah Dhirar ibn ‘amr
dan Hafshul al-fard. Keduanya sepakat
adanya sifat Allah, namun keduanya berkata
“Allah maha mengetahui dan maha
kuasa maksudnya tidak jahil dan tidak lemah. Dan mereka mengakui bahwa Allah
adalah zat yang hakikatnya tidak diketahui melainkan Allah sajalah yang tau.”
Katanya pendapat ini dikutip dari abu hanifah dan rekan-rekannya. Dan yang
dimaksud Allah mengetahui zatNya tanpa melalui pembuktian dan dalil.
Dhira dalam kesempatan lain juga
pernah berpandangan mengenai kepemimpinan boleh saja bukan suku Quraisy namun
apabila keturunan Rasulullah yang lebih pantas diutamakan dengan alas an
bahwasannya jumlah keturunannya sedikit. Melalui cara ini akan mudah memberhentikan
apabila tindakannya bertentanggan dengan syari’at islam.
2. Aliran
Qadariyyah
a.
Latar
Belakang Kemunculan Faham Qadariyyah
Qadariyyah
berasal dari bahasa arab yaitu qadara yang mempunyai arti kemampuan dan
kekuatan. Secara terminology, qadariyyah
adalah aliran atau faham timologi
yang percaya bahwa segala tindakan dan perbuatan manusia itu terjadi tanpa
adanya campur tanggan Tuhan, artinya manusia bebas melakukan apa saja sesuai
dengan keinginannya. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia pencipta bagi
segala perbuatannya. Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Dan dari pernyataan ini, maka dapat difahami bahwa
Qadariyyah digunakan untuk nama sesuatu
aliran atau faham yang menyatakan kebebasan
dan kekuatan penuh bagi manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Menurut Prof.Dr. Harun Nasution, kaum
Qadariyyah berasal dari pengertian bahwa bahwa manusia mempunyai qudarah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada Qadar nya Tuhan.
b.
Tokoh-Tokoh
Aliran Faham Qadariyyah.
Para ahli
teologi masih berbeda pendapat dan terus menjadi perdebatan , menurut Ahmad
amin para ahli teologi ada ada yg berpendapat bahwa Qadariyyah pertama
dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani pada tahun 80 H dan Ghilan Ad-Dimasyqy.
Sedangkan
menurut Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh al-uyun, memberikan pernyataan bahwa
yg pertama kali memunculkan faham qadariyyah adalah orang irak yang semula
beragama Kristen kemudian masuk islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Sementara menurut W.Montgomery Watt
menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang
dipublikasikan melalui majalah Der islam pd tahun 1933 dalam artikel itu menjelaskan bahwa faham qadariyyah
terdapat dalam risalah yg ditulis untuk
kholifah abdul malik oleh hasan bisri sekitar tahun 700 M.
c.
Pokok
Ajaran Aliran Qadariyyah
Secara umum
pokok ajaran dari aliran qadariyyah adalah manusia berkuasa penuh atas
perbutan-perbuatannya. Manusia melakukan kebaikan atas kehendak dan kekuasaan
dirinya sendiri dan manusia juga yg melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan
buruk sesuai dengan kemauan dan dayanya sendiri tanpa campur tanggan Tuhan.
Secara alamiah,
sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia
dalam dimensi fisiknya tdk dapat berbuat apa-apa, kecuali mengikuti hukum alam.
D. Tolak Ukur Perbuatan Baik dan Buruk
Baik dan buruk
merupakan persoalan yang pertama kali muncul di kalangan para filsuf Yunani.
Persoalan ini pula yang menjadi pembicaraan yang pertama dalam kajian ilmu
akhlak dan ilmu estetika. Penilaian terhadap suatu perbuatan adalah relative,
hal ini disebabkan adanya perbedaan tolak ukur yang digunakan untuk penilaian
tersebut. Perbuatan tolak ukur tersebut disebabkan karena adanya perbedaan
agama, kepercayaan, cara berfikir, ideology, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Baik dan buruk
merupakan sifat yang selamanya akan menempel pada suatu benda, terlepas apakah
benda itu mati atau hidup. Setiap ada pengertian baik, ada pengertian buruk.
Dalam mendefinisikan baik dan buruk, setiap orang pasti berbeda-beda. Sebab,
sumber penentu baik dan benar, yaitu Tuhan dan Manusia; wahyu dan akal; agama
dan filsafat. berikut ini adalah beberapa perbedaan tersebut :
1.
Ali bin Abi
Thalib (w. 40 H): Kebaikan adalah menjauhkan diri dari larangan, mencari
sesuatu yang halal, dan memberikan kelonggaran kepada keluarga.[6]
2.
Ibnu Maskawih
(941-1030 M): Kebaikan yang dihasilkan oleh manusia melalui kehendaknya yang
tinggi. Keburukan adalah sesuatu yang di perlambat demi mencapai kebaikan.[7]
3.
Muhammad Abduh
(1849-1905): Kebaikan adalah apa yang lebih kekal faedahnya sekalipun
menimbulkan rasa sakit dalam melakukannya.[8]
4.
Thosohiko Izutsu
(1914-1993): dalam Al-Qur’an tidak ada sistem konsep baik-buruk abstrak yang
dikembangkan sepenuhnya. Rumusan bahasa moral level sekunder ini merupakan
karya dari ahli hukum pada masa pasca-Quranik. Kosakata Al-Qur’an mengandung
sekian kata yang dapat, dan biasanya, diterjemahkan dengan “baik” dan “buruk”,
tetapi banyak di antaranya merupakan kata-kata deskriptif atau indikatif. Jika
kita dibenarkan menilai kata-kata itu sebagai istilah “nilai” karena dalam
pemakaian actual, kata-kata itu membawa maksud untuk memberikan penilaian. Pada
waktu yang sama, dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah kata “baik” dan “buruk” yang
fungsi utamanya evaluative, bukan deskriptif.[9]
5.
Louis Ma’luf:
baik, lawan buruk, adalah menggapai kesempurnaan sesuatu.[10]
Buruk, lawan baik, adalah kata yang menunjukkan sesuatu yang tercela dan dosa.[11]
6.
Poerwadarminta
(1904-1958): baik: (1) elok, patut, teratur; (2) berguna, manjur; (3) tidak
jahat; (4) sembuh, pulih; (5) selamat (tak kurang satu pun).[12]
Buruk: (1) rusak atau busuk; (2) jahat, jelek, kurang baik, tidak menyenangkan.[13]
Mempersoalkan baik dan buruk pada
perbuatan manusia maka ukuran dan karakternya selalu dinamis, sulit dipecahkan.
Namun demikian karakter baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur menurut
fitrah manusia. Dengan merujuk kepada berbagai kutipan tersebut di atas beberapa
aliran filsafat yang memengaruhi pemikiran akhlak dapat dapat dikemukakan
secara ringkas sebagai berikut :
a.
Aliran
Naturalisme
Menurut aliran Naturalisme ukuran baik dan buruk adalah apakah sesuatu itu
sesuai dengan fitrah ( Naluri ) manusia / tidak baik lahir maupun batin.
Apabila sesuai dengan fitrah dikatakan baik, sedangkam apabila tidak sesuai
dikatakan buruk. Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang menjadi tujuan
setiap manusia didapat dengan jalan memenuhi panggilan natur atau kejadian
manusia itu sendiri. Iyulah sebabnya aliran ini disebut Naturalisme.[14]
Berikut beberapa pemikiran aliran Naturalisme :
1.
Segala sesuatu
dalam dunia ini menuju pada tujuan tertentu. Memenuhi panggilan natur setiap
sesuatu dapat mengantarkan pada kesempurnaan Benda-benda dan tumbuh-tumbuhan
juga termasuk di dalamnya, menuju pada satu tujuan, tetapi dapat dicapai secara
otomatis tanpa pertimbangan dan perasaan.
2.
Hewan mencapai
tujuannya melalui naluri, sedangkan manusia melalui akalnya karena itulah yang
menjadi perantara baginya untuk mencapai kesempurnaan.
b.
Aliran
Hedonisme
Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti
“kesenangan” atau “kenikmatan”. Dalam filsafat Yunani , Hedonisme ditemukan
oleh Aristippos dari Kyrene ( sekitar abad 433-355 SM ).
Beberapa pandangan aliran Hedonisme :
Beberapa pandangan aliran Hedonisme :
1.
Setiap perbuatan yang dikatakan itu
susila apabila perbuatan itu mengandung kelezatan/kenikmatan.
2.
Kelezatan dan kenikmatan merupakan
suatu tolak ukur dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan.
c.
Aliran
Eudaeonisme
Beberapa pandangan aliran Eudaenoisme :
1.
Tujuan hidup dan kegiatan manusia
adalah tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan yang sifatnya hanya sementara.
2.
Kesenangan dan kebahagiaan
jasmaniyah adalah satu-satunya hal yang baik dalam dirinya. Sedangkan
kaejahatan di anggap sebagai penyebab utama segala bentuk rasa sakit dan
kesedihan.
3.
Yang di sebut baik secara moral
adalah hal-hal yang mendatangkan kegunaan dan keuntungan dalam upaya manusia
mencapai cita-citanya yaitu kebahagiaan dan sukses sementara.
d.
Aliran
Pragmatis
Pragmatisme, dalam bentuknya yang umum, adalah pemikiran yang dipengaruhi
kepentingan situasi dan kondisi uyang ada. Dengan demikian, pemikiran
Pragmatisme akan berubah setiap saat. Adapun yang tidak berubah adalah
mempertahankan kepentingan itu sendiri. Dengan demikian, Pragmatisme adalah
pemikiran yang tidak teratur sebab kepentingan individu itu tidak teratur.
Aliran ini menitik beratkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri, baik
yang bersifat moril maupun materil. Titik beratnya adalah pengalaman oleh
karena itu penganut paham ini tidak mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran
bersifat abstrak dan tidak akan di peroleh dalam dunia empiris.
e. Aliran Vitalisme
Beberapa pandangan aliran Vitalisme tentang ukuran baik dan buruk antara
lain sebagai berikut :
1.
Ukuran baik dan buruk adalah daya
kekuatan hidup. Manusia akandikatakan baik apabila memiliki daya kekuatan hidup
yang kuat sehingga memaksa manusia yang lemah untuk mengikutinya.
2.
Keburukan adalah apabila manusia
tidak memiliki daya kemampuan kuatyang memaksa manusia untuk mengikuti
kehidupan orang lain.
f.
Aliran
Idealisme
Pokok-pokok pandangannya adalah sebagai berikut :
1.
Wujud yang paling dalam dari
kenyataan ( hakikat ) adalah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada prinsipnya
bukan karena di anjurkan orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri/rasa
kewajiban. Sekalipun di ancam dan dicela orang lain, perbuatan baik itu
dilakukan juga karena adanya rasa kewajiban yang terdapat didalam nurani
manusia.
2.
Faktor yang paling penting
memengaruhi manusia adalah “ kemauan” yang melahirkan tindakan tindakan yang
konkret, pokok disini adalah “kemauan baik”.
3.
Kemauan yang baik itulah dihubungkan
dengan suatu hal yang menyempurnakannyayaitu rasa kewajiban.
g.
Aliran
Exsistensialisme
Etika exsistensialisme berpandangan bahwa exsistensi di atas dunia selalu
terkait pada leputusan-keputusan individu.Artinya andaikan individu tidak
mengambil suatu keputusan, pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangat
menentukan terhadap sesuatu yang baik, terutama bagi kepentingan dirinya.
Ungkapan dari aliran ini adalah truth is subjectivity/kebenaran terletak pada
pribadinya maka di sebutlah baik.Sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik
bagi pribadinya maka itulah yang buruk.
h. Aliran Utilitarisme
Pokok pandangannya adalah sebagai berikut :
1.
Baik buruknya suatu perbuatan atas
dasar besar kecilnya manfaat yang di timbulkan bagi manusia.
2.
Kabaikan yang tertinggi (summun
bonum) adalah utility (manfaat).
3.
Segala tingkah manusia selalu di
arahkan pada pekerjaan yang
membuahkan manfaat yang sebesar-besarnya.
membuahkan manfaat yang sebesar-besarnya.
4.
Tujuannya adalah kebahagiaan
(happiness) orang banyak pengorbanan misalnya di pandang baik jika mendatangkan
manfaat, lain dari pada itu hanyalah sia-sia belaka.
i.
Aliran
Deontologi
Menurut aliran ini suatu tindakan dianggap baik bukan berdasarkan
tujuan/dampak perbuatan itu, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri. Dengan
kata lain perbuatan tersebut bernilai moral karena tindakan itu di laksanakan
berdasarkan kewajiban yang memang harus di laksanakan terlepas dari
tujuan/akibat dari tindakan itu.Salah satu tokoh terkenal dari teori ini adalah
Immanuel Khant (1734-1804 M), seorang filsuf Jerman abad ke- 18.[15]
j.
Aliran
Teologis
Aliran ini berpendapat bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan adalah
ajaran Tuhan, apakah perbuatan tersebut di perintah/di larang.Segala sesuatu
yang di perintahkan Tuhan adalah baik, sebaliknya perbuatan yang di larang Nya
adalah buruk.[16]
E.
Kebebasan,
Tanggung Jawab, dan Hati Nurani
1.
Kebebasan
Berbicara mengenai kebebasan tidak dapat lepas dari
persoalan kesusilaan . Maka tidak ada fungsinya memuji dan mencela seseorang
atas suatu perbuatan apabila dia dalam melakukan .”Tidak bebas”. Seseorang bisa
melakukan ataw tidak melakukan sesuatu, karena tidak ada oilihan lain. Kondisi
demikian dapat terjadi karena ada unsur paksaan atau adanya unsur penekanan
kepadanya.
Dalam kondisi tertekan (tidak bebas), manusia tidak
mungkin akan terjadi makhluk yang merdeka, mengapa manusia dapat melakukan
kesalahan? Katena adanya unsur kebebasan untuk memilih berbagai
alternatif.Kesalahan yang paling berat bagi manusia ialah menyerahkan
kebebasannya, dan meminta petunjuk perilaku apa yang harus di ambilnya. Bentuk
paling dari kesalahan seseorang adalah membuatkan diri untuk terperangkap
keburukan. Maka posisi damikian hanya satu hal yang dapat di kerjakannya yaitu
berbuat Asusila.
Perbuatan seseorang akan bermakna apabila yang
bersangkutan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan dan yang tidak di
lakukan.Dengan demkian mempersoalkan kebebasan tidak dapat lepas dari masalah
tanggung jawab atas semua tingkah lakunya. Sehimgga menjadi terangg bahwa orang
yang dapat di mintai tanggung jawab yaitu orang yang berbuat sesuatu dengan
kebebasan yang di miliki. Kita mengira adanya pengaruh –pengaruh buruk yang
di alami seseorang yang di hadapinya , nafsu –nafsu yang bergolak dalam
dirinya, pendidikan buruk yang di perolehnya, lingkungan tidak menguntungkan
yang mengitarinya dan adanya faktor-faktor yang lain lagi.
Apabila kita secara agak seksama menyelidiki apakah
yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan kekeliuran, maka pada
umumnya,kita menampakkan kesalahan tersebut kepada nafsu, namun kita tetap
takut menerapkan peribahasa memahami segalanya berarti memanfaatkan segalanya
dan dengan demikian menyatakan bahwa manusia tidak bebas. Sebab,dengan
melakukan yang demikian berarti kita melepaskan tanggung jawab dan kemanusiaannya,karena tanggung
jawab dan kebebasan justru termasuk hakekat kemanusiaan.
Sesungguhnya manusia yang satu bertanggung jawab
terhadap manusia yang lain,belum lagi dalam babak terakhir bertanggung jawab
kepada yang di manusiawi. Hal ini juga membawa akibat bahwa kesusilaan
mengandung pandangan tertentu tentang manusia dan akhirnya didasarkan atas
pandangan tersebut,yaitu suatu pandangan yang melihat manusia sebagai pribadi dalam
arti tersebut.di atas di dalam suatu dunia yang tidak bersifat pribadi tiada
tempat bagi kesusilaan.
Berhubungan dengan itu,kita mengetahui motif-motif
yang mendasari perbuatan seseorang, maka kita dapat mengetahui sebelumnya.
Perbuatan yang bagaimanakah akan di lakukannya.
Manusia di kuatkan bebas, apabila ia dalam arti
lebih tinggi yaitu terikat pada norma-norma. Begitu pula apa yang di katakan
orang bahwa manusia di takdirkan untuk bebas. Manusia bebas untuk menerima atau
tidak menerima norma. Norma tidak memaksanya, norma memberikan kebebasan
kepadanya. Manusia dapat memutuskan untuk tunduk kepada norma,ia dapat
memutuskan untuk memberikan dirinya di gerakkan oleh kecenderungan alaminya.
Kita dapat pendirian,ada kebebasan yang dipunyai oleh aku/oleh pribadi yang
berarti, aku/pribadi tidak semata-mata di gerakkan oleh motif-motif. Manusia
dapat memberikan pengutamaan kepada norma-norma tertentu dibanding norma-norma
yang lain; bahkan ia dapat melepaskan diri dari kekuasaan norma.
Manusia mudah membiarkan perilakunya ditentukan oleh
pertimbangan-pertimbangan yang semata-mata bersifat pamrih, artinya ia menetapi
situasi hanya dengan pertanyaan tentang faktor-faktor yang dapat ditunjuk
secara nyata serta empirik manakah yang berpengaruh terhadap situasii tersebut.
2.
Tanggung
Jawab
Manusia yang hidup sebagai makhluk sosial, tidak
bisa bebas, dan terhadap semua tindakannya ia harus bertanggung jawab.
Persoalan “tanggung jawab” Allah berfirman dalam surat Al-Qiyamah: 36 ”Apakah
manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (dalam tindakannya)”. Ayat
ini menjelaskan bahwa manusia di jadikan Allah tidak percuma begitu saja. Mereka dibekali dengan berbagai
alat yang lebih sempurna dari pada makhluk lainnya. Tindakan dan sikap lakunya
akan diadakan perhitungan,baik dan buruk besar atu kecil. Maka manusia tidak
boleh berbuat dengan semau hati,pikiran dan perasaan.
Secara tersirat,ayat di atas menghimbau hati nurani
manusia bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
Pertanggung jawaban tertuju kepada segala
perbuatan,tindakan,sikap,hidup,sebagai pribadi anggota,keluarga rumah
tangga,masyarakat, negara, manusia mempunyai tanggung jawab baik terhadap
tuhannyamaupun manusia sesamanya. Nabi Muhammad SAW. Sebagai teladan selalu
memperlihatkan dalam keseluruhan hidup beliau mendidik para sahabat bagaimana
bertanggung jawab dalam alamiah dan tindakan. Tanggung jawab manusia mencakup
semua aspek kehidupan baik politik, kenegaraan, ubudiyah, ekonomi, sosial,
kebudayaan, dan ilmiah. Nabi Saw. Sebagai teladan tanngung jawab dalam
pergaulan sehari-hari di rumah tangga terhadap istri dan anak, di medan perang,
di masjid,kemasyarakatan dan kenegaraan.
Apabila di perhatikan, tanggung jawab di tegaskan
adalah untuk mempertahankan keadilan,keamanan dan kemakmuran. Maka kemampuan
seseorang bertanggung jawab dalam segala tindakan merupakan salah satu diantara
kelebihan manusia. Apabila pertanggung jawaban didalam kehidupan tidak di
utamakan atau tidak di perdulikan maka harga dirinya pun akan jatuh. Manusia adalah
makhluk mukallaf dengan maksud bahwa manusia diberikan beban atau tugas oleh
Allah dalam berbagai bidang yang akan di mintai pula pertanggung jawabannya.
Kerawanan pada manusia sekarang adalah kegelisahan kegoncangan dan kedzaliman
karena sikap banyak yang meremehkan tanggung jawab yang sebenarnya jika hati
nurani.
3.
Hati
Nurani
Di dalam jiwa manusia di rasakan ada suatu kekuatan
yang berfungsi untuk memperingatkan, mencegah dari perbuatan yang buruk atau
sebaliknya kekuatan tersebut mendorong terhadap perbuatan yang baik. Ada
perasaan tidak senang apabila sedang mengerjakan sesuatu karena tidak tunduk
kepada perbuatan. Apabila telah menyelesaikan perbuatan jelek,mulailah kekuatan
tersebut memarahinya dan merasa menyesal atas perbuatan itu.
Kondisi perasaan yang lain bahwa kekuatan tersebut
memerintahkan agar melakukan kewajiban. Kemudian mendorong untuk melangsungkan
perbuatannya. Dan setelah selesai,dia merasakan lapang dada dan gembira.
Gambaran keadaan jiwa di atas,menunjukkan bahwa
manusia di dalamnya ada “HATI NURANI”. Ia merupakan kekuatan yang
mendahului,mengiringi dan menyusui pada perbuatan.
Adapun fungsi kekuatan hati nurani dapat di sebutkan
bahwa :
a) Apabila
kekuatan mengiringi suatu perbuatan,akan memberi petunjuk dan menakuti dari
kemaksiatan.
b) Apabila
kekuatan mengiringi suatu perbuatan, akan mendorongnya untuk menyempurnakan
perbuatan yang baik dan menahan dari perbuatan yang buruk.
c) Apabila
kekuatan menyusul setelah perbuatan,akan merasa gembira dan senang apabila
melakukan perbuatan yang ditaati namun akan merasa sakit dan pedih waktu
melanngar,perbuatan jelek.
Hati
nurani yang kita rasakan timbul dari hati kita, perintah kepada kita supaya
melakukan kewajiban dan memperingatkan kita agar jangan sampai menyalahinya.
Walaupun kita tidak mengharap-harap balasan atau takut siksaan.
Hati
nurani memerintahkan agar menetapi kewajiban,bukan karena balasan dan siksaan
kecuali ganjaran dirinya merasa gembira dan siksaan dirinya karena merasa
tercela dan menyesal. Hidup seseorang dalam masyarakat menyadari akan adanya
tanggung jawab maka ia akan suka bergaul,suka berbuat apa yang disukai
masyarakat,dan menjahui dari apa yang menyalahinya.
Perbedaan antara hati nurani yang
satu dengan yang lain.
Kita
mengerti bahwa hati nurani berbeda-beda. Perbedaanya agak besar di antara
bangsa-bangsa yang telah maju sekalipun. Bangsa-bangsa itu di dalam melakukan
kebaikan dan keburukan dan diikutinya perbedaan mereka dalam hati nurani
masing-masing.
Manusia
berbeda hati nurani karena perbedaan waktunya. Terkadang ia menyaksikan sesuatu
yang baik di dalam suatu waktu sehinnga bila meningkat pikirannya ia melihatnya
buruk,dan begitu sebaliknya. Dengan demikian bahwa hati nurani itu tidak selalu
benar. Kadang ia dalam menunjukkan kekuatan,kemudian memerintahkan kepada kita apa
yang tidak benar dan tidak wajib.
Hati
nurani dapat tumbuh melalui pendidikan. Hati nurani dapat lemah,karena di
tengahkan. Apabila keadaan hati nurani, memerintah dengan perbuatan dan kita
tolak, terasalah akan tusukan yang keras,kepedihan dan dapat meracuni hati
nurani.
Menurut
Prof. Dr. Ahmad Amin, bahwa hati nurani (suara hati) mempunyai tiga tingkatan :
a) Perasaan
melakukan kewajiban karena takut kepada manusia.
b) Perasaan
mengharuskanmengikutinya apa yang harus di perintahkan.
c) Tidak
sampai kepada tingkatan ini kecuali orang-orang besar dan para pemimpin ulung.
Yaitu rasa seharusnya mengikuti apa yang di pandang benar oleh dirinya,berbeda
dengan pendapatan orang atau mencocokinya, menyalahi undang-undang yang
terkenal di antara manusia tau mencocokinya.
Dan sebenarnya manusia mau menunaikan
kewajiban dan melakukan perbuatan,yang mendorong adalah hati nurani yang
tertanam dalam watak dan jiwanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kelompok
kami bahwa Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya
terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga
bisa benar. Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat. Pengetahuan adalah
hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji
secara ilmiah dan kebenarannya jelas. Akal dan wahyu digunakan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Antara akal dan wahyu terdapat
ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat
ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan
berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan
untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah
terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan
wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan
yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
DAFTAR PUSTAKA
Syatori, M. Ilmu
Akhlak. Bandung:Lisan. 1987.
Isutzu, Toshihiko. Konsep-konsep Etika Religius dalam
Al-Qur’an,Terj. Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid Fi Al-Lugah Wa Al-‘Alam.
Beirut: Al-Maktabah Asy-Syarqiyyah. 2005.
W.J.S.Poerwadarminta.
Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: 1985.
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam. Bandung : Diponegoro. 1993.
Huda, Miftachul. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial :
Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009.
Mustofa, Ahmad. Akhlak Tassawuf. Bandung: CV Pustaka
Setia. 2014.
http://harkaman01.wordpress.com/2013/04/08/teologi-jabariyah-dan-qadariyah/
[1]
http://penaraka.blogspot.co.id/2012/12/akal-dan-wahyu-dalam-islam.html
[2] http://cgeduntuksemua.blogspot.co.id/2012/03/makalah-konsep-akal-dan-wahyu-dalam.html
[3] Ibid
[4] Ibid
[6] M.Syatori, Ilmu Akhlak,
Bandung:Lisan,1987,hlm. 38-39
[7] Ibid.,hlm. 38
[8] Ibid.,hlm. 39
[9] Toshihiko Isutzu,Konsep-konsep
Etika Religius dalam Al-Qur’an,Terj. Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003,hlm .245
[10] Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi
Al-Lugah Wa Al-‘Alam, Beirut: Al-Maktabah Asy-Syarqiyyah, 2005, hlm. 201.
[11] Ibid.,hlm. 379
[12] W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta: 1985, hlm. 76.
[13] Ibid., hlm 171.
[14] Hamzah Ya’qub,Etika Islam,
Bandung : Diponegoro,1993, hlm.43.
[15] Miftachul Huda, Pekerjaan
Sosial dan Kesejahteraan Sosial : Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2009,hlm. 145-146
[16] ibid., hlm.46-47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar