MAKALAH
Prinsip-Pinsip Etika Bisnis Islam dan Sumber-Sumber
Ajaran Islam
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Abdurrahman S.Ag., M.Hi
Disusun oleh
Noer Faizah (150721100044)
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
Siti Roibah (150721100098)
Anisa Putri Nur K. (150721100115)
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Prinsip-Pinsip Etika Bisnis Islam dan Sumber-Sumber
Ajaran Islam” ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu
tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam mata kuliah
Etika Bisnis Islam.
Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan
dan ilmu tambahan bagi para pembaca khususnya dalam bidang ekonomi.
Dengan selesainya makalah ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada
kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Abdurrahman S.Ag.,
M.Hi selaku
Dosen mata kuliah Etika Bisnis Islam dan terima kasih kepada teman – teman yang
membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya,
mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Bangkalan,
22 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Upaya Membangun Bisinis yang Sesuai
dengan al-Qur’an............................ 2
2.2 Sumber Ajaran Islam yang Disepakati............................................................ 5
2.3 Dalil-Dalil yang
Diperselisihkan...................................................................... 8
2.4 Ijtihad, Pengertian, dan
Syaratnya.................................................................. 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etika bisinis
merupakan ilmu yang dibutuhkan banyak pihak tetapi masih bersifat problematis
dari sisi metodologis. al-Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan
nilai-nilai prinsipil untuk mengenlai perilaku-perilaku yang bertentangn dengan
nilai-nilai al-Qur’an.
Ketika ayat-ayat
al-Qur’an dihubungkan dengna pengertian hakikat bisnis, dapat diambil
kesimpulan bahwa salah satu landasan praktek mal bisinis adalah setiap praktek
bisinis yang mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit
maupun banyak, tersembunyi maupunn terang-terangan dapat menimbulkan kerugian
secara material maupun in materi baik bagi si pelaku, pihak lain maupun
masayrakat.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana upaya membangun bisinis yang
sesuai dengan al-Qur’an?
b.
Bagaimana sumber ajaran Islam yang disepakati?
c.
Bagaimana dalil-dalil yang diperselisihkan?
d.
Bagaimana ijtihad, pengertian, dan syaratnya?
1.3 Tujuan Masalah
a.
Mengetahui bagaimana upaya membangun
bisnis yang sesuai dengan al-Qur’an.
b.
Mengetahui sumber ajaran Islam yang
disepakati.
c.
Mengetahui bagaimana dalil-dalail yang
diperselisihkan.
d.
Mengetahui bagaimana ijtihad,
pengertian, dan syaratnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip-Prinsip Etika Bisnis
Islam
2.1.1
Upaya Membangun Bisnis yang Sesuai Dengan al-Qur’an
Selama
ini dalam pemikiran
kita telah didominasi oleh pandangan hidup materialisme pada satu sisi dan
pandanganketerpisahan antara kehidupan dunia dan kehidupan agama. Kedua sisi
ini harus didasari telah membenamkan kesadaran kita kepada keyakinan bahwa
bisnis merupakan aktivitas dunia yang hanya diperuntukanbagi pemenuhan
kebutuhan hidup yang bersifat jasmaniah semata. Karena itu upaya mewujudkan
etika bisnis untuk membangun bisnis yang sesuai dengan al-Qur’an dapat
dilakukan beberapa hal, pertama,
suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Pandangan bahwa etika bisnis
sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakan struktur fundamental
sebagai perubahan terhadap anggapan dan pemahaman tentang kesadaran sistem
bisnis amoral yang telah memasyarakat. Bisnis dalam al-Qur’an disebut sebagai
aktifitas yang bersifat material sekaligus inmaterial. Sehingga suatu bisnis
dapat disebut bernilai, apabila kedua tujuannya yaitu pemenuhan kebutuhan
material dan spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan pandangan
kesatuan bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika suatu bisnis
bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang,
tidak mengandung kebatilan, kerusakan, dan kezalima. Akan tetapimengandung
nilai kesatuan, keseimbangan, kehendak bebas, pertanggung jawaban, kebenaran, kebajikan, dan
kejujuran.[1]
Dengan
demikian etika bisnis dapat dilaksanakan oleh siapapun. Kedua, yang patut dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan etika
bisnis untuk membangun tatanan bisnis yang Islami yaitu diperlukan suatu cara
pandang baru dalam melakukan kajian-kajian keilmuan tentang bisnis dan ekonomi
yang lebih berpijak pada paradigma pendekatan normatifetik sekaligus empirik
indiktuf yang mengedepankan panggalian dan pengembangan nilai-nilai al-Qur’an,
agar dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat. Atau
dalam kategori pengembangan ilmupengetahuan modern harus dikembangkan dalam
pola pikir abductive pluralistic.
Dengan pola pikir ini pengembangan ilmu-ilmu keislaman akan menjadi tajam dan
proaktif terhadappersoalan-persoalan kontemporer dan dapat mentransformasikan norma-norma
dan nilai-nilai agama kedalam bingkai keilmuan sebagai cultural forse.
Perwujudan lima prinsip (aksioma) dalam ilmu ekonomi
Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah demi terciptanya bisnis yang
sesuai al-Qur’an adalah sebagai berikut:[2]
1.
Unity/ kesatuan
Merupakan refleksi
konsep tauhid yang memadukan seluruh aspek kehidupan baik ekonomi, sosial,
politik budaya menjadi keseluruhan yang homogen, konsisten, dan teratur. Adanya
dimensi vertikal (manusia dengan penciptanya) dan horizontal (sesama manusia)
prakteknya dalam bisnis:
a.
Tidak
ada diskriminasi baik terhadap pekerja, penjual, pembeli, serta mitra
kerja misalnya (QS. 49:13).
b.
Terpaksa
atau dipaksa untuk menaati Allah SWT (QS. 6:163).
c.
Meninggalkan
perbuatan yang tidak beretika dan mendorong setiap individu untukbersikap
amanah karena kekayaan yang ada merupakan amanah Allah (QS. 18:46).
d.
Melakukan
ritual-ritual untuk mempermudah rezeki seperti sholat dhuha, sholat
tahajud,shodaqah, dzikir dan lain-lain.
2.
Keseimbangan
atau kesejajaran (Equilibirium)
Merupakan konsep yang
menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan
pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi
dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan
dengan prinsip dasar diciptakannya manusia sebagai khalifah di bumi. Sehingga
kehendak bebas itu harus sejalan dengan
kemaslahatan kepentingan individu lebih lagi kepentingan umat. Keseimbangan,
kebersamaan, dan kemoderatan meupakan prinsip etis yang harus diterapkan dalam
aktivitas maupun entitas bisnis (QS. 2:195; QS. 25:67-68, 72-73; QS. 17:35; QS.
54:49; QS. 25:67). Prakteknya dalam bisnis:[3]
a.
Tidak
ada kecurangan dalam takaran dan timbangan.
b.
Penentuan
harga berdasarkan mekanisme pasar yang normal.
3.
Tanggung
jawab (Responsibility)
Tanggung jawab terkait erat
dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan
dan juga tanggung jawab kepada manusiasebagai masyarakat. Karena manusia hidup
tidak sendiri dia tidak terlepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu
sendiri komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi
tanggung jawab kepada manusia didapat di dunia berupa hukum-hukum formal maupun
hukum nonformal seperti sanksi moral dan lain sebagainya. Prinsip pertanggung
jawaban menurut Sayid Quthb adalah tanggung jawabyang seimbang dalam segala
bentuk dan ruanglingkupnya, antara jiwa dan raga, antara orang dan keluarga,
antara individu dan masyarakat serta antara masyarakat satu dengan masyarakat
lainnya. Aplikasi dalam bisnis:[4]
a.
Upah
harus disesuaikan dengan UMR (upah minimum regional).
b.
Economic return
bagi pemberi pinjaman modal harus
dihitung berdasarkan perolehan keuntungan yang tidak dapat dipastikan
jumlahnya dan tidak bisa ditetapkan terlebih
dahulu seperti dalam sistem bunga.
c.
Islam
melarang semua transaksi alegotoris seperti gharar,
sistem ijon, dan sebagainya.
4.
Kebebasan
Merupakan bagian penting
dalam nilai etika bisnis Islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.
Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapat bagi seseorang
mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk aktif berkarya dan
bekerja memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan
adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, ifaq,
dan sedekah. Aplikasinya dalam bisnis:[5]
a.
Konsep
kebebasan dalam Islam lebih mengarah pada kerja sama, bukan persaingan apalagi
sampai mematikan usaha satu sama lain. Kalaupun ada persaingan dalam usaha
maka, itu berarti persaingan dalam
berbuat kebaikan atau fastabiq al-khairat
(berlomba-lomba dalam kebajikan).
b.
Menepati
kotrak, baik kontrak kerja sama bisnis maupun kontrak kerja engan pekerja.
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji” (QS. 5:1).
5.
Benevolence
(kebenaran)
Kebenaran disini juga meliputi kebajikan dan
kejujuran. Maksud dari kebenaran adalah niat, sikap dan perilaku benar dalam melakukan
berbagai proses baik peoses transaksi maupun proses memperoleh komoditas,
proses pengembangan produk, maupun proses perolehan keuntungan.
Selain itu, etika perusahaan bisa
diimplementasikan melalui budaya perusahaan, tata kelola perusahan (Good Corporate Govrnance), manual kode
etika perilaku corporate (Corporate Code
of Conduct), dan tanggung jawab sosial perusahaan pada masyarakat (Corporate Social Responsibility) yang
sesuai dengan prespektif al-Qur’an.[6]
2.2 Sumber-Sumber Ajaran Islam
2.2.1
Sumber Ajaran Islam Yang Disepakati
1.
Al-Qur’an
Secara bahasa al-Qur’an berarti bacaan atau apa yang
tertulis. Secara istilah artinya adalah “kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah. Terdapat dalam
mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nash.”[7]
Berdasarkan pengertian di atas dapat dijabarkan beberapa
ciri khas dari al-Qur’an seperti berikut ini:
a.
al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW.
b.
al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
c.
al-Qur’an dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir
sehingga kemurniannya terjamin hingga hari akhir.
d.
Membaca ayat al-Qur’an merupakan ibadah dan mendapat ganjaran pahala.
e.
Dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nash.
Keberadaan al-Qur’an sebagai sumber ajaran atau sumber
hukum mengandung pengertian bahwa al-Qur’an memuat nilai-nilai Ilahiyah yang
dapat dijadikan sebagai sumber motivasi, arahan dan penuntun dalam menjalani
kehidupan di dunia.[8]
Dengan al-Qur’an, manusia akan mendapat pencerahan
(hudan) agar mampu memecahkan segala problematika kehidupannya, karena
permasalahan hidup itu tidaklah tunggal, namun jamak, tanpa kecuali persoalan ekonomi
yang seringkali menimbulkan prahara kemanusiaan.[9]
Dalam ekonomi Islam yang merupakan penerapan dari ajaran
al-Qur’an setiap manusia dibebaskan untuk melakukan transaksi ekonomi termasuk
bisnis. Bentuk dari bisnis yang dikelolan tidaklah dibatasi namun ada beberapa
hal yang dibatasi dalam Islam adalah cara perolehan dan pendayaan dananya. Dalam
arti, pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syariat
(aturan-aturan dalam al-Qur’an dan al-Hadist).[10]
Sebagai contoh adalah ayat yang menerangkan ekonomi
dimana ayat ini membedakan antara yang namanya riba dengan jual beli, meski
keduanya mengandung unsur keuntungan namun berbeda dalam hal etika yang
dijalankan. Berikut adalah ayat yang telah dijelaskan tersebut:
وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“.... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba ....”
2.
Sunnah
Secara bahasa sunnah artinya jalan yang bisa
dilalui atau cara yang senantiasa dilakukan. Secara istilah sunnah
berarti segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan.[11]
Macam dari sunnah ada tiga, yakni sunnah qauliyah (perkataan), sunnah
fi’liyah (perbuatan), sunnah taqriyiyah (ketetapan/persutujuan).
Al-Qur’an dan sunnah merupakan dua hukum Islam yang saling terikat, oleh karena
berikut adalah fungsi sunnah terhadap al-Qur’an:
a.
Bayanu tafsili (merinci)
b.
Bayanu tafsir (menafsirkan)
c.
Bayanu ta’kid (menguatkan)
d.
Bayanu tasyri’ (membuat syariat)
Sebagai sumber pokok yang asasi, al-Qur’an dan Sunnah
jelas tidak bisa dipisahkan. Terlebih lagi karena karakteristik al-Qur’an yang
bersifat global sehingga tidak jarang masih membutuhkan penafsiran yang lebih
detail dari sunnah Rasullullah SAW.[12]
Oleh karena itu untuk menggali suatu hukum juga
diperlukan pengkajian terhadap hadist yang ada bukan hanya berasal dari ayat
al-Qur’an.
3.
Ijma’
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan, sementara
itu secara istilah artinya kesepakatan mujtahid pada suatu masa. Adapun
syarat dari ijma’ dalah sebagai berikut:
a.
Yang melakukan ijma’ adalah mujtahid yang berada pada suatu
masa tertentu.
b.
Kesepakatan yang terjadi, harus
diawali dengan mengemukakan argumentasi oleh masing-masing mujtahid.
c.
Hukum yang disepakati adalah hukum syara’ yang tidak ada
penjelasannya secara rinci dalam al-Qur’an dan hadist.
d.
Sandaran hukum ijma’ haruslah al-Qur’an dan ijma’.[13]
4.
Qiyas
Secara bahasa artinya, berarti ukuran.[14]
Secara istilah artinya menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan nash nya
dengan sesuatiu yang disebutkan hukumnya dalam nash disebabkan kesamaan illat
pada keduanya.[15]
Dari penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa qiyas
adalah menyamakan suatu peristiwa berdasarkan illatnya dengan peristiwa yang
serupa.
2.2.2
Dalil-Dalil Yang Diperselisihkan
1.
Maslahat
Maslahat
al- mursalah didefinisikan sebagai bentuk kemaslahatan yang tidak didukunh
syara’ dan tidak pula ditolak/
diabtalkan syara’ melalui dalil yang rinci. Maslahat berarti meraih manfaat dan
menolak mafsadat (kerusakan). Dan
ini merupakan tujuan syari’at Islam (maqasid al-syari’ah).maslahat,
sampai-sampai Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang ahli hukum Islam menyatakan,
“ dimana saja terdapat “kemaslahatan” disanalah syari’at Allah”.
Maslahat
secara istilah adalah dalil hukum yang mempersilisihkan. Kendati demikian
keberadaannya tetap penting untuk menjawab persoalan kontemporer. Dalam menetapkan hukun terhadap
suatu persoalan yang muncul ukuran yang digunakan adalah seberapa jauh
persoalan tersebut menimbulkan maslahat dan menghindarkan mudharat yang timbul
di masyarakat. Tentu analisa yang digunakan dengan menggunakan pemikiran yang
rasional dan jernih. Apabila ditemukan bahwa dampak yang ditimbulkannya adalah
kemaslahatan, maka hal tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya jika yang muncul
dalah kemudharatan, maka harus ditolak.
Contohnya,
dalam al-Qur’an dan Hadist tidak ditemukan satu ayat baik yang eksplisit maupun
implicit tentang perintah mendirikan Bank Islam. Tidak juga ditemukan
dalili-dalil yang melarang pendiriannya. Namun setelah dikaji, pendirian Bank
Islam merupakan satu kemestian untuk pemberdayaan ekonomi ummat Islam serta
menghindarkan umat dari jeratan Bank konvensional yang menggunakan system bunga
yang eksploitatif. Karena dampaknya adalah kemaslahatan, maka pendirian Bank
Islam diperbolehkan bahkan menjadi suatu kemestian.[16]
Jumhur
ulama kaum muslimin berpendapat bahwa maslahah al-Mursalah adalah hujjah
syara’ yang dipakai landasan penetapan hukum. Kejadian yang yang tidak ada
hukumny dalam nash, ijma’ qiyas atau istihsan, maka ditetapkan hukum yang
dituntut oleh kemaslahatan umum. Dan penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan
ini tergantung apda adnya saksi syara’ dengan anggapannya.
Alasan mereka dalam hal
ini ada dua, yaitu: Pertama, kemaslahatan umat manusia itu selalu baru
dan tidak ada habisnya. Maka jika seandainya hukum tidak ditetapkan sesuai
dengan kemaslahatan manusia yang baru, sesuai dengan perkembangan mereka dan
penetapan hukum itu hanya berdasarkan hukum syar’i saja, maka bnyak
kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi
pembentukan hukum tidak memperhatikan perkembangan dan kemaslahatan manusia.
Hal ini tidak sesuai, karena tujuan penetapan hukum antara lain merupakan
kemaslahatan umat manusia. Kedua, orang yang akan meneliti penetpan
hukum yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, thabi’in dan imam-imam mujtahid
akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan
kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap oleh syar’i.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa kemaslahatan umum
tidak menjadi dasar penetapan hukum, meskipun tidak ada saksi syara’ yang
menyatakan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Mereka menggunakan dua alas
an, yaitu:
Pertama, syari’at
itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik dengan nash-nashnya
maupun deengan apa yang ditunjukkan oleh qiyas. Karena syar’i tidak akan
membiarkan manusia dalam kesi-siaan dan tidak membirkan kemaslahatan yang
manapun tanpa ada saksi dari syar’i yang menunjukkan anggapannya. Sedangkan
kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syara’ yang menunjukkan anggapannya,
pada hakikatnya dalah bukan kemaslahatan, melainkan kemaslahatan semu yang
tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.[17]
2.
Urf
Al-Urf
adalah apa yang dikenal oleh manusia dan
menjadi tradisinya, baik dari ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan
disebut juga sebagai adat. Menurut istilah ahli syara’ tidak ada perbedaan
antara urf dan adat. Adat
perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar
secra langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia
menyebut al-walad secara mutlak
sebagai anak laki-laki, dan kebiasaan mereka untuk tidak mengucapakan daging
sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derjat mereka,
secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’ yang terbentuk dari
kesepakatan para mujtahid.
Al-Urf ada dua macam, yaitu shahih
dan fasid. Urf Shahih adalah kebiasaan yang dilakukan
manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram
dan tidak membtalkan kewajiban. Sedangkan Al-Urf fasid adalah kebiasaan yang dilakukan
oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalakan yang haram dan
membatalkan kewajiban. Adat yang shahih
wajib diperhatiak dalam pembentukan hukum syara’ dan putusan perkara. Seorang
mujtahid harus memperhatikan hal ini
dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim harus memperhatiakan hal itu dalam
setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh mnusia
adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakaati dan ada kemaslahatannya.
Oleh karena itu, para ulama berkata; adat adlah syari’at
yang dikuatkan sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara’. Imam
malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Abu
Hanifah dan paraa muridnya berbeda dalam menentukan hukum, tergantung pada dat
mereka. Imam Syafi’I ketika berda di Mesir, mengubah sebagian hukum yang
ditetapkan ketika beliau berda di Baghdad karena perbedaan adat. Oleh karena itu beliau mempunyai dua pendapat, yaitu
pendapat baru dan pendapat lama.
Al-‘Allamah al- Marhum Ibnu Abidin menyusun sebuah kitab
yang diberi nama Nashyrul ‘Arafi FIIma Buniya minal Ahkaaami ‘Alal ‘Urfi (semerbak
bau harum dalam huku-hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan). Dalam sebuah
kata bujak dikenal istilah :
الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَا الْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
وَالثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ
‘’ yang dikenal
menurut kebiasaan seperti halnya ditetapkan dalam suarat yang ditatapkan
menurut syarat seperti ditetapkan menurut nash‘’.
Hukum yang
didasarkan pada akad akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena
masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam
hal perbedaan pendapat ini para ulama’ fikih berkata : Prbedaan itu adalah
pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.
Kebiasaan secara hakiki bukanlah merupakan dalail syara’
yang tersendiri. Pada umumnya ia termasuk
memperhatikan kemaslahatan umum. Yakni bagai mana adat diperhatikan dalam
penetapan hukum syara’ maka diperhatikan pula dalam penafsiran nash, mentakhsis
yang umum dan membatasi yang mutlak. Dan kadang-kadang qiyas ditinggalkan demi
adat. Maka hukumnya sah akad meminta pekerjaan karena berlaku menurut adat.[18]
Sebagai contoh, dalam fiqih Syafi’i salah satu rukun jual
beli adalah ijab dan Kabul dimana si pembeli mengatakan “ saya beli” dan
penjual menjawab “saya jual’. Rukun ini digunakan
untuk mengukur sah tidaknya akad jual beli. Namun. di Indonesia, hal ini tidak
begitu lazim digunakan. Praktek jual beli masyarkat sejak dahulu tidak melalui
ijab dan Kabul dan ternyata tdak ada keburukan yang ditimbulkannya. Karena
sudah merupakan tradisi, maka jual beli tanpa ijab Kabul tetap dipandang sah.
2.2.3
Ijtihad, Pengertian, Dan Syaratnya
1.
Pengertian
Ijtihad
Bagaimanapun pentingnya kedudukan Al-Qur’an dan hadis ,
namun keduanya memiliki “keterbatasan” maksudnya segala permasalahan baru yang muncul dalam kehidupan umat yang dipicu
oleh perkembangan IPTEK, tidak dapat langsung dicarikan jawabannya dari kedua
sumber tersebut, walaupun mungkin pesan dasarnya tercantum dalam Al-Qur’an dan
Hadis. Pesan-pesan inilah yang akan digali
dengan metode tertentu sehingga menghasilkan hukum. Upaya menggali pesan-pesan
tersebut dinamai dengan Ijtihad.
Ijtihad
diambil dari kata al-juh yang berarti upaya sunggguh sungguh. Secara
etimologis, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan intelektual secra maksimalnun
untuk menemukan hukum syara”. Orang yang melakukannya disebut dengan Mujtahid.
Ijtihad bukanlah satu pekerjaan mudah, untuk dapat
melakukannya diperlukan beberapa syarat, Mengenai bahasa.
Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al-‘Urf wa al-adah fi Ra”yi
al-Fuqaha”( Mesir: dan al-arab dengan seluk beluknya, mengetahui Sunnah Rasul
dengan segala ilmu-ilmu yang terkait dengannya, memahami qiyas, ijmak”dan
Metode lainnya.
Karena permasalahan yang berkembang semakin kompleks dan
berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang
Mujtahid harus juga memahami dengan baik masalah yang sedang dihadapi.
Mengingat
beberapa persyaratan ijtihad, sangat kecil kemungkinan syarat –sayrat tersebut
dapat dipenuhi seseorang. Itulah sebabnya ijtihad fardiyah tidak mungkin lagi dilakukan
sekarang. Yang paling mungkin adalah ijtihad jama’I “ (ijtihad kolektif) dimana masing-masing ahli duduk bersama-sama
memecahkan satu persoalan dan mencari jawaban hukumanya.
Ijtihad
semakin penting untuk saat ini disebabkan satu kenyataan bahwa masyarakat
senantiasa mengalami perubahan. Mayarakat itu dapat berupa perubahan tatanan
sosial, budaya, sosial politik, ekonomi dan lain-lain.
Dalam
bidang kedokteran, muncul masalah-masalah baru seperti genetika. Dalam bidang
ekonomi muncul lembaga-lembaga perbankan yang menawarka berbagai macam produk,
lembaga asuransi dengan segala permasalahan, yang harus segera dicarikan
jawaban hukumnya.
Tentulah
hal-hal diatas tidak dapat dijawab oleh seorang ulama yang hanya menguasai
ilmu-ilmu islam saja. Untuk memecahkan persoalan yang berkaitan dengan
kedokteran, diperlukan ahli dibidang kedokteran yang dapat menjelaska rekayasa
genetika. Untuk menjawab persoalan ekonomi, diperlukan pakar ekonomi dsb.
Inilah yang disebut dengan ijtihad kolektif.
Dalam kerangka menjawab persoalan kontemporer dapat
dilakukan dengan dua bentuk ijtihad, yaitu : ijtihad Intiqo’i (ijtihad tarjihi)
dan ijtihad Insya”i. Ijtihad Intiqo”I adalah ijtihad yang dilakukan sekelompok
orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-masalah
tertentu. Asumsinya, mungkin masalah yang muncul
hari ini memiliki kemiripan dengan masalah yang muncul pada masa lalu. Tugas
para mujtahid hanyalah memilih diantara pendapat-pendapat ahli fiqih sehingga
ditemukan pendapat yang lebih rajah (kuat) dan relevan dengan masalah-masalah
yang ada. Sebagai contoh dalam masalah hukum bunga bank?. Menyikapi masalah ini
para ulama dapat dapat merujuk pendapat ulama masa lalu yang berbicara tentang
riba. Jika ditemukan persamaan ilat (ratio legis) maka dapat ditempuh dengan
metode Qiyas. Jadilah hukum bunga bank sama dengan riba.
Sedangkan Ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan
kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang jawabannya tidak
ditemukan pada masa lalu. Sebagai contoh dapat dilihat hukum tentang reksadana
Syari’ah. Masalah reksadana syari’ah adalah masalah baru yang tidak ada
rujukannya dalam kitab-kitab fikih. Untuk menjawabnya digunakanlah Ijtihad
baru. Disinilah diperlukan pemahaman yang utuh terhadap kasus baru dengan
meminta penjelasan dari ahlinya dan ketetapan dalam menggunakan metode Ijtihad.
Selanjutnya barulah ditetapkan hukumannya. [19]
2.
Syarat-Syarat
Ijtihad
a)
Berpengetahuan
luas tentang Al-Qur’an dan Ulumul-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qu’an) serta segala yang
tekait, dalam intelektual maupun spiritual, cerdas dalam masalah hukum
b)
Memiliki
ilmu yang cukup dalam mengenai ilmu hadis, terutama soal hukum , sejarah ,
maksud keterkaitan hadis itu dengan nas-nas Al-Qur’an.
c)
Menguasai
masalah-masalah atau materi dari pokok
yang hukumnya telah sepakati oleh ijmak sahabat dan ulama Salaf (dua generasi
setelah para sahabat Rasulallah).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Upaya mewujudkan etika
bisnis untuk membangun bisnis yang sesuai dengan al-Qur’an dapat dilakukan
beberapa hal, pertama, suatu
rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Pandangan bahwa etika bisnis
sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakan struktur fundamental
sebagai perubahan terhadap anggapan dan pemahaman tentang kesadaran sistem
bisnis amoral yang telah memasyarakat.
Bisnis
dalam al-Qur’an disebut sebagai aktifitas yang bersifat material sekaligus
inmaterial. Sehingga suatu bisnis dapat disebut bernilai, apabila kedua
tujuannya yaitu pemenuhan kebutuhan material dan spiritual telah dapat
terpenuhi secara seimbang. Dengan pandangan kesatuan bisnis dan etika,
pemahaman atas prinsip-prinsip etika suatu bisnis bernilai, apabila memenuhi
kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak mengandung kebatilan,
kerusakan, dan kezalima. Akan tetapimengandung nilai kesatuan, keseimbangan,
kehendak bebas, pertanggung jawaban, kebenaran, kebajikan, dan
kejujuran.
DAFTAR PUSTAKA
Dja’far, Muhammad. 2007. Agama, Etika, Dan Ekonomi; Wacana Menuju
Ekonomi Rabbaniyah. Malang: UIN Malang Press.
Kementrian
Agama Indonesia.2010. Mushaf Aisyah. Bandung: Jabal Raudhatul Jannah.
Rivai, Veithzal, dkk. 2012. Islamic Businnes And Economic Ethic;Mengacu
Pada Al-Qur’an Dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW Dalam Bisnis, Keuangan, Dan
Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara.
Rohman, Abdur. Buku Ajar; Etika Bisnis Islam.
Wahhab Khallaf, Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam.
Jakarta: Pustaka Amani.
Warson Munawwir, Ahmad. 1997. Al Munawwir; Kamus Arab – Indonesia.
Surabaya: Pustaka Proggessif.
[9] Muhammad
Dja’far, Agama, Etika, Dan Ekonomi; Wacana Menuju Ekonomi Rabbaniyah,
(Malang: UIN Malang Press, 2007), 169.
[10] Veithzal
Rivai, Amiur Nuruddin,Dan Faisar Ananda Arfa, Islamic Businnes And Economic
Ethic;Mengacu Pada Al-Qur’an Dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW Dalam Bisnis,
Keuangan, Dan Ekonomi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 13.
[14] Ahmad Warson
Munawwir, Al Munawwir; Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Proggessif, 1997), 870.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar