Kamis, 13 September 2018

MAKALAH Prinsip-Pinsip Etika Bisnis Islam dan Sumber-Sumber Ajaran Islam



MAKALAH

Prinsip-Pinsip Etika Bisnis Islam dan Sumber-Sumber Ajaran Islam
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Abdurrahman S.Ag., M.Hi



Disusun oleh
Noer Faizah               (150721100044)
Zakiyatur Rahmah     (150721100126)
Siti Roibah                (150721100098)
Anisa Putri Nur K.    (150721100115)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Prinsip-Pinsip Etika Bisnis Islam dan Sumber-Sumber Ajaran Islam  ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam mata kuliah Etika Bisnis Islam. Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para pembaca khususnya dalam bidang ekonomi.
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Abdurrahman S.Ag., M.Hi selaku Dosen mata kuliah Etika Bisnis Islam dan terima kasih kepada teman – teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Bangkalan, 22 Maret 2017



Penyusun






DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Upaya Membangun Bisinis yang Sesuai dengan al-Qur’an............................ 2
2.2 Sumber Ajaran Islam yang Disepakati............................................................ 5
2.3 Dalil-Dalil yang Diperselisihkan...................................................................... 8
2.4 Ijtihad, Pengertian, dan Syaratnya.................................................................. 12

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Etika bisinis merupakan ilmu yang dibutuhkan banyak pihak tetapi masih bersifat problematis dari sisi metodologis. al-Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenlai perilaku-perilaku yang bertentangn dengan nilai-nilai al-Qur’an.
Ketika ayat-ayat al-Qur’an dihubungkan dengna pengertian hakikat bisnis, dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu landasan praktek mal bisinis adalah setiap praktek bisinis yang mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun banyak, tersembunyi maupunn terang-terangan dapat menimbulkan kerugian secara material maupun in materi baik bagi si pelaku, pihak lain maupun masayrakat.
1.2    Rumusan Masalah
a.         Bagaimana upaya membangun bisinis yang sesuai dengan al-Qur’an?
b.        Bagaimana sumber ajaran Islam yang disepakati?
c.         Bagaimana dalil-dalil yang diperselisihkan?
d.        Bagaimana ijtihad, pengertian, dan syaratnya?
1.3    Tujuan Masalah
a.       Mengetahui bagaimana upaya membangun bisnis yang sesuai dengan al-Qur’an.
b.      Mengetahui sumber ajaran Islam yang disepakati.
c.       Mengetahui bagaimana dalil-dalail yang diperselisihkan.
d.      Mengetahui bagaimana ijtihad, pengertian, dan syaratnya.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam
2.1.1        Upaya Membangun Bisnis yang Sesuai Dengan al-Qur’an
Selama ini dalam pemikiran kita telah didominasi oleh pandangan hidup materialisme pada satu sisi dan pandanganketerpisahan antara kehidupan dunia dan kehidupan agama. Kedua sisi ini harus didasari telah membenamkan kesadaran kita kepada keyakinan bahwa bisnis merupakan aktivitas dunia yang hanya diperuntukanbagi pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat jasmaniah semata. Karena itu upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun bisnis yang sesuai dengan al-Qur’an dapat dilakukan beberapa hal, pertama, suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Pandangan bahwa etika bisnis sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakan struktur fundamental sebagai perubahan terhadap anggapan dan pemahaman tentang kesadaran sistem bisnis amoral yang telah memasyarakat. Bisnis dalam al-Qur’an disebut sebagai aktifitas yang bersifat material sekaligus inmaterial. Sehingga suatu bisnis dapat disebut bernilai, apabila kedua tujuannya yaitu pemenuhan kebutuhan material dan spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan pandangan kesatuan bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika suatu bisnis bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak mengandung kebatilan, kerusakan, dan kezalima. Akan tetapimengandung nilai kesatuan, keseimbangan, kehendak bebas, pertanggung jawaban, kebenaran, kebajikan, dan kejujuran.[1]
Dengan demikian etika bisnis dapat dilaksanakan oleh siapapun. Kedua, yang patut dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun tatanan bisnis yang Islami yaitu diperlukan suatu cara pandang baru dalam melakukan kajian-kajian keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih berpijak pada paradigma pendekatan normatifetik sekaligus empirik indiktuf yang mengedepankan panggalian dan pengembangan nilai-nilai al-Qur’an, agar dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat. Atau dalam kategori pengembangan ilmupengetahuan modern harus dikembangkan dalam pola pikir abductive pluralistic. Dengan pola pikir ini pengembangan ilmu-ilmu keislaman akan menjadi tajam dan proaktif terhadappersoalan-persoalan kontemporer dan dapat mentransformasikan norma-norma dan nilai-nilai agama kedalam bingkai keilmuan sebagai cultural forse.
Perwujudan lima prinsip (aksioma) dalam ilmu ekonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah demi terciptanya bisnis yang sesuai al-Qur’an adalah sebagai berikut:[2]
1.        Unity/ kesatuan
Merupakan refleksi konsep tauhid yang memadukan seluruh aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, politik budaya menjadi keseluruhan yang homogen, konsisten, dan teratur. Adanya dimensi vertikal (manusia dengan penciptanya) dan horizontal (sesama manusia) prakteknya dalam bisnis:
a.         Tidak ada diskriminasi baik terhadap pekerja, penjual, pembeli, serta mitra kerja  misalnya (QS. 49:13).
b.        Terpaksa atau dipaksa untuk menaati Allah SWT (QS. 6:163).
c.         Meninggalkan perbuatan yang tidak beretika dan mendorong setiap individu untukbersikap amanah karena kekayaan yang ada merupakan amanah Allah (QS. 18:46).
d.        Melakukan ritual-ritual untuk mempermudah rezeki seperti sholat dhuha, sholat tahajud,shodaqah, dzikir dan lain-lain.
2.        Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibirium)
Merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu  harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu lebih lagi kepentingan umat. Keseimbangan, kebersamaan, dan kemoderatan meupakan prinsip etis yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis (QS. 2:195; QS. 25:67-68, 72-73; QS. 17:35; QS. 54:49; QS. 25:67). Prakteknya dalam bisnis:[3]
a.         Tidak ada kecurangan dalam takaran dan timbangan.
b.        Penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar yang normal.
3.        Tanggung jawab (Responsibility)
Tanggung jawab terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusiasebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak terlepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat di dunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum nonformal seperti sanksi moral dan lain sebagainya. Prinsip pertanggung jawaban menurut Sayid Quthb adalah tanggung jawabyang seimbang dalam segala bentuk dan ruanglingkupnya, antara jiwa dan raga, antara orang dan keluarga, antara individu dan masyarakat serta antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Aplikasi dalam bisnis:[4]
a.         Upah harus disesuaikan dengan UMR (upah minimum regional).
b.        Economic return bagi pemberi pinjaman modal harus  dihitung berdasarkan perolehan keuntungan yang tidak dapat dipastikan jumlahnya dan tidak bisa ditetapkan terlebih  dahulu seperti dalam sistem bunga.
c.         Islam melarang semua transaksi alegotoris seperti gharar, sistem ijon, dan sebagainya.
4.        Kebebasan
Merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis Islam, tetapi kebebasan itu  tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapat bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk aktif berkarya dan bekerja memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, ifaq, dan sedekah. Aplikasinya dalam bisnis:[5]
a.         Konsep kebebasan dalam Islam lebih mengarah pada kerja sama, bukan persaingan apalagi sampai mematikan usaha satu sama lain. Kalaupun ada persaingan dalam usaha maka,  itu berarti persaingan dalam berbuat kebaikan atau fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan).
b.        Menepati kotrak, baik kontrak kerja sama bisnis maupun kontrak kerja engan pekerja. “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji” (QS. 5:1).
5.        Benevolence (kebenaran)
Kebenaran disini juga meliputi kebajikan dan kejujuran. Maksud dari kebenaran adalah niat, sikap dan perilaku benar dalam melakukan berbagai proses baik peoses transaksi maupun proses memperoleh komoditas, proses pengembangan produk, maupun proses perolehan keuntungan.
Selain itu, etika perusahaan bisa diimplementasikan melalui budaya perusahaan, tata kelola perusahan (Good Corporate Govrnance), manual kode etika perilaku corporate (Corporate Code of Conduct), dan tanggung jawab sosial perusahaan pada masyarakat (Corporate Social Responsibility) yang sesuai dengan prespektif al-Qur’an.[6]
2.2    Sumber-Sumber Ajaran Islam
2.2.1        Sumber Ajaran Islam Yang Disepakati
1.        Al-Qur’an
Secara bahasa al-Qur’an berarti bacaan atau apa yang tertulis. Secara istilah artinya adalah “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah. Terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nash.”[7]
Berdasarkan pengertian di atas dapat dijabarkan beberapa ciri khas dari al-Qur’an seperti berikut ini:
a.         al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW.
b.        al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
c.         al-Qur’an dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir sehingga kemurniannya terjamin hingga hari akhir.
d.        Membaca ayat al-Qur’an merupakan ibadah dan mendapat ganjaran pahala.
e.         Dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nash.
Keberadaan al-Qur’an sebagai sumber ajaran atau sumber hukum mengandung pengertian bahwa al-Qur’an memuat nilai-nilai Ilahiyah yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi, arahan dan penuntun dalam menjalani kehidupan di dunia.[8]
Dengan al-Qur’an, manusia akan mendapat pencerahan (hudan) agar mampu memecahkan segala problematika kehidupannya, karena permasalahan hidup itu tidaklah tunggal, namun jamak, tanpa kecuali persoalan ekonomi yang seringkali menimbulkan prahara kemanusiaan.[9]
Dalam ekonomi Islam yang merupakan penerapan dari ajaran al-Qur’an setiap manusia dibebaskan untuk melakukan transaksi ekonomi termasuk bisnis. Bentuk dari bisnis yang dikelolan tidaklah dibatasi namun ada beberapa hal yang dibatasi dalam Islam adalah cara perolehan dan pendayaan dananya. Dalam arti, pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syariat (aturan-aturan dalam al-Qur’an dan al-Hadist).[10]
Sebagai contoh adalah ayat yang menerangkan ekonomi dimana ayat ini membedakan antara yang namanya riba dengan jual beli, meski keduanya mengandung unsur keuntungan namun berbeda dalam hal etika yang dijalankan. Berikut adalah ayat yang telah dijelaskan tersebut:
وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“.... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ....”
2.        Sunnah
Secara bahasa sunnah artinya jalan yang bisa dilalui atau cara yang senantiasa dilakukan. Secara istilah sunnah berarti segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.[11] Macam dari sunnah ada tiga, yakni sunnah qauliyah (perkataan), sunnah fi’liyah (perbuatan), sunnah taqriyiyah (ketetapan/persutujuan). Al-Qur’an dan sunnah merupakan dua hukum Islam yang saling terikat, oleh karena berikut adalah fungsi sunnah terhadap al-Qur’an:
a.         Bayanu tafsili (merinci)
b.        Bayanu tafsir (menafsirkan)
c.         Bayanu ta’kid (menguatkan)
d.        Bayanu tasyri’ (membuat syariat)
Sebagai sumber pokok yang asasi, al-Qur’an dan Sunnah jelas tidak bisa dipisahkan. Terlebih lagi karena karakteristik al-Qur’an yang bersifat global sehingga tidak jarang masih membutuhkan penafsiran yang lebih detail dari sunnah Rasullullah SAW.[12]
Oleh karena itu untuk menggali suatu hukum juga diperlukan pengkajian terhadap hadist yang ada bukan hanya berasal dari ayat al-Qur’an.
3.        Ijma’
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan, sementara itu secara istilah artinya kesepakatan mujtahid pada suatu masa. Adapun syarat dari ijma’ dalah sebagai berikut:
a.         Yang melakukan ijma’ adalah mujtahid yang berada pada suatu masa tertentu.
b.         Kesepakatan yang terjadi, harus diawali dengan mengemukakan argumentasi oleh masing-masing mujtahid.
c.         Hukum yang disepakati adalah hukum syara’ yang tidak ada penjelasannya secara rinci dalam al-Qur’an dan hadist.
d.        Sandaran hukum ijma’ haruslah al-Qur’an dan ijma’.[13]
4.        Qiyas
Secara bahasa artinya, berarti ukuran.[14] Secara istilah artinya menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan nash nya dengan sesuatiu yang disebutkan hukumnya dalam nash disebabkan kesamaan illat pada keduanya.[15]
Dari penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa qiyas adalah menyamakan suatu peristiwa berdasarkan illatnya dengan peristiwa yang serupa.
2.2.2        Dalil-Dalil Yang Diperselisihkan
1.        Maslahat
Maslahat al- mursalah didefinisikan sebagai bentuk kemaslahatan yang tidak didukunh syara’ dan tidak  pula ditolak/ diabtalkan syara’ melalui dalil yang rinci. Maslahat berarti meraih manfaat dan menolak mafsadat  (kerusakan). Dan ini merupakan tujuan syari’at Islam (maqasid al-syari’ah).maslahat, sampai-sampai Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang ahli hukum Islam menyatakan, “ dimana saja terdapat “kemaslahatan” disanalah syari’at Allah”.
Maslahat secara istilah adalah dalil hukum yang mempersilisihkan. Kendati demikian keberadaannya tetap penting untuk menjawab persoalan  kontemporer. Dalam menetapkan hukun terhadap suatu persoalan yang muncul ukuran yang digunakan adalah seberapa jauh persoalan tersebut menimbulkan maslahat dan menghindarkan mudharat yang timbul di masyarakat. Tentu analisa yang digunakan dengan menggunakan pemikiran yang rasional dan jernih. Apabila ditemukan bahwa dampak yang ditimbulkannya adalah kemaslahatan, maka hal tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya jika yang muncul dalah kemudharatan, maka harus ditolak.
Contohnya, dalam al-Qur’an dan Hadist tidak ditemukan satu ayat baik yang eksplisit maupun implicit tentang perintah mendirikan Bank Islam. Tidak juga ditemukan dalili-dalil yang melarang pendiriannya. Namun setelah dikaji, pendirian Bank Islam merupakan satu kemestian untuk pemberdayaan ekonomi ummat Islam serta menghindarkan umat dari jeratan Bank konvensional yang menggunakan system bunga yang eksploitatif. Karena dampaknya adalah kemaslahatan, maka pendirian Bank Islam diperbolehkan bahkan menjadi suatu kemestian.[16]
Jumhur ulama kaum muslimin berpendapat bahwa maslahah al-Mursalah adalah hujjah syara’ yang dipakai landasan penetapan hukum. Kejadian yang yang tidak ada hukumny dalam nash, ijma’ qiyas atau istihsan, maka ditetapkan hukum yang dituntut oleh kemaslahatan umum. Dan penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tergantung apda adnya saksi syara’ dengan anggapannya.
Alasan mereka dalam hal ini ada dua, yaitu: Pertama, kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka jika seandainya hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru, sesuai dengan perkembangan mereka dan penetapan hukum itu hanya berdasarkan hukum syar’i saja, maka bnyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi pembentukan hukum tidak memperhatikan perkembangan dan kemaslahatan manusia. Hal ini tidak sesuai, karena tujuan penetapan hukum antara lain merupakan kemaslahatan umat manusia. Kedua, orang yang akan meneliti penetpan hukum yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, thabi’in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap oleh syar’i.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa kemaslahatan umum tidak menjadi dasar penetapan hukum, meskipun tidak ada saksi syara’ yang menyatakan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Mereka menggunakan dua alas an, yaitu:
Pertama, syari’at itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik dengan nash-nashnya maupun deengan apa yang ditunjukkan oleh qiyas. Karena syar’i tidak akan membiarkan manusia dalam kesi-siaan dan tidak membirkan kemaslahatan yang manapun tanpa ada saksi dari syar’i yang menunjukkan anggapannya. Sedangkan kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syara’ yang menunjukkan anggapannya, pada hakikatnya dalah bukan kemaslahatan, melainkan kemaslahatan semu yang tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.[17]
2.        Urf
Al-Urf  adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik dari ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan disebut juga sebagai adat. Menurut istilah ahli syara’ tidak ada perbedaan antara urf  dan adat. Adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secra langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al-walad  secara mutlak sebagai anak laki-laki, dan kebiasaan mereka untuk tidak mengucapakan daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derjat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’ yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid.
 Al-Urf   ada dua macam, yaitu shahih dan fasid. Urf Shahih adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membtalkan kewajiban. Sedangkan Al-Urf   fasid adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalakan yang haram dan membatalkan kewajiban.  Adat yang shahih wajib diperhatiak dalam pembentukan hukum syara’ dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus  memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim harus memperhatiakan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh mnusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakaati dan ada kemaslahatannya.
Oleh karena itu, para ulama berkata; adat adlah syari’at yang dikuatkan sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara’. Imam malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan paraa muridnya berbeda dalam menentukan hukum, tergantung pada dat mereka. Imam Syafi’I ketika berda di Mesir, mengubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau berda di Baghdad karena perbedaan adat. Oleh karena itu beliau mempunyai dua pendapat, yaitu pendapat baru dan pendapat lama.
Al-‘Allamah al- Marhum Ibnu Abidin menyusun sebuah kitab yang diberi nama Nashyrul ‘Arafi FIIma Buniya minal Ahkaaami ‘Alal ‘Urfi (semerbak bau harum dalam huku-hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan). Dalam sebuah kata bujak dikenal istilah :
الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَا الْمَشْرُوْطِ شَرْطًا وَالثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ
‘’ yang dikenal menurut kebiasaan seperti halnya ditetapkan dalam suarat yang ditatapkan menurut syarat seperti ditetapkan menurut nash‘’.
     Hukum yang didasarkan pada akad akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para ulama’ fikih berkata : Prbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.
Kebiasaan secara hakiki bukanlah merupakan dalail syara’ yang tersendiri. Pada umumnya ia termasuk memperhatikan kemaslahatan umum. Yakni bagai mana adat diperhatikan dalam penetapan hukum syara’ maka diperhatikan pula dalam penafsiran nash, mentakhsis yang umum dan membatasi yang mutlak. Dan kadang-kadang qiyas ditinggalkan demi adat. Maka hukumnya sah akad meminta pekerjaan karena berlaku menurut adat.[18]
Sebagai contoh, dalam fiqih Syafi’i salah satu rukun jual beli adalah ijab dan Kabul dimana si pembeli mengatakan “ saya beli” dan penjual menjawab “saya jual’. Rukun ini digunakan untuk mengukur sah tidaknya akad jual beli. Namun. di Indonesia, hal ini tidak begitu lazim digunakan. Praktek jual beli masyarkat sejak dahulu tidak melalui ijab dan Kabul dan ternyata tdak ada keburukan yang ditimbulkannya. Karena sudah merupakan tradisi, maka jual beli tanpa ijab Kabul tetap dipandang sah.
2.2.3        Ijtihad, Pengertian, Dan Syaratnya
1.        Pengertian Ijtihad
Bagaimanapun pentingnya kedudukan Al-Qur’an dan hadis , namun keduanya memiliki “keterbatasan” maksudnya segala permasalahan baru  yang muncul dalam kehidupan umat yang dipicu oleh perkembangan IPTEK, tidak dapat langsung dicarikan jawabannya dari kedua sumber tersebut, walaupun mungkin pesan dasarnya tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pesan-pesan inilah yang akan digali dengan metode tertentu sehingga menghasilkan hukum. Upaya menggali pesan-pesan tersebut dinamai dengan Ijtihad.
Ijtihad diambil dari kata al-juh yang berarti upaya sunggguh sungguh. Secara etimologis, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan intelektual secra maksimalnun untuk menemukan hukum syara”. Orang yang melakukannya disebut dengan Mujtahid.
Ijtihad bukanlah satu pekerjaan mudah, untuk dapat melakukannya diperlukan beberapa syarat, Mengenai bahasa.
Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al-‘Urf wa al-adah fi Ra”yi al-Fuqaha”( Mesir: dan al-arab dengan seluk beluknya, mengetahui Sunnah Rasul dengan segala ilmu-ilmu yang terkait dengannya, memahami qiyas, ijmak”dan Metode lainnya.
Karena permasalahan yang berkembang semakin kompleks dan berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang Mujtahid harus juga memahami dengan baik masalah yang sedang dihadapi.
Mengingat beberapa persyaratan ijtihad, sangat kecil kemungkinan syarat –sayrat tersebut dapat dipenuhi seseorang. Itulah sebabnya ijtihad  fardiyah tidak mungkin lagi dilakukan sekarang. Yang paling mungkin adalah ijtihad jama’I “ (ijtihad kolektif)  dimana masing-masing ahli duduk bersama-sama memecahkan satu persoalan dan mencari jawaban hukumanya.
Ijtihad semakin penting untuk saat ini disebabkan satu kenyataan bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Mayarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial politik, ekonomi dan lain-lain.
Dalam bidang kedokteran, muncul masalah-masalah baru seperti genetika. Dalam bidang ekonomi muncul lembaga-lembaga perbankan yang menawarka berbagai macam produk, lembaga asuransi dengan segala permasalahan, yang harus segera dicarikan jawaban hukumnya.
Tentulah hal-hal diatas tidak dapat dijawab oleh seorang ulama yang hanya menguasai ilmu-ilmu islam saja. Untuk memecahkan persoalan yang berkaitan dengan kedokteran, diperlukan ahli dibidang kedokteran yang dapat menjelaska rekayasa genetika. Untuk menjawab persoalan ekonomi, diperlukan pakar ekonomi dsb. Inilah yang disebut dengan ijtihad kolektif.
Dalam kerangka menjawab persoalan kontemporer dapat dilakukan dengan dua bentuk ijtihad, yaitu : ijtihad Intiqo’i (ijtihad tarjihi) dan ijtihad Insya”i. Ijtihad Intiqo”I adalah ijtihad yang dilakukan sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu. Asumsinya, mungkin masalah yang muncul hari ini memiliki kemiripan dengan masalah yang muncul pada masa lalu. Tugas para mujtahid hanyalah memilih diantara pendapat-pendapat ahli fiqih sehingga ditemukan pendapat yang lebih rajah (kuat) dan relevan dengan masalah-masalah yang ada. Sebagai contoh dalam masalah hukum bunga bank?. Menyikapi masalah ini para ulama dapat dapat merujuk pendapat ulama masa lalu yang berbicara tentang riba. Jika ditemukan persamaan ilat (ratio legis) maka dapat ditempuh dengan metode Qiyas. Jadilah hukum bunga bank sama dengan riba.
Sedangkan Ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang jawabannya tidak ditemukan pada masa lalu. Sebagai contoh dapat dilihat hukum tentang reksadana Syari’ah. Masalah reksadana syari’ah adalah masalah baru yang tidak ada rujukannya dalam kitab-kitab fikih. Untuk menjawabnya digunakanlah Ijtihad baru. Disinilah diperlukan pemahaman yang utuh terhadap kasus baru dengan meminta penjelasan dari ahlinya dan ketetapan dalam menggunakan metode Ijtihad. Selanjutnya barulah ditetapkan hukumannya. [19]      
2.        Syarat-Syarat Ijtihad
a)        Berpengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan Ulumul-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qu’an) serta segala yang tekait, dalam intelektual maupun spiritual, cerdas dalam masalah hukum
b)        Memiliki ilmu yang cukup dalam mengenai ilmu hadis, terutama soal hukum , sejarah , maksud keterkaitan hadis itu dengan nas-nas Al-Qur’an.
c)        Menguasai masalah-masalah atau materi dari  pokok yang hukumnya telah sepakati oleh ijmak sahabat dan ulama Salaf (dua generasi setelah para sahabat Rasulallah).
           


























BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun bisnis yang sesuai dengan al-Qur’an dapat dilakukan beberapa hal, pertama, suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Pandangan bahwa etika bisnis sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakan struktur fundamental sebagai perubahan terhadap anggapan dan pemahaman tentang kesadaran sistem bisnis amoral yang telah memasyarakat.
Bisnis dalam al-Qur’an disebut sebagai aktifitas yang bersifat material sekaligus inmaterial. Sehingga suatu bisnis dapat disebut bernilai, apabila kedua tujuannya yaitu pemenuhan kebutuhan material dan spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan pandangan kesatuan bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika suatu bisnis bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak mengandung kebatilan, kerusakan, dan kezalima. Akan tetapimengandung nilai kesatuan, keseimbangan, kehendak bebas, pertanggung jawaban, kebenaran, kebajikan, dan kejujuran.













DAFTAR PUSTAKA
Dja’far, Muhammad. 2007. Agama, Etika, Dan Ekonomi; Wacana Menuju Ekonomi Rabbaniyah. Malang: UIN Malang Press.
Kementrian Agama Indonesia.2010. Mushaf Aisyah. Bandung: Jabal Raudhatul Jannah.
Rivai, Veithzal, dkk. 2012. Islamic Businnes And Economic Ethic;Mengacu Pada Al-Qur’an Dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW Dalam Bisnis, Keuangan, Dan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara.
Rohman, Abdur. Buku Ajar; Etika Bisnis Islam.
Wahhab Khallaf, Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Warson Munawwir, Ahmad. 1997. Al Munawwir; Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Proggessif.



[1] Abdur Rohman, Buku Ajar; Etika Bisnis Islam, 17.
[2] Ibid, 18
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid, 19
[6] Ibid,
[7] Ibid, 21-22
[8] Ibid, 23.
[9] Muhammad Dja’far, Agama, Etika, Dan Ekonomi; Wacana Menuju Ekonomi Rabbaniyah, (Malang: UIN Malang Press, 2007), 169.
[10] Veithzal Rivai, Amiur Nuruddin,Dan Faisar Ananda Arfa, Islamic Businnes And Economic Ethic;Mengacu Pada Al-Qur’an Dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW Dalam Bisnis, Keuangan, Dan Ekonomi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 13.
[11] Abdur Rohman, 24.
[12] Muhammad Dja’far, 170.
[13] Abdur Rohman, 26.
[14] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir; Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Proggessif, 1997), 870.
[15] Abdur Rohman, 26.
[16] Ibid, 27-28.
[17] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Darul Qalam:2003),111-115
[18] Ibid,117-120.
[19] Abdur Rahman, 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar