MAKALAH
PRODUK PEMBIAYAAN (LANDING) PERBANKAN SYARIAH BESERTA
AKAD-AKADNYA
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Perbankan Syariah
Dosen Pengampu:
Mashudi, S.HI.,
M.EI.
Disusun oleh:
Masfiyatul Fikriyah (150721100062)
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
Anisa Putri Nur K. (150721100115)
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pertumbuhan
dan Perubahan Stuktur Ekonomi Indonesia” ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu
tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam mata kuliah Perekonomian
Indonesia.
Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan
dan ilmu tambahan bagi para pembaca khususnya dalam bidang ekonomi.
Dengan selesainya makalah ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada
kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Mashudi S,HI.M,EI selaku Dosen mata kuliah Perekonomian
Indonesia dan terima kasih kepada teman – teman yang membantu penyelesaian
makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya,
mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Bangkalan,
11 April 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembiayaan................................................................................... 2
2.2 Klasifikasi Akad Dalam Pembiayaan Di Bank Syariah.................................. 4
2.3 Akad Dan Produk Berbasis Jual Beli.............................................................. 6
2.4 Akad Dan Produk Berbasis Bagi Hasil........................................................... 16
2.5 Akad Dan Produk Penyetaan Modal Kerja.................................................... 24
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbankan
Syariah mulai muncul seiring dengan perkembangan zaman manusia di bumi. Kebutuhan manusia tidak
terbatas namun, keinginan manusia untuk menabung yang tak terbatas. Pada
dasarnya perbankan syariah adalahsuatu pengaplikasian ilmu ekonomi yang lebih
luas terlebih dalam urusan keuangan. Inti dari masalah perbankan syariah ini adalah adanya ketidakseimbangan antara
pengeluaran dan pendapatn yang masuk untul disimpan,sedangakan biaya yang
keluar jauh lebih besar daripada tabungan yang masuk. Meningkatnya kebutuhan
manusia sesuai peradaban masa kini mengakibatkan sumber pemasukan menjadi tidak
menentu. Kebutuhan manusia yg tak terbatas mengakibatkan pengeluaran biaya juga
tak terbatas pula. Karena itu untuk memberikan kemudahan dalam mengelola
keunagn maka suatu bank syariah memberikan beberapa fasiliatas yang akan
memberikan kemudahan dan kemudahan bagi para nasabah agar pembiayaan yang
dikeluarkan itu bisa teralokasikan dengan baik,dan bahkan menguntungkan kedua
belah pihak,sehingga kehidupan ekonomi akan berjalan sesuai porosnya tanpa
danya masalah keuangan.
1.2 Rumusan Masalah
2
Bagaimana pengertian pembiayaan?
3
Bagaimana klasifikasi akad dalam pembiayaan di bank syariah?
4
Bagaimana akad dan produk berbasis jual beli?
5
Bagaimana akad dan produk berbasis bagi hasil?
6
Bagaimana akad dan produk penyetaan modal kerja?
1.3 Tujuan Masalah
a.
Untuk mengetahui bagaimana pengertian pembiayaan.
b.
Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi akad pembiayaan di bank syariah.
c.
Untuk mengetahui bagaimana akad dan produk berbasis jual beli.
d.
Untuk mengetahui bagaimana akad dan produk berbasis bagi hasil.
e.
Untuk mengetahui bagaimana akad dan produk penyetaan modal kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Landing pada Bank Syariah
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam
menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah.
Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarikan pada kepercayaan yang
diberikan oleh pihak pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana percaya
kepada penerima dana bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan pasti
akan terbayar. Penerimaan pembiayaan mendapat kepercayaan dari pemberi
pembiayaan, sehingga penerima pembiayaan berkewajiban untuk mengembalikan
pembiayaan yang telah diterimanya sesuai dengan jangka waktu yang telah
diperjanjikan dalam akad pembiayaan.[1]
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank,
yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
yang merupakan defisit unit.[2]
Dalam kegitan penyaluran dana atau pembiayaan dana bank syariah harus
berpedoman pada prinsip-prinsip yang sudah diatur oleh Bank Indonesia. Maka
dari itu bank wajib meneliti nasabah secara seksama berdasarkan ketentuan yang
sudah ditetapkan oleh syariat.
Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kepada
nasabah berbeda dengan kredit yang diberikan oleh bank konvensional. Dalam
perbankan syariah, return atas pembiayaan tidak berbentuk bunga, akan tetapi
dalam bentuk lain sesuai dengan akad-akad yang disediakan di bank syariah.[3]
Dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, kedrit adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan
pihak lain peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Bank syariah memiliki skema yang berbeda dengan bank
konvensional dalam penyaluran dananya kepada nasabah yang membutuhkan. Bank
syariah menyalurkan dananya kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan. Sifat
pembiayaan tersebut bukan merupakan hutang piutang tetapi merupakan investasi
yang diberikan pihak bank kepada nasabah dalam melakukan usaha.
Menurut Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998, Pembiayaan
adalah penyedia uang atau taguhan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan suatu
kesepakatan antara bank dan pihak lain yang dibiayai untuk mengembalikan uang
atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil. Jadi didalam perbankan syariah
penyaluran dana yang diberikan kepada nasabah berdasarkan prinsip syariah.
Dengan aturan yang sesuai hukum islam.
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank,
yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat
dibagi menjadi dua hal berikut:[4]
1.
Pembiayaan
produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi
dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi,
perdagangan, maupun investasi.
2.
Pembiayaan
konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi,
yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya,
pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut:[5]
1)
Pembiayaan
modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: a) peningkatan
produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi maupun secara
kuantitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan b) untuk
keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu
barang.
2)
Pembiayaan
investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods)
serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
2.2
Klasifikasi Akad dalam Kegiatan Landing
Akad yang digunakan dalam penyaluran dana atau
pembiayaan antara lain:
a.
Akad
Jual Beli
Jual beli merupakan transaksi yang dilakukan oleh
pihak penjual dan pembeli atas suatu barang dan jasa yang menjadi objek
transaksi jual beli. Akad jual beli dapat diaplikasikan dalam pembiayaan yang
diberikan oleh bank Syariah. Pembiayaan yang menggunakan akad jual beli
dikembangkan di bank syariah dalam tiga jenis pembiayaan, yaitu pembiayaan
murabahah, istishna, dan salam. Return atas pembiayaan jual beli berasal
dari selisih harga jual dan harga beli, disebut margin keuntungan.
1.
Landasan
hukum:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
“Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS.
Al-Baqarah: 275)
2.
Rukun
dan syarat:
a)
Rukun
1.
Penjual,
pihak yang memiliki barang yang diperjual belikan
2.
Pembeli,
pihak yang ingin mendapatkan barang, dengan membayar sejumlah uang tertentu
pada si penjual.
3.
Objek,
barang yang diperjual belikan
4.
Harga
transaksi jual beli yang harus disebutkan dengan jelas yang telah disepakati
antara penjual dan pembeli
5.
Ijab
qabul, serah terima barang
b) Syarat
1.
Pihak
yang berakad harus ikhlas
atau keridhoan antara keduanya dan memiliki daya untuk melakukan transaksi jual
beli.
2.
Objek barangnya ada dan jelas, juga ada kesanggupan dari penjual
untuk mengadakan barang yang akan dijual, barang yang dijual adalah milik sah
penjual, dan barang yang diperjual belikan harus halal.
3.
Harga: Harga jual yang
ditawarkan oleh bank merupakan harga beli ditambah dengan margin keuntungan,[6]
harga jual tidak boleh berubah selama dalam masa perjanjian, sistem pembayaran
disepakati bersama.
b.
Akad
Kerjasama Usaha/ Bagi
Hasil
Pembiayaan kerja sama bank syariah merupakan aktivitas
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa kerja sama
usaha antara bank syariah dan pihak yang membutuhkan modal untuk meningkatkan
volume usahanya. Kerjasama usaha bank syariah dengan
nasabah merupakan kerja sama yang dilakukan kedua pihak unuk menjalankan usaha
dan atas hasil usaha yang dijalankan, maka akan dibagi sesuai dengan nisbah
yang telah disepakati antara bank syariah dan nasabah.[7]
Pembiayaan kerja sama usaha yang disalurkan oleh bank
syariah kepada nsaabah merupakan investasi yang dilakukan oleh pihak bank
syariah kepada nasabah. Pihak bank syariah
mempercayai nasabah dalam menjalankan usahanya untuk memperoleh keuntungan.
Kemudian keuntungan atau hasil usaha ini akan dibagi antara bank syariah dan
nasabah. Dari bagi hasil yang diterima pihak bank syariah merupakan imbalan
atas pembiayaan kepada nasabah.
Dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah terdiri
dari empat jenis akad, yaitu al-mudharabah, al-musharakah, al muzara’ah, dan
al-musaqah. Namun yang paling banyak diimplementasikan dalam perbankan syariah
dua prinsip bagi hasil pertama, yaitu al-mudharabah dan al-musyarakah.
Pembiayaan mudharabah merupakan pembiayaan 100% yang diberikan oleh bank kepada
nasabah. Sedangkan pembiayaan musyarakah, kerjasama usaha antara pihak bank dan
nasabah sama-sama ikut menyrtakan modal dalam menjalankan usaha.
Implementasinya, bank dan nasabah
melakukan akad mudharabah. Bank menyediakan dana 100% kepada nasabah untuk
membiayai suatu usaha, nasabah mengelola proyek usaha tersebut. Bank sama
sekali tidak ikut campur dalam manajemen usaha. Kemudian hasil usaha dibagi
sesuai nisbah yang disepakati atau sesuai perjanjian.
2.3
Akad dan Produk Berbasis Jual Beli
Menurut
etimologi jual beli dapat diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu
(yang lain). Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah,
dan at-tijarah.[8]
Pendapat lainnya yakni Al ba’i secara bahasa adalah masdar dari baa'a arti asalnya:
pertukaran harta dengan harta dan umum digunakan dalam arti “transaksi” secara
majaz, karena al ba’i menjadi sebab kepemilikan. Al ba’i umum digunakan juga atas tiap-tiap
satu dari dua orang yang bertransaksi (al ba’i bisa diartikan penjual). Tetapi
kata-kata al ba’i ketika disebut secara bebas yang paling cepat bisa diterima
oleh pikiran artinya ialah “orang yang memberikan barang” dan al bai’
jika disebut secara bebas bisa diartikan “barang dagangan” (al Mishbahu al Munir 69).[9] Dalam buku
Fiqih Islam Wa Aadilatuhu Jilid 4 disebutkan bahwa jual beli dalam bahasa arab dikenal dengan al-ba’i
yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya
perpindahan kepimilikan barang atau benda (transfer of property).[10]
Keuntungan telah ditentukan di awal dan menjadi bagian dari harga atas barang
yang ditransaksikan.
2.3.1
Pembiayaan Murabahah
Murabahah (al-ba’i bi tsaman ajil) lebih dikenal sebagai
murabahah saja. Murabahah, yang berasal dari kata ribhu (keuntungan), dalah
transaksi jual-beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya.[11]
Pihak penjual dan pihak pembeli harus menyepakati
terlebih dahulu harga jual dan tempo pembayaran. Kedua hal tersebut harus
dicantumkan dalam akad dan apabila telah disetujui tidak dapat diubah lagi
selama terjadinya akad. Dalam penerapannya di dunia perbankan syariah di
Indonesia biasanya menggunakan sistem mencicil atau tangguhan.
Sebagai contoh pembeli
(nasabah) yang akan membeli sepeda motor tersebut akan datang ke pihak dealer
(penyedia sepeda motor) dan memilih sepeda motor mana yang akan ia beli.
Kemudian, pembeli akan memberikan sejumlah uang sebagai uang muka sepeda motor
yang ia beli. Dikarenakan hal tersebut pembeli harus melakukan perjanjian
dengan pihak penyedia dana untuk mengisi sisa dana yang dibutuhkan untuk
melunasi sepeda motor tersebut. Pihak bank harus memberi tahu harga asal dengan
tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak.[12]
a.
Landasan Syariah dan Landasan Hukum Murabahah
Akad murabahah merupakan salah
satu akad yang digunakan dalam pembiayaan di bank syariah yang pasti terdapat
landasan hukumnya secara syariah yakni al-Qur’an dan Hadist. Berikut adalah
ayat yang menerangkan tentang murabahah:
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوأ
“...Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
Berikut adalah hadist yang
menerangkan tentang murabahah :
Dari
Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang di
dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk
dijual.” (HR Ibnu Majah)
Sementara itu, bai’ al
Murabahah juga diatur secra hukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Pembiayaan
murabahah mendapatkan pengaturan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Ketentua secara teknis dapat dijumpai dalam Pasal 36 huruf b PBI No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasrkan
Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip
syariah dan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya yang meliputi
penyaluran dana melalui prinsip jual beli berdasrkan akad murabahah.
Di samping itu Pembiayaan Murabahah yang juga diatur
dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 pada tanggal 1 April 2000 yang intinya menyatakan bahwa dalam rangka
membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan
berbagai kegiatan, bank syariah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang
memerlukan, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembayarnya dalam harga yang lebih sebagai laba.[13]
b.
Syarat Ba’i al-Murabahah
Berikut adalah syarat-syarat
yang harus dipenuhi apabila melakukan transaksi murabahah adalah sebagai
berikut:
1.
Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2.
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun
yang ditetapkan.
3.
Kontrak harus bebas dari riba.
4.
Penjual harusmenjelaskan kepada pembeli apabila
terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
5.
Penjual harus menyampaikan semua hal yang
berkaitan dengan pembelian.[14]
c.
Manfaat Bai’ al-Murabahah
Dalam pelaksanaannya akad ini
memberikan beberpa manfaat bagi pihak bank syariah yakni dari selisih harga
pokok dengan harga jual. Sementara bagi nasabah keuntungan yang dapat diperoleh
yakni mendapatkan pembiayaan dengan harga jual yang sama meskipun tempo atau
jangka waktunya berbeda sesuai dengan kesepakatan bersama.
Selain adanya manfaat juga ada risiko
yakni, default atau kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah,
barang dijual.
d.
Ketentuan Umum Murabahah
1.
Bank dan nasabah harus melakukan akad Murabahah yang berbahas riba.
2.
Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan
oleh syarait Islam.
3.
Bank
membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
4.
Bank
membeli barang yang diperlukan nasbah atas nama bank sendiri, dan pembeli ini
harus sah dan bebas riba.
5.
Bank
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara hutang.
6.
Bank
kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesanan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasbah berikut biaya yang diperlukan.
7.
Nasabah
membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu
yang telah disepakati.
8.
Untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.
Jika
bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahah harga dilakukan
setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.[15]
e.
Ketentuan Murabahah kepada Nasabah
1.
Nasabah
mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada
bank.
2.
Jika
bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu asset yang
dipesan secara sah dengan pedagang.
3.
Bank
kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membelinya) sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara
hukum penjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat
kontrak jual beli.
4.
Dalam
jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5.
Jika
nasabah kemudian menolak
membeli barang tersebut, biaya rill bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6.
Jika
nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank
dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7.
Jika
uang muka memakia kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli
barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b) Jika nasabah batal membeli, uang muka
menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat
pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
8.
Jaminan
dalam murabahah diperbolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. Di sini
bank dapat meminta nasbah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
9.
Hutang
dengan murabahah secara prinsip penyelesainya tidak ada kaitannya dengan pihak
ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut
dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan
hutangnya kepada bank.
10. Penundaan pembayaran dalam murabahah
11. Bahwa nasabah yang memiliki kemampuan
tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya. Jika nasabah menunda-nunda
pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak menunaikan kewajibannya,
maka penyelesaiannya di lakukan melalui badan Arbitrase Syariah setelah tidak
mencapai kesepakatan melalui musyawarah.
12. Bangkrut dalam Murabahah, jika nasabah telah dinyatakan
pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang
sampai ia menjadi sanggup kembaali, atau berdasrkan kesepakataan.
Gambar 2.1 Skema Murabahah
2.3.2
Pembiayaan Salam
Pengertian dari bai’ as-salam adalah suatu pembelian
barang yang penyerahan barangnya dilakukan dikemudian hari sementara
pembayarannya dilakukan di awal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ibnu Rusyd
yang menyatakan bahwa bai’ as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan di
kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.[16]
a.
Landasan Syariah dan Landasan Hukum Salam
Berikut adalah ayat dan hadist yang menerangkan tentang
salam:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْاإِذَاتَدَيَنْتُمْ
بِدَيْنِ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمَّى فَاكْتُبُوْهُ
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
Berikut adalah hadits yang menerangkan tentang salam:
“Barangsiapa yang
melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Salam sebagai salah satu produk perbankan yang
didasarkan pada akad jual beli telah mendaptakan pengaturan secara intrinsik
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni pada ketentuan umum tentang prinsip
syariah. Sedangkan dalam tataran teknis diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf b
poin ketiga PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksankan Kegiatan
Usaha Berdasrkan Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib
menerapkan prinsip syariah dan prinsip ehati-hatian dalm kegiatan usaha yang
meliputi penyaluran dana melalui prisip jual beli berdasarkan akad salam.
Di samping itu salam juga telah diatur dalam Fatwa
DSN No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam.
b.
Syarat Bai’ as-Salam
1.
Modal bai’ as-salam harus diketahui, dimaan jenis, kualitas dan
jumlah barang harus jelas
2.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa pembayaran salam harus dilakukan di
tempat kontrak.
3.
Syarat barang yang ditransaksikan:
a)
Harus spesifik dan dapat diakui sebgai utang.
b)
Harus diidentifikasi secara jelas.
c)
Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
d)
Penyerahan barang segera.
e)
Boleh menentukan waktu penyerahan barang.
f)
Pihak yang terkait harus sepaat diaman tempat untuk penyerahan barang.
g)
Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.[17]
c.
Ketentuan Akad Salam
Sesuai dengan Fatwa DSN No.
05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam,
berikut adalah ketentuan-ketentuan yang ada dalam bai’ as-salam:
1.
Ketentuan tentang pembayaran
a)
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya.
b)
Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakat.
c)
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2.
Ketentuan tentang barang
Barang yang ditransaksikan harus jelas cirinya, dapat
diakui sebagai hutang, jelas spesifikasinya, penyerahan dilakukan kemudian,
waktu dan tempat penyerahan barang sesuai kesepakatan, pembeli tidak boleh
menjual barang sebelum diterima, tidak boleh ditukar kecuali dengan barang
sejenis sesuai kesepakatan.
3.
Ketentuan tentag salam paralel
a)
Akad kedua terpisah pada akad pertama.
b)
Akad kedua dilaksanakan setelah akad kedua sah.
4.
Penyerahan sebelum atau pada waktunya
a)
Penjual harus menyerahkan barang tepat waktu dengan jumlah dan kualitas
yang ditentukan.
b)
Penjual menyerahkan barang kualitas lebih tinggi tidak boleh meminta
tambahan harga.
c)
Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah dan pembeli
rela maka ia tidak boleh meminta diskon atau potongan harga.
d)
Jika penyerahan barang oleh penjual lebih cepat dari yang disepakati maka
ia tidak boleh meminta tambahan atas jasa pengiriman tersebut.
e)
Apabila jumlah atau kualitas barang tidak sesuai dengan yang disepakati
maka pembeli memiliki dua pilihan yakni dapat membatalkan akad maupun menunggu
hingga barang tersedia.
f)
Pembatalan kontrak diperbolehkan asal tidak mendzalimi salah satu maupun
kedua belah pihak.
g)
Jika terjadi perselisihan maka akan ditentukan di Badan Arbitrase Syariah
melalui musyawarah.
d.
Salam Paralel
Salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’
as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau
pihak ketiga lainnya secara simulan.[18]
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak
bank hanyalanh seorang distributor bukan seorang produsen.
Gambar 2.2
Skema Salam
2.3.3
Pembiayan Istishna’
Transaksi ini merupakan kontrak penjualan antara
penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli. Kemudian pembuat barang akan menyerahkan pesanan
pada orang lain yang membuat sesuai spesifikasi yang telah disepakati. Dan
setelah iu, akan disepakati tentang sistem pembayarannya.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-isthisna’ merupakan suatu
jenis khusus dari akad bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini digunakan di bidang
manufaktur.
a.
Landasan Syariah dan Landasan Hukum
Landasan syariah yang digunakan dalam akad ini sama
dengan landasan syariah yang digunakan untuk bai’ as-salam karena akd ini
merupkan lanjutan dari akad bai’ as-salam.
Secara umum aplikasi perbankan dalam akad istishna’ dapat
digambarkan ddalam skema berikut ini:
Gambar 2.3
Skema Bai’ Istishna’
Istishna sebagai salah satu produk perbankan yang
didasrkan pada akad jual beli telah mendapatkan penaturan secara intrinsik
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni dalam ketentuan umum mengenai
Prinsip Syariah.
Dalam tatanan teknis datur dalam ketentuan Pasal 36 huruf
b poin kedua Pbi No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakakn Kegiatan
Usaha Berdasrkan Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib
menerapkan prinsip syariah dann prinsip kehati-hatian dalm kegiatan usahanya
yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip jual beli berdasarkan akad
Istishna.
Sebelumnya mengenai istishna ini
diatur dalam Fatwa DSN No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’.
b.
Ketentuan dalam Akad Istishna’
Sesuai dengan Fatwa DSN
No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’ ketentuan dari jual beli istishna’ adalah sebagai berikut:
1.
Ketentuan tentang pembayaran
a)
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya.
b)
Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakat.
c)
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2.
Ketentuan tentang barang
a)
Harus jelas cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
b)
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
c)
Penyerahannya dilakukan kemudian.
d)
Waktu dan tempat penyerahan ditentukan sesuai kesepakatan.
e)
Pembeli dilarang menjual barang sebelum menerimanya dan tidak boleh ditukar
kecuali dengan barang yang sejenis.
f)
Jika terdapat cacat atau tidak sesuai dengan kesepakatan pembeli memiliki
hak khiyar.
3.
Ketentuan lain
a)
Jika pesanan sudah dikerjakan maka hukumnya mengikat.
b)
Segala ketentuan yang ada pada akad salam yang tidak disebutkan di atas
berlaku pada istishna’.
c.
Istishna’ Paralel
Pembeli dalam hal ini mengijinkan pihak pembuat untuk
membuat kontrak subtraktor untuk memenuhi kontrak yang pertama atau dengan kata
lain pembuat membuat kontrak kedua untuk memenuhi kontrak pertama.
Namun, terdapat beberapa konsekuensi saat Bank Islam
menggunakan akad ini yaitu:
1.
Bank Islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan stu-satunya
pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’
paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan
demikian, sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab
atas semua kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak paralel.
2.
Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap
bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak memiliki hubungan hukum secara langsung
dengan nasabah pada kontrak pertama. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak
paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama.
Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak memiliki kontrak hukum sama
sekali.
3.
Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan
barang, bertanggung jawab terhadap nasabah atas kesalahan pelaksanaan sub
kontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan
keabsahan istishna’ paralel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut
keuntungan kalau ada.[19]
2.4
Akad dan Produk Berbasis Bagi Hasil
Secara umum jenis dari sistem bagi hasil ada empat yakni
musyarakah, mudaharabah, muzaraah, dan musaqah. Namun dalam penerapannya di
sistem perbankan syariah digunakan dua akad yakni musyarkah dan mudharabah.
a.
Musyarakah
Al-musyarakah adalag akd kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[20]
1.
Landasan Syariah dan Landasan Hukum
Berikut adalah ayat yang menerangkan tentang musyarakah:
...فَهُمْ شُرَكَاءُفِى
الثُّلُثِ.
“...meka mereka
berserikat pada sepertiga...”
Sementara itu disebutkan dalam hadist bahwa:
“Dari Abu Hurairah,
Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku
pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak
menghianati yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 2936, dalam
kitab al-Buyu, dan Hakim)
Landasan hukum positif terdapat dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yakni pada ketentuan Pasal 1 ayat (13) yang mendefinisikan
mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara eksplisit merupakan salah
satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.
Mengenai pembiayaan
mudharabah ini diatur dalam pasal 36
huruf b poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,yang intinya menyatakan
bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam
melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi
hasil berdasrkan akad mudharabah.
Pembiayaan bagi hasil dalam bentuk
musyarakah diatur dalam Undang-Undang Nomer 10 Tahun 1998 tentang perubahan
undang-undang nomer 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam ketentuan pembiayaan
pada perbankan syariah.
Secara teknis
mengenai pembiayaan musyarakah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI
no. 6/24PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakankegiatan ussaha berdasarkan
prinsip syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip
syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan uahanya yang
meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad
musyarakah.
Musyarakah juga telah di atur dalam
ketentuan fatwa dewan syariah nasional no. 08/DSN-MUI/IV/2000. Intinya fatwa
DSN tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain
melalui pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontibusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko
akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[21]
2.
Rukun dan Syarat Musyarakah
Adapun
ketentuan pembiayaan musyarakah harus memenuhi. Rukun dan syarat pembiayaan musyakah
adalah sebegai berikut:
a)
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak/akad dengan memperhatikan
hal-hal berikut;
1. Penawaran dan penerimaan harus secara
eksplisit menunjukkan tujuan kontrak(Akad)
2. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada
saat kontrak.
3. Akad di tuangkang secara tertulis,
melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Seperti melalui media telepon atau internet.
b)
Pihak-pihak
yang berkontrak harus cakap secara hukum dengan memperhatikan dangan hal-hal
berikut;
1. Kompoten dalam memberikan atau di
berikan kekuasaan perwakilan.
2. Setiap mitra harus menyediakan dana dan
pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakilan.
3. Setiap mitra harus memiliki hak untuk
mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
4.
Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola asset
dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas
musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian
dan kesalahan yang disengaja.
5.
Seorang
mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk
kepentingan sendiri.
c)
Obyek
akad (modal, kerja, keuntuan dan kerugian)
1. Modal
a. Modal yang diberikan harus berupa uang
tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama, seaperti barang-barang properti
dan sebagainya. Jika modal bearbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan
tunai disepakati oleh para pitra.
b.
Para pihak tidsk boleh meminjamkan, menyumbangkan, menghadiahkan modal
musyarakah kepada pihaklain, kecuali atas dasar kesepakatan.
c.
Pada
prinsipnya dalam pembiayan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari
terjadinya penyimpangan suatu LKS dapat meminta jaminan.
2. kerja
a.
Pertisipasi
para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanan musyarakah, akan tetapi
kesamaan porsi kerja merupakan syarat seorang mitra boleh melaksanakan kerja
lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian
keuntungan tambahan bagi dirinya.
b.
Setiap
mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari
mitranya, kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam
kontrak.
3. Keuntungan
a.
Keuntungan
harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindari perbedaan dan sengketa pada
waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.
b.
Setiap
keuntungan mitra harus dibgian secara preporsional atas dassar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang di tetapkan bagi
seorang mitra.
c.
Seorang
mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu,
kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
d.
Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad
e.
Kerugian
harus di bagi para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam
modal.
f.
Biaya
operasional. Biaya operasioanal dari musyarakah ditanggung secara bersama
sesuai dengan kesepakatan.
4.
Jenis Musyarakah
a)
Syirkah al-‘Inan
b)
Syirkah Mufawadhah
c)
Syirkah A’maal
d)
Syirkah Wujuh
5.
Manfaat Musyarakah
a) Bank akan menikmati penigkatan dalam jumlah tertentu pada
saat keuntungan usaha nasabah meningkat
b) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu
kepada nasabah pendanaan.
c) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflow
usaha nasabah.
d) Bank akan lebih selektif dan berhati-hati (prudent).
e) Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bungan yang
ada di bank konvensional.
6.
Risiko Musyarakah
a) Side streaming
b) Lalai dan kesalahan yang disengaja
c) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah
Gambar 2.4 Skema al-Musyarakah
b.
Mudharabah
Mudharabah sebagian akad yang dilakukan antra pemilik
modal dengan pengolola dimana keuntungan disepakati di awal untuk di bagi
bersama dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal juga diterapkan oleh bank
syariah kedalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan mudharobah.
Mudharabah sendiri dibedakan menjadi dua macam yaitu
mudharobah muthlaqah dan mudharabah muqayyah. Mudharabah
muthlaqah dalam perbankan syariah pada umumnya diterapkan disisi penghimpunan
dana, sedangkan dalam kegiatan penyalurandana kepada masyarakat bank akan
cenderung memilih akad mudharabah muqoyadah untuk memudahkan momitoring dari
bank terhadap usaha nasabah.
a)
Landasan Syariah dan Landasan Hukum
...وَءَاخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ
اللهِ...
“...dan dari orang-oranng yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah SWT...” (al-Muzammil: 20)
Dari Shalih bin Shubaid r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhlah
(muudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)
Landasan hukum positif terdapat dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yakni pada ketentuan Pasal 1 ayat (13) yang mendefinisikan
mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara eksplisit merupakan salah
satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.
Mengenai pembiayaan mudharabah ini diatur dalam pasal
36 huruf b poin kedua PBI No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah,yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip
syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang
meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasrkan akad mudharabah.
Di samping itu perlu dikemukakan hal-hal yang
menjadi rukun dan syarat dari pembiayaan mudharabah, yaitu :
a.
Penyedia
dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
b.
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad) dengan memperhatikan :
1. Penawaran dan penerimaan harus secara
eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
2. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada
saat kontrak dan akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan aset yang
diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat :
a. Modal harus diketahui jumlah dan
jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau berang
yang dinilai (jika modal diberikan dalam bentuk aset tersebut harus dinilai
pada waktu akad).
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan
harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai
dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharib adalah jumlah yang
didapat sebagai kelebihan dari modal. Pembagian keuntungan antara shahibul maal
dengan mudharib juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Harus diperuntukkan bagi kedua belah
pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi
setiap pihak dan harus diketahui serta dinyatakan pada waktu kontrak disepakati
dalam bentuk prosentase/ nisbah
(perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan).
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian
atas usaha yang dikelola oleh mudharib, dan pengelola tidak menanggung kerugian
apapun. Kecuali terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan berupa
kesengajaan, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai
perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana juga harus memperhatikan :
1.
Kegiatan
usaha adalah hak eksklusif mudharib, penyedia dana tidak berhak melalukan
intervensi. Akan tetapi ia memunyai hak untuk melakukan pengawasan (monitoring)
atas usaha yang dilakukan oleh nasabah (mudharib).
2.
Penyedia
dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharib, yaitu keuntungan.
3.
Pengelola
tidak boleh menyalahi hukum syariah islam dalam tindakannya yang berhubungan
dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebijaksanaa yang berlaku dalam aktivitas
itu.
Berdasarkan pada pemaparan diatas secara singkat
dapat di tambahkan bahwa terdapat beberapa ketentuan hukum dalam pembiayaan
mudharabah antara lain yaitu :
1.
Mudharabah
boleh dibatasi pada periode tertentu.
2.
Kontrak
tidak boleh dikaitkan dengan sebuah kejadian dimasa depan yang belum tentu
terjadi.
3.
Pada
dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena akad ini bersifat
amanah (yad al-amanah) kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan.[22]
b)
Manfaat Mudharabah
1)
Bank akan menikmati penigkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat
2)
Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah
pendanaan.
3)
Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflow usaha nasabah.
4)
Bank akan lebih selektif dan berhati-hati (prudent).
5)
Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bungan yang ada di bank
konvensional.
c)
Risiko Mudharabah
1)
Side streaming
2)
Lalai dan kesalahan yang disengaja
3)
Penyembunyian keuntungan oleh nasabah
Gambar 2.5 Skema la-Mudharabah
2.4
Akad dan Produk Penyertaan Modal pada Bank Syariah
Unsur-unsur
modal kerja terdiri atas komponen-komponen akad likuid (cash),piutang (receivable),dan
persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw
material ),persediaan barang dalam proses (work in process),dan
persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena
itu,pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan
likuiditas (cash financing),pembiayaan piutang (receivable financing),dan
pembiayaan persediaan (inventory financing).
a.
Pembiayaan
Likuiditas (cash financing)
Pembiayaan
ini pada umunya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat
terjadinya ketidak sesuaian (mistached) antara cash inflow dan cash
out flow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh
bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau
yang biasa disebut kredit rekening Koran. Atas pemberian fasilitas ini,bank
memperoleh imbalan manfaat berupa bunga ats jumlah rata-rata pemakaian dana
yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Bank
syariah dapat menyediakan fasilitas semacam ini dalam bentuk qardh timbal
balik atau yang disebut compensating balance.
b.
Pembiayaan
piutang (receivable finance)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang
menjual barangnya dengan kredit,tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya
melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya. Bank
konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa hal-hal berikut.
1.
Pembiayaan
Piutang (receivable finance)
Bank
memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih
tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu, bank meminta cessie
atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya ,nasabah berkewajiban untuk
menagih sendiri piutangnya. Akan tetapi, bila bank merasa perlu, dengan menggunakan
cessie terssebut,bank berhak untuk menagih lansung kepada yang berhutang. Hasil
penagihan tersebut pertama-tama digunakan untuk membayar kembali pinjaman
nasabah berikut bunganya dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila
ternyata piutang tersebut tidak tertagih,nasabah wajib membyar kembali pinjaman
tersebut berikut bunganya kepada bank.
2.
Anjak
Piutang (factoring)
Fasilitas
ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah. Untuk
keperluan tersebut,nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaskep oleh
pihak yeng berhutang atau promissory notes (promes) yang diteebitkan
oleh pihak yang berhutang,kemudian di-endors oleh nasabah. Draf atau
promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang
berlaku atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes
tersebut. Bila saat jatuh tempo daraf atau promes tersebut ternyata tidak
tertagih,nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf
tersebut.
Untuk
kasus pembiayaan piutanga seperti tersebut diatas hanya dapat dilakukan dalam
bentuk qardh dimana bank tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya
administrasi. Untuk kasus anjak piutang,bank dapat memberikan fasilitas
pengambilalihan piutang,,yaitu yang disebut hiwalah. Akan tetapi,untuk
fasilitas ini pun bank tidak dibenarkan dalam meminta imbalan kecuali biaya
layanan atau administrasi dan biaya penagihan. . Dengan demikian ,bank syariah
meminjam uang (qardh) sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang
(wesel tagih atau promes) yag diserahkan kepada bank-tanpa potongan. Hal ini
adalah bila ternyata pada saat jatuh tempo,hasil tagihan itu digunakan untuk
melunasi utang kepada nasabah kepada bank. Akan tetapi,bila putang itu tidak
diatgih,nasabah harus membayar kembali utangnya itu kepada bank . Selain itu
ulama memberikan jalan keluar berupa pembelian surat utang (bai’ ad-dayn),
tetapi sebagian ulama melarangnya.
a) Bai’ al-Murabahah
Pembiayaaan dalam usaha produksi terdiri
atas biaya pengadaan bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi,bahan
baku tersebut akan menjadi barng setengah jadi,kemudian menjadi barang jadi
yang siap untuk dijual. Bila barang itu dibeli dengan kredit ia berubah menjadi
piutang dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
b) Bai’ al-Istisna’
Melalui fasilitas ini,bank
melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak
(biasanya sebesar biaya produksi ditambah) keuntungan bagi produsen,tettapi
lebih rendah dari harga jual) dan dengan pebayaran dimuka secara
bertahap,sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.
Kombinasi pembelian dari
nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema
pembiayaan berupa istisna’ parallel atau istisna’ wal muraabahah ,dan bila
hasil produksi tersebut disewakan,skemanay menjadi istisna’ wal ijarah .
Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istisna’)
dengan harga jual murabahah atau dari hasil sewa (ijarah)
c) Bai’ as-Salam
Untuk produksi yang prosesnya tidak
dapat dikuti,seperti produksi pertanian,bank dapat memberikan fasilitas bai’
as-salam. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang kepada
nasabah dengan pembayaran dimuka secara sekaligus dan nasabah berkewahiban men-deliver
barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang
bersamaan, bank
dapat mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi in disebut salam
parallel.
Bila produksi itu dilakukan
secara terus menerus dan perputaran
modal kerja tersebut telah sedemikian cepatnya sehingga nasabah memerlukan
pembiayaan modal kerja secara evergreen,skema pembiayaan yang paling
tepat adalah al-mudharabah.
c.
Pembiayaan
Persediaan (inventory financing)
Bank
konvensional dapat dijumpai
adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan
(inventory financing). Bank syariah mempunyai ekanisme tersendiri untuk
memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut,yaitu antara lain dengan
menggunakan prinsip jual belli (bai’) dalam dua tahap. Tahap
pertama,bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai barang-baarang yang
dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua,bank menjual kepada nasabah pembeli dengan
pembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama
anatara bank dan nasabah.
d.
Pembiayaan
Modal Kerja Untuk Perdagangan
1.
Perdagangan
Umum
Perdagangan
umum adalah perdagangan yang dilakukan dengan target pembelli siapa saja yang
datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual,baik
pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller ).
Pada umunya,perputaran modal kerja (working capital turnover )
perdagangan semacam ini sangat tingg,tetapi perdagangan harus mempertahankan
sejumlah persediaan yang cukup karena barang-barang yang dijual itu sebatas
jumlah persediaan yang ada atau telah dikusai penjual.
Untuk
pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini,skema yang paling tepat adalah
skema mudharabah.
a.
Perdagangan
Berdasarkan Pesanan
Perdagangan ini biasanya tidak
dilakukan atau diiselesaikan di tempat penjual,yaitu seperti perdagangan antar
kota,perdagangan antar pulau,atau perdagangaan antar Negara. Pembeli terlebih
dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh
barang atau dafar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya,pembeli hanya
akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal ini
untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidak mampuan jumlah dan kualitas
barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran
atau pemesanan.
Berdasarkan pesanan itu,penjual
lalu mengumpulkan barang-barang yang diminta dengan carra membeli atau
memesan,baik dari prodesen maupun dari
pedagang lainnya. Setelah terkumpul,barulah dikirimkan kepada pembeli sesuai
pesanan. Apabila barang telah dikirim, penjual juga menghadapi kemungkinan
risiko tidak dibayarnya barang yang dikirimnya itu.
Untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi kedua belah pihak,bank konvensional telah memberikan jalan keluarnya,yaitu
fasilitas letter of credit (L/C). Bank syariah telah dapaat mengadopsi
mekanisme (L/C) itu dengan menggunakan skema al-wakalah,al-musyarakah,al-mudharabah,
ataupun al-murabahah. Dalam al-wakalah,bank syariah hanya
memperoleh pendapatan berupa fee atas jasa yang diberikannya.[23]
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam
menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah.
Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarikan pada kepercayaan yang
diberikan oleh pihak pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana percaya
kepada penerima dana bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan pasti
akan terbayar. Penerimaan pembiayaan mendapat kepercayaan dari pemberi
pembiayaan, sehingga penerima pembiayaan berkewajiban untuk mengembalikan
pembiayaan yang telah diterimanya sesuai dengan jangka waktu yang telah
diperjanjikan dalam akad pembiayaan.
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank,
yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
yang merupakan defisit unit.[24]
Dalam kegitan penyaluran dana atau pembiayaan dana bank syariah harus
berpedoman pada prinsip-prinsip yang sudah diatur oleh Bank Indonesia. Maka
dari itu bank wajib meneliti nasabah secara seksama berdasarkan ketentuan yang
sudah ditetapkan oleh syariat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim, Adiwarman. 2008. Islamic Banking; Fiqh And Financial Analysis;
Edisi Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Az- Zuhaili, Wahbah. 1984. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Juz 4. Syiriah.
Bhinadi, Ardito. Tujuh Transaksi yang Haram. http://muamalah-ardito.blogspot.co.id/2012/03/tujuh-transaksi-yang-haram.html diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 pada pukul 19.30
WIBNur Diana, Ilfi. 2008. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: UIN Malang
Press.
Ghofur Anshori, Abdul. 2007. Perbankan Syariah di Indonesia.
Yogyakarta: UGM Press
sIsmail. Perbankan Syariah. 2001. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nur Rianto Al Arif, M. 2010. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah.
Bandung: Alfabeta.
Syafii Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari
Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
.
[1] Ismail, Perbankan
Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001, hlm. 106.
[2] Muhammad Syafii
Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani,
2001, hlm. 160.
[3] Ismail, Perbankan
Syariah, hlm. 106.
[4] Muhammad Syafii
Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, hlm. 160.
[5] Ibid, 160-161.
[6] Ismail, Perbankan
Syariah, hlm. 138
[9] Dr.
H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si, Tujuh Transaksi yang Haram, http://muamalah-ardito.blogspot.co.id/2012/03/tujuh-transaksi-yang-haram.html diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 pada pukul 19.30 WIB.
[10] Adiwarman A.
Karim, Islamic Banking; Fiqh And Financial Analysis; Edisi Ketiga,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), 98.
[24] Muhammad Syafii
Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani,
2001, hlm. 160.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut