Kamis, 13 September 2018

MAKALAH MUDHARABAH



 

MAKALAH

MUDHARABAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu:
Dzikrullah SE. MEI.


Disusun oleh
Jamilah                      (150721100125)
Zakiyatur Rahmah     (150721100126)
Mifrohatul Fatiyah    (150721100158)
Anisa Putri Nur K.    (150721100164)


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Mudaharabah”  ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam pelajaran Fiqih Muamalah. Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para pembaca khususnya dalam bidang ekonomi.
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dzikrullah S,E.M,EI selaku Dosen mata kuliah Fiqih Muamalah dan terima kasih kepada teman – teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Bangkalan, 04 September 2016



Penyusun







DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Mudharabah............................................................................. 3
2.2 Landasan Hukum............................................................................................ 5
2.3 Rukun Mudharabah......................................................................................... 5
2.4 Jenis Mudharabah............................................................................................ 6
2.5 Sifat Mudharabah............................................................................................ 6
2.6 Syarat Mudharabah......................................................................................... 6
2.7 Hukum Mudharabah ...................................................................................... 8
2.8 Mekanisme Kerjasama Akad Mudharabah..................................................... 13

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Salah satu akad dalam kegiatan ekonomi Islam adalah Mudharabah. Banyak sekali para pelaku ekonomi yang memiliki kemampuan untuk mengelola harta tetapi tidak memiliki modal yang cukup untuk digunakan dalam membangun usaha.
Di sisi lain, banyak juga yang memiliki modal tetapi justru tidak dapat memnfaatkannya dengan baik sehingga diperlukan bantuan orang lain untuk memperlancar usahanya.
Dengan dua permasalahan tersebut muncullah yang dimakan dengan mudahrabah atau qiradh. Mudharabah dapat mempermudah kedua belah pihak untuk dapat menyalurkan apa yang dia miliki sehingga keduanya dapat mendapatkan keuntungan.
Hal tersebut juga dapat membantu dalam hal pendistribusian. Apabila distribusi harta di suatu negara telah merata maka negara tersebut dapat dikatan sebagai negara yang berhasil secara finansial dan sosial.
1.2    Rumusan Masalah
a.         Bagaimana konsep dasar mudharabah?
b.        Bagaimana landasan hukum mudharabah?
c.         Apa saja rukum mudharabah?
d.        Apa saja jenis mudharabah?
e.         Bagaimana sifat dari mudharabah?
f.         Apa saja syarat dari mudharabah?
g.        Bagaimana hukum dari mudharabah?
h.        Bagaimana mekanisme kerjasama akad mudahrabah?
1.3     Tujuan Masalah
a.       Mengetahui bagaimana konsep dasar mudharabah.
b.      Mengetahui bagaimana landasan hukum mudharabah.
c.       Mengetahui apa saja rukum mudharabah.
d.      Mengetahui apa saja jenis mudharabah.
e.       Mengetahui bagaimana sifat dari mudharabah.
f.       Mengetahui apa saja syarat dari mudharabah.
g.      Mengetahui bagaimana hukum dari mudharabah.
h.      Mengetahui bagaimana mekanisme kerjasama akad mudahrabah.


























BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Konsep Dasar Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiyah adalah bepergian atau berjalan. Sebagaimana firman Allah:
وَاخَرُوْنَ بَضْرِبُوْنَ فِى لأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مَنْ فَضْلِ اللهِ
Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah (Al-Muzamil: 20).
Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagai keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan muamalah.[1]
Jadi menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, dan atau bepergian.
a.         Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orrang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2]
b.        Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.[3] Maka mudharabah ialah:
عُقْدٌ عَلَى الشَرْكَةِ فِى الرِّبْحِ بِمَالٍ مِنْ اَحَدِ الْجَانِبَيْنِ وَعَمَلِ مِنَ الْاَخَرِ
“Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik saja.”
c.         Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah:[4]
عُقْدُ تَوْكِيْلٍ صَادَرَمِنْ رَبِّ الْمَالِ لِغَيْرِهِ عَلَى اَنْ يَتَّجِرَ بِخُصُوْصِ النَّقْدَيْنِ (الَّذَهَبِ وَالْفِضَّةِ)
“Akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”
d.    Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah ialah:[5]
عِبَارَةٌ أَنْ يَدْ فَعَ صَاحِبُ الْمَالِ قَدْرًا مُعَيَّنَا مِنْ مَالِهِ إِلَى مَنْ يَتَّجِرُ فِيْهِ بِجُزْءٍ مُشَاعٍ مَعْلُوْمٍ مِنْ رِبْحِه
“Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang  berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.”
e.         Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah:[6]
عَقْدٌ يَقْتَضِى أَنْ يَدْ فَعَ شَخْصٌ لاِخَرَ مَا لاً لِيَتَّجِرَفِيْه
“Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.”
f.          Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah:[7]
أَنْ يَّدْ فَعَ إِلَى شَخْصٍ مَالاً لِيَتَّجِرَفِيْه وَالرِّبْحُ مُشْتَرَكٌ
“Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.”
g.        Al-Bakri Ibn al-arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat mudharabah ialah:[8]
تَفْوِيْضُ شَجْصٍ أَمْرَهُ إِلَى اَخَرِهِ فِيْمَا يَقْبَلُ النَّيَابَة
“Seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalamnya di dalamnya diterima penggantian.”
h.        Sayyid sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.[9]
i.          Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah:[10]
عَقْدٌعَلَى نَقْدٍلِيَتَصَرُّفَ فِيهِ العَامِلُ بِاالتِجَرَة
“Akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.[11]
2.2    Landasan Hukum
Dasar hukum diperbolehkannya mudharabah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., Rasullulah bersabda:
ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الّبَيْعُ إِلَى اَجَلٍ و الْمُقَا رَضَةُ وَخَلَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِلِلْبَيْتِ وَلاَ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan; “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan dibawa menyebrangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku.”
Qiradh atau mudharabah sudah ada sejak zaman Rasul dan ia tekah tahu dan mengakui adanya hal tersebut.
2.3    Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab qabul. Yakni lafadz yang menunjukkan ijab qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengan itu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shighat (ijab qabul). Ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi lima rukun yaitu, modal, pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang yang akad.[12]
2.4    Jenis Mudharabah
Mudharabah dibagi menjadi dua macam yakni, mudaharabah mutlak (al-muthlaq) dan mudharabah terikat (al-muqayyad).
Mudaharabah mutlak adalah penyerahaan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan.[13] Mudharabah muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memeberikan batasan.[14]
Dalam pembahasan mudharabah muqayyad terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafi dan Imam Ahmad dengan Syafiiyah dan Malikiyah. Menurut ulama Hanafi dan Imam Ahmad memperbolehkan adanya ikatan dalam mudaharabah muqayyad. Hal yang diperbolehkan adalah batasan waktu dan orang dan memperbolehkan akad bila dikaitkan dengan masa yang akan datang. Sementara ulama Syafiiyah dan Malikiyah tidak memperbolehkannya.
2.5    Sifat Mudharabah
Para ulama sepakat bahwa dalam akad Mudharabah apabila belum dikerjakan oleh pekerja maka sifatnya tidak lazim. Sementara itu terdapat perbedaan pendapat apabila akad mudharabah itu sudah dikerjakan oleh pekerja. Ulama Malikiyah berpendapat akad tersebut termasuk lazim sedangkan ulama lain seperti Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah menganggap hal tersebut tidak lazim, yakni tidak dapat diwariskan.
2.6    Syarat Mudaharabah
Syarat sah mudharabah berkaitan dengan aqidani (dua orang yang akan akad), modal, dan laba.
1.        Syarat aqidani
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah  ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus muslim. Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di negara Islam.
Adapun ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika melakukan riba.
2.        Syarat Modal
a.         Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham atau sejenisnya, yakni segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-syirkah)
b.        Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c.         Modal harus ada, bukan bukan berupa utang, tetapi tidak berati harus ada di tempat akad. Juga dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada orang lain, seperti “Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal dan usahakan!”.
d.        Modal harus diberikan kepada pengusaha. Hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah.
3.        Syarat-syarat Laba
a.        Laba harus memiliki ukuran
Mudharabah dimaksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian, jika laba tidak jelas, mudharabah batal. Namun demikian, pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sesbesar Rp 5.000.000 misalnya untuk dibagi di antara keduanya, tanpa menyebutkan ukuran laba yang akan diterimanya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung oleh kedua belah pihak yang akad, maka akad rusak, tetapi mudharabah tetap sah. Hal ini karena dalam mudharabah, kerugiannya harus di tanggung oleh pemilik modal. Sedangkan apabila pemilik modal mensyaratkan laba harus diberikan semuanya kepadanya, hal itu tidak dikatakan mudharabah, tetapi pedagang.
Sebaliknya, jika pengusaha mensyaratkan laba harus diberikan kepadanya, menurut ulama hanafiyah dan hanabilah, hal itu termasuk qaradh, tetapi menurut ulama syafiiyah termasuk mudharabah yang rusak. Pengusaha diberi upah sesuai usahanya, sebab mudharabah mengharuskan adanya pembagian laba. Dengan demikian, jika laba disyaratkan harus dimiliki seseorang, akad menjadi rusak.
Ulama Malikiyah membolehkan pengusaha mensyaratkan semua laba untuknya. Begitu pula, semua laba boleh untuk pemilik modal sebab termasuk tabarru’ (derma).
b.        Laba harus berupa bagian yang umum (masyhur)
Pembagian laba harus seuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan di antara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedangkan setengah lagi diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi, tidak dibolehkan menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak dan sisanya bagi pihak lain, seperti menetapkan laba 1.000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha. 
2.7    Hukum Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu mudharabah sahih dan mudharabah fasid. Kedua jenis mudharabah ini akan menjelaskan dibawah ini
2.7.1        Hukum mudharabah fasid
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan,
Berburulah dengan jaring saya dan hasil buruannya dibagi di antara kita”.
Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa penyertaan termasuk tidak dapat dikatakan tidak dapat dikatakan mudharabah yang sahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjaanya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akadnya fasid. Namun, jika modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafiiyah dan hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Beberapa hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
a.         Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi, atau mengambil barang.
b.        Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.         Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan  harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.
7.6.2        Hukum Mudharabah Sahih
Hukum mudharabah sahih yang tergolong sahih cukup banyak, di antaranya berikut ini.
a.        Tanggung Jawab Pengusaha
Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di tangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas izin pemiliknya.
Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-bersama dengan pemilik modal.
Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan upah.
Jika harta rusak tanpa disengaja, ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian pun, ditanggung oleh pengusaha saja.
Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung jawab atas rusaknya modal, menurut ulama hanafiyah dan hanabilah, syarat tersebut adalah batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung jawab atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa mudharabah batal.
b.        Tasharruf Pengusaha
Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada mudharabah atau terikat.
1.        Pada mudharabah mutlak
Menurut ulama Hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual-beli. Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah:
a.         Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
b.        Menurut ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan melebihi modal yang diberikan kepadanya.
c.         Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya atau harta milik orang lain.
Dalam mudharabah mutlak, menurut ulama Hanafiyah, pengusaha dibolehkan menyerahkan modal tersebut kepada pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal. Namun demikian, harta tersebut tetap berada di bawah tanggung jawabnya (pengusaha pertama). Jika mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang diterima oleh pengusaha pertama dibagi lagi dengan pengusaha kedua sesuai kesepakatan di antara keduanya.
Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha bertanggung jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertama tidak berhak mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang berusaha secara sempurna.
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seizin pemilik modal.
2.        Pada Mudharabah Terikat
Secara umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, antara lain berikut ini.
a.         Penentuan tempat
Jika pemilik  modal menentukan tempat, seperti ucapan, “Gunakan modal ini untuk mudharabah, dengan syarat harus di daerah Tasikmalaya”. Pengusaha harus mengusahakannya di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan yang dibolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daerah Tasikmalaya, ia bertanggung jawab atas modal tersebut beserta kerugiannya.
b.        Penentuan orang
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang, sebab hal ini termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama Syafiiyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dengan dan menghambat pencarian laba.
c.         Penentuan waktu
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga jika melewati batas, akad batal. Adapun ulma Syafiiyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh dalam waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu tertentu.
c.         Hak-hak pengusaha (al-madharib)
Pengusaha memiliki dua hak atas harta mudharabah, yaiktu hak nafkah (menggunakan untuk keperluannya) dan hak laba, yang telah di tentukan dalam akad.
a)        Hak nafkah (membelanjakan)
Para ulama berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau harta mudharabah. Secara umum, pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1.        Imam Syafii, menurut riwayat paling zahir, berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizin pemilik modal sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba. Jika pengusaha mensyaratkan kepada pemilik modal agar dibolehkan menggunakan modal untuk keperluannya, akad mejadi rusak.[15] 
2.        Jumhur ulama di antaranya Iman Malik, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah dalam perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan lain-lain. Hanya saja menurut Imam Malik hal itu bisa dilakukan jika modal yang ada memang mencukupi untuk itu.[16] 
3.        Ulama Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menafkahkan harta untuk keperluannya, baik pada waktu menetap maupun dalam perjalanan jika disyaratkan pada waktu akad.[17] Dengan demikian, jika tidak disyaratkan pada waktu akad, tidak boleh menafkahkan modal.
Di antara alasan para ulama membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal mudharabah untuk keperluan antara lain, jika modal boleh dinafkahkan, dikhawatirkan manusia tidak mau mudharabah sebab kebutuhan mereka cukup banyak ketika mudharabah.
Belanja yang di bolehkan, sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, adalah kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian, dan lain-lain, dengan syarat tidak berlebih-lebihan (isyraf).
Belanja tersebut kemudian dikurangkan dari laba, jika sudah ada laba. Jika tidak ada laba, diambil dari modal.[18]
b)        Hak mendapatkan laba
Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetapan dalam akad, jika usahanya mendapatkan laba. Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia bekerkja untuk dirinya sendiri. Dalam pembagian laba, disyaratkan setelah modal diambil.
Diantara dalil-dalil yang mengharuskan pemilik modal mengambil modalnya terlebih dahulu adalah hadits yang menyatakan bahwa Rosulullah SAW bersabda:
مثل المؤمن مثل التاجر لايسلم ربحة حتى يسلم راس ماله
Perumpamaan orang muslim seperti pedagang, tidak menyerahkan laba sehingga menyerahkan modalnya.”
Berdasarkan hadis di atas, para ahli fiqih sepakat bahwa sebelum laba diberikan, pengusaha diharuskan menyerahkan dahulu modal kepada pemiliknya.
d.        Hak Pemilik Modal
Hak bagi pemilik modal adalah mengambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
2.8    Mekanisme Kerjasama Akad Mudharabah
Kerjasama mudharabah merupakan kerjasama antara seseorang yang memiliki modal tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya sehingga memerlukan bantuan seorang pekerja yang mampu mengelola harta tersebut.
Setelah adanya keinginan tersebut maka akan dilakukan ijab qabul serta kesepakatan dalam pembagian labanya. Hal tersebut merupakan kesepakatan bersama. Pemodal tersebut akan menyerahkan hartanya untuk dikelola oleh pekerja baik secara terikat maupun tidak.
Kemudian pekerja tersebut akan mengelolanya dengan digunakan sebagai modal kerja hingga akhirnya menghasilkan laba maupun keuntungan. Dari keuntungan tersebut akan dibagi sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya. Pemodal akan mendapat bagian atas modal yang ia sertakan untuk dikelola sedangkan pekerja mendapat bagian laba atas usaha yang telah ia lakukan.
Dengan adanya akad mudharabah ini pekerja yang tidak memiliki modal untuk memulai usaha mendapatkan untung dari usahanya. Hal tersebut juga berdampak baik pada pemodal yang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengelola hartanya sehingga harta tersebut dapat berkembang dan menghasilkan laba.




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.
Dasar hukum diperbolehkannya mudharabah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., Rasullulah bersabda:
ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الّبَيْعُ إِلَى اَجَلٍ و الْمُقَا رَضَةُ وَخَلَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِلِلْبَيْتِ وَلاَ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shighat (ijab qabul). Mudharabah dibagi menjadi dua macam yakni, mudaharabah mutlak (al-muthlaq) dan mudharabah terikat (al-muqayyad). Hukum mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu mudharabah sahih dan mudharabah fasid.
Kerjasama mudharabah merupakan kerjasama antara seseorang yang memiliki modal tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya sehingga memerlukan bantuan seorang pekerja yang mampu mengelola harta tersebut. Dengan adanya akad mudharabah ini pekerja yang tidak memiliki modal untuk memulai usaha mendapatkan untung dari usahanya. Hal tersebut juga berdampak baik pada pemodal yang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengelola hartanya sehingga harta tersebut dapat berkembang dan menghasilkan laba.






DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2001. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Khosyi’ah, Siah. 2014. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 ), hlm. 135. Dikutip dari, al-Igna, hlm. 53
[2] Ibid, 136
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Ibid, hlm. 137
[7] Ibid,
[8] Ibid,
[9] Ibid, dikutip dari, Fiqh al-Sunnah, hlm. 211.
[10] Ibid, hlm. 138.
[11] Ibid,
[12] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 226.
[13] Ibid, 227.
[14] Ibid, 227.
[15] Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II, hlm.317
[16] Al-Kasani, Op.Cit., juz IV, hlm. 105.
[17] Ibnu Qudamah, Al-Mugni., juz V. hlm. 64.
[18] Al-Juhaili, juz IV. hlm. 866.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar