MAKALAH
MUDHARABAH
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu:
Dzikrullah
SE. MEI.
Disusun oleh
Jamilah (150721100125)
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
Mifrohatul Fatiyah (150721100158)
Anisa Putri Nur K. (150721100164)
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Mudaharabah”
ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu
tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam pelajaran Fiqih Muamalah. Makalah
ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para
pembaca khususnya dalam bidang ekonomi.
Dengan selesainya makalah ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada
kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dzikrullah S,E.M,EI selaku Dosen mata kuliah Fiqih Muamalah dan terima kasih
kepada teman – teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya,
mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Bangkalan,
04 September 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Mudharabah............................................................................. 3
2.2 Landasan Hukum............................................................................................ 5
2.3 Rukun Mudharabah......................................................................................... 5
2.4 Jenis Mudharabah............................................................................................ 6
2.5 Sifat Mudharabah............................................................................................ 6
2.6 Syarat Mudharabah......................................................................................... 6
2.7 Hukum Mudharabah ...................................................................................... 8
2.8 Mekanisme Kerjasama Akad Mudharabah..................................................... 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu akad
dalam kegiatan ekonomi Islam adalah Mudharabah. Banyak sekali para pelaku
ekonomi yang memiliki kemampuan untuk mengelola harta tetapi tidak memiliki modal
yang cukup untuk digunakan dalam membangun usaha.
Di sisi lain,
banyak juga yang memiliki modal tetapi justru tidak dapat memnfaatkannya dengan
baik sehingga diperlukan bantuan orang lain untuk memperlancar usahanya.
Dengan dua
permasalahan tersebut muncullah yang dimakan dengan mudahrabah atau qiradh.
Mudharabah dapat mempermudah kedua belah pihak untuk dapat menyalurkan apa yang
dia miliki sehingga keduanya dapat mendapatkan keuntungan.
Hal tersebut juga
dapat membantu dalam hal pendistribusian. Apabila distribusi harta di suatu
negara telah merata maka negara tersebut dapat dikatan sebagai negara yang
berhasil secara finansial dan sosial.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana konsep dasar mudharabah?
b.
Bagaimana landasan hukum mudharabah?
c.
Apa saja rukum mudharabah?
d.
Apa saja jenis mudharabah?
e.
Bagaimana sifat dari mudharabah?
f.
Apa saja syarat dari mudharabah?
g.
Bagaimana hukum dari mudharabah?
h.
Bagaimana mekanisme kerjasama akad mudahrabah?
1.3 Tujuan
Masalah
a. Mengetahui
bagaimana konsep dasar mudharabah.
b. Mengetahui
bagaimana landasan hukum mudharabah.
c. Mengetahui apa
saja rukum mudharabah.
d. Mengetahui apa
saja jenis mudharabah.
e. Mengetahui
bagaimana sifat dari mudharabah.
f. Mengetahui apa
saja syarat dari mudharabah.
g. Mengetahui bagaimana hukum dari mudharabah.
h. Mengetahui bagaimana mekanisme kerjasama akad mudahrabah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep Dasar Mudharabah
Mudharabah
berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiyah adalah
bepergian atau berjalan. Sebagaimana firman Allah:
وَاخَرُوْنَ بَضْرِبُوْنَ فِى لأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مَنْ
فَضْلِ اللهِ
Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi
mencari karunia Allah (Al-Muzamil: 20).
Selain
al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu,
berarti al-qath’u (potongan karena pemilik memotong sebagian hartanya
untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagai keuntungannya. Ada pula yang
menyebut mudharabah atau qiradh dengan muamalah.[1]
Jadi
menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u
(potongan), berjalan,
dan atau bepergian.
a.
Menurut
para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orrang) saling
menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk
diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti
setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2]
b.
Menurut
Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad
yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang
lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.[3]
Maka mudharabah ialah:
عُقْدٌ عَلَى الشَرْكَةِ فِى الرِّبْحِ بِمَالٍ مِنْ
اَحَدِ الْجَانِبَيْنِ وَعَمَلِ مِنَ الْاَخَرِ
“Akad syirkah dalam laba, satu pihak
pemilik harta dan pihak lain pemilik saja.”
c.
Malikiyah
berpendapat bahwa mudharabah ialah:[4]
عُقْدُ تَوْكِيْلٍ صَادَرَمِنْ رَبِّ الْمَالِ
لِغَيْرِهِ عَلَى اَنْ يَتَّجِرَ بِخُصُوْصِ النَّقْدَيْنِ (الَّذَهَبِ
وَالْفِضَّةِ)
“Akad
perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”
d. Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah
ialah:[5]
عِبَارَةٌ أَنْ يَدْ فَعَ صَاحِبُ الْمَالِ قَدْرًا مُعَيَّنَا مِنْ
مَالِهِ إِلَى مَنْ يَتَّجِرُ فِيْهِ بِجُزْءٍ مُشَاعٍ مَعْلُوْمٍ مِنْ رِبْحِه
“Ibarat pemilik harta menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang
diketahui.”
e.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah:[6]
عَقْدٌ يَقْتَضِى أَنْ يَدْ فَعَ شَخْصٌ لاِخَرَ مَا لاً
لِيَتَّجِرَفِيْه
“Akad
yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk
ditijarahkan.”
f.
Syaikh Syihab
al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah:[7]
أَنْ يَّدْ
فَعَ إِلَى شَخْصٍ مَالاً لِيَتَّجِرَفِيْه وَالرِّبْحُ مُشْتَرَكٌ
“Seseorang
menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan
bersama-sama.”
g.
Al-Bakri Ibn
al-arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat mudharabah ialah:[8]
تَفْوِيْضُ شَجْصٍ أَمْرَهُ
إِلَى اَخَرِهِ فِيْمَا يَقْبَلُ النَّيَابَة
“Seseorang
memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalamnya di dalamnya diterima
penggantian.”
h.
Sayyid sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah
pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan
dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.[9]
i.
Menurut
Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah:[10]
عَقْدٌعَلَى نَقْدٍلِيَتَصَرُّفَ فِيهِ العَامِلُ
بِاالتِجَرَة
“Akad
keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”
Setelah
diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya
dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara
pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa
keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.[11]
2.2
Landasan Hukum
Dasar hukum diperbolehkannya mudharabah adalah sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., Rasullulah
bersabda:
ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الّبَيْعُ إِلَى اَجَلٍ و الْمُقَا رَضَةُ وَخَلَطُ
الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِلِلْبَيْتِ وَلاَ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga perkara yang diberkati:
jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai
untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam
apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan; “harta jangan
digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan dibawa
menyebrangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu,
maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku.”
Qiradh atau
mudharabah sudah ada sejak zaman Rasul dan ia tekah tahu dan mengakui
adanya hal tersebut.
2.3
Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab qabul. Yakni
lafadz yang menunjukkan ijab qabul dengan menggunakan mudharabah,
muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengan itu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah
ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud
alaih), dan shighat (ijab qabul). Ulama Syafi’iyah lebih memerinci
lagi menjadi lima rukun yaitu, modal, pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang
yang akad.[12]
2.4
Jenis Mudharabah
Mudharabah dibagi menjadi dua macam yakni, mudaharabah
mutlak (al-muthlaq) dan mudharabah terikat (al-muqayyad).
Mudaharabah
mutlak adalah penyerahaan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan
batasan.[13] Mudharabah
muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha
dengan memeberikan batasan.[14]
Dalam pembahasan mudharabah muqayyad terdapat
perbedaan pendapat antara ulama Hanafi dan Imam Ahmad dengan Syafiiyah dan
Malikiyah. Menurut ulama Hanafi dan Imam Ahmad memperbolehkan adanya ikatan
dalam mudaharabah muqayyad. Hal yang diperbolehkan adalah batasan waktu
dan orang dan memperbolehkan akad bila dikaitkan dengan masa yang akan datang.
Sementara ulama Syafiiyah dan Malikiyah tidak memperbolehkannya.
2.5
Sifat Mudharabah
Para ulama sepakat bahwa dalam akad Mudharabah
apabila belum dikerjakan oleh pekerja maka sifatnya tidak lazim. Sementara itu
terdapat perbedaan pendapat apabila akad mudharabah itu sudah dikerjakan
oleh pekerja. Ulama Malikiyah berpendapat akad tersebut termasuk lazim sedangkan
ulama lain seperti Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah menganggap hal tersebut
tidak lazim, yakni tidak dapat diwariskan.
2.6
Syarat Mudaharabah
Syarat sah mudharabah berkaitan dengan aqidani (dua orang
yang akan akad), modal, dan laba.
1.
Syarat aqidani
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni
pemilik modal dan pengusaha adalah ahli
dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik
modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus muslim. Mudharabah
dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di negara
Islam.
Adapun ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah dengan
kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika melakukan
riba.
2.
Syarat Modal
a.
Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham atau sejenisnya, yakni
segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-syirkah)
b.
Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c.
Modal harus ada, bukan bukan berupa utang, tetapi tidak berati harus ada di
tempat akad. Juga dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada orang
lain, seperti “Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal dan
usahakan!”.
d.
Modal harus diberikan kepada pengusaha. Hal itu dimaksudkan agar pengusaha
dapat mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah.
3.
Syarat-syarat Laba
a.
Laba harus memiliki ukuran
Mudharabah dimaksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan
demikian, jika laba tidak jelas, mudharabah batal. Namun demikian, pengusaha
dibolehkan menyerahkan laba sesbesar Rp 5.000.000 misalnya untuk dibagi di
antara keduanya, tanpa menyebutkan ukuran laba yang akan diterimanya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila pemilik modal
mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung oleh kedua belah pihak yang akad,
maka akad rusak, tetapi mudharabah tetap sah. Hal ini karena dalam mudharabah,
kerugiannya harus di tanggung oleh pemilik modal. Sedangkan apabila pemilik
modal mensyaratkan laba harus diberikan semuanya kepadanya, hal itu tidak
dikatakan mudharabah, tetapi pedagang.
Sebaliknya, jika pengusaha mensyaratkan laba harus
diberikan kepadanya, menurut ulama hanafiyah dan hanabilah, hal itu termasuk
qaradh, tetapi menurut ulama syafiiyah termasuk mudharabah yang rusak.
Pengusaha diberi upah sesuai usahanya, sebab mudharabah mengharuskan adanya
pembagian laba. Dengan demikian, jika laba disyaratkan harus dimiliki
seseorang, akad menjadi rusak.
Ulama Malikiyah membolehkan pengusaha mensyaratkan semua
laba untuknya. Begitu pula, semua laba boleh untuk pemilik modal sebab termasuk
tabarru’ (derma).
b.
Laba harus berupa bagian yang umum (masyhur)
Pembagian laba harus seuai dengan keadaan yang berlaku
secara umum, seperti kesepakatan di antara orang yang melangsungkan akad bahwa
setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedangkan setengah lagi diberikan
kepada pengusaha. Akan tetapi, tidak dibolehkan menetapkan jumlah tertentu bagi
satu pihak dan sisanya bagi pihak lain, seperti menetapkan laba 1.000 bagi
pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.
2.7
Hukum Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu mudharabah
sahih dan mudharabah fasid. Kedua jenis mudharabah ini akan
menjelaskan dibawah ini
2.7.1
Hukum mudharabah fasid
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah
mengatakan,
“Berburulah
dengan jaring saya dan hasil buruannya dibagi di antara kita”.
Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah berpendapat
bahwa penyertaan termasuk tidak dapat dikatakan tidak dapat dikatakan
mudharabah yang sahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas
pekerjaanya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan
kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab
akadnya fasid. Namun, jika modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan
pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafiiyah dan hanabilah hampir sama
dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Beberapa hal lain dalam mudharabah fasid yang
mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
a.
Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual,
memberi, atau mengambil barang.
b.
Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha
tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.
Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain
atau barang lain miliknya.
7.6.2
Hukum Mudharabah Sahih
Hukum mudharabah sahih yang tergolong sahih cukup banyak,
di antaranya berikut ini.
a.
Tanggung Jawab Pengusaha
Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung
jawab atas modal yang ada di tangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena
kepemilikan modal tersebut atas izin pemiliknya.
Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba
secara bersama-bersama dengan pemilik modal.
Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab yang
menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak
untuk mendapatkan upah.
Jika harta rusak tanpa disengaja, ia tidak bertanggung
jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian pun, ditanggung
oleh pengusaha saja.
Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung jawab
atas rusaknya modal, menurut ulama hanafiyah dan hanabilah, syarat tersebut
adalah batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung jawab
atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama Malikiyah dan Syafiiyah
berpendapat bahwa mudharabah batal.
b.
Tasharruf Pengusaha
Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda bergantung
pada mudharabah atau terikat.
1.
Pada mudharabah mutlak
Menurut ulama Hanafiyah, jika mudharabah mutlak,
maka pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus
kepada pendapatan laba, seperti jual-beli. Begitu pula pengusaha dibolehkan
untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk
mengusahakan harta tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh
pengusaha adalah:
a.
Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari
pemiliknya.
b.
Menurut ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan
melebihi modal yang diberikan kepadanya.
c.
Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak
boleh mencampurkannya dengan harta miliknya atau harta milik orang lain.
Dalam mudharabah mutlak, menurut ulama Hanafiyah,
pengusaha dibolehkan menyerahkan modal tersebut kepada pengusaha lainnya atas
seizin pemilik modal. Namun demikian, harta tersebut tetap berada di bawah
tanggung jawabnya (pengusaha pertama). Jika mendapatkan laba, laba tersebut
dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun
bagian dari laba yang diterima oleh pengusaha pertama dibagi lagi dengan
pengusaha kedua sesuai kesepakatan di antara keduanya.
Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha bertanggung
jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya,
tetapi laba dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertama
tidak berhak mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang berusaha
secara sempurna.
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa modal tidak boleh
diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun
atas seizin pemilik modal.
2.
Pada Mudharabah Terikat
Secara umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat
sama dengan ketetapan yang ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa
pengecualian, antara lain berikut ini.
a.
Penentuan tempat
Jika pemilik modal
menentukan tempat, seperti ucapan, “Gunakan modal ini untuk mudharabah,
dengan syarat harus di daerah Tasikmalaya”. Pengusaha harus mengusahakannya
di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan yang
dibolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daerah Tasikmalaya, ia
bertanggung jawab atas modal tersebut beserta kerugiannya.
b.
Penentuan orang
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal
untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada
siapa ia harus menjual barang, sebab hal ini termasuk syarat yang berfaedah.
Adapun ulama Syafiiyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab hal
itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dengan dan menghambat
pencarian laba.
c.
Penentuan waktu
Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga
jika melewati batas, akad batal. Adapun ulma Syafiiyah dan Malikiyah melarang
persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh dalam waktu
sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu tertentu.
c.
Hak-hak pengusaha (al-madharib)
Pengusaha memiliki dua hak atas harta mudharabah, yaiktu
hak nafkah (menggunakan untuk keperluannya) dan hak laba, yang telah di
tentukan dalam akad.
a)
Hak nafkah (membelanjakan)
Para ulama berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau
harta mudharabah. Secara umum, pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu:
1.
Imam Syafii, menurut riwayat paling zahir, berpendapat bahwa pengusaha
tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizin pemilik modal
sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba. Jika pengusaha mensyaratkan
kepada pemilik modal agar dibolehkan menggunakan modal untuk keperluannya, akad
mejadi rusak.[15]
2.
Jumhur ulama di antaranya Iman Malik, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah
berpendapat bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah dalam
perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan lain-lain. Hanya
saja menurut Imam Malik hal itu bisa dilakukan jika modal yang ada memang
mencukupi untuk itu.[16]
3.
Ulama Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menafkahkan harta untuk
keperluannya, baik pada waktu menetap maupun dalam perjalanan jika disyaratkan
pada waktu akad.[17] Dengan demikian,
jika tidak disyaratkan pada waktu akad, tidak boleh menafkahkan modal.
Di antara alasan para ulama membolehkan pengusaha untuk
membelanjakan modal mudharabah untuk keperluan antara lain, jika modal
boleh dinafkahkan, dikhawatirkan manusia tidak mau mudharabah sebab
kebutuhan mereka cukup banyak ketika mudharabah.
Belanja yang di bolehkan, sebagaimana pendapat ulama
Hanafiyah, adalah kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian, dan
lain-lain, dengan syarat tidak berlebih-lebihan (isyraf).
Belanja tersebut kemudian dikurangkan dari laba, jika
sudah ada laba. Jika tidak ada laba, diambil dari modal.[18]
b)
Hak mendapatkan laba
Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai
dengan ketetapan dalam akad, jika usahanya mendapatkan laba. Jika tidak, ia
tidak mendapatkan apa-apa sebab ia bekerkja untuk dirinya sendiri. Dalam
pembagian laba, disyaratkan setelah modal diambil.
Diantara dalil-dalil yang mengharuskan pemilik modal
mengambil modalnya terlebih dahulu adalah hadits yang menyatakan bahwa
Rosulullah SAW bersabda:
مثل
المؤمن مثل التاجر لايسلم ربحة حتى يسلم راس ماله
“Perumpamaan orang muslim seperti pedagang, tidak
menyerahkan laba sehingga menyerahkan modalnya.”
Berdasarkan hadis di atas, para ahli fiqih sepakat bahwa
sebelum laba diberikan, pengusaha diharuskan menyerahkan dahulu modal kepada
pemiliknya.
d.
Hak Pemilik Modal
Hak bagi
pemilik modal adalah mengambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak
ada laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
2.8
Mekanisme Kerjasama Akad Mudharabah
Kerjasama mudharabah merupakan kerjasama antara
seseorang yang memiliki modal tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya
sehingga memerlukan bantuan seorang pekerja yang mampu mengelola harta
tersebut.
Setelah adanya keinginan tersebut maka akan dilakukan ijab
qabul serta kesepakatan dalam pembagian labanya. Hal tersebut merupakan
kesepakatan bersama. Pemodal tersebut akan menyerahkan hartanya untuk dikelola
oleh pekerja baik secara terikat maupun tidak.
Kemudian pekerja tersebut akan mengelolanya dengan
digunakan sebagai modal kerja hingga akhirnya menghasilkan laba maupun
keuntungan. Dari keuntungan tersebut akan dibagi sesuai dengan yang telah
disepakati sebelumnya. Pemodal akan mendapat bagian atas modal yang ia sertakan
untuk dikelola sedangkan pekerja mendapat bagian laba atas usaha yang telah ia
lakukan.
Dengan adanya akad mudharabah ini pekerja yang
tidak memiliki modal untuk memulai usaha mendapatkan untung dari usahanya. Hal
tersebut juga berdampak baik pada pemodal yang yang tidak memiliki kemampuan
untuk mengelola hartanya sehingga harta tersebut dapat berkembang dan
menghasilkan laba.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Mudharabah
atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola
modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai
jumlah kesepakatan.
Dasar hukum diperbolehkannya mudharabah adalah sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., Rasullulah
bersabda:
ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الّبَيْعُ إِلَى اَجَلٍ و الْمُقَا رَضَةُ
وَخَلَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِلِلْبَيْتِ وَلاَ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga perkara yang diberkati:
jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai
untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah
ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud
alaih), dan shighat (ijab qabul). Mudharabah dibagi menjadi
dua macam yakni, mudaharabah mutlak (al-muthlaq) dan mudharabah
terikat (al-muqayyad). Hukum mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu mudharabah
sahih dan mudharabah fasid.
Kerjasama mudharabah merupakan kerjasama antara
seseorang yang memiliki modal tetapi tidak memiliki kemampuan untuk
mengelolanya sehingga memerlukan bantuan seorang pekerja yang mampu mengelola
harta tersebut. Dengan adanya akad mudharabah ini pekerja yang tidak
memiliki modal untuk memulai usaha mendapatkan untung dari usahanya. Hal
tersebut juga berdampak baik pada pemodal yang yang tidak memiliki kemampuan
untuk mengelola hartanya sehingga harta tersebut dapat berkembang dan
menghasilkan laba.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2001. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung:
Pustaka Setia.
Khosyi’ah, Siah. 2014. Fiqh Muamalah. Bandung:
Pustaka Setia.
[1] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 ), hlm.
135.
Dikutip dari, al-Igna, hlm. 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar