Kamis, 13 September 2018

MAKALAH Pengertian, Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana dan Madzhab Shahaby



 

MAKALAH

Pengertian, Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana dan Madzhab Shahaby

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu:
Holis S.Hi., M.Hi.


Disusun oleh
Syamsuddin              (150721100029)
Wardatul Jannah       (150721100120)
Zakiyatur Rahmah     (150721100126)


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian, Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana dan Madzhab Shahaby ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam pelajaran Ushul Fiqih. Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para pembaca khususnya dalam bidang fiqih.
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Holis S.Hi., M.Hi. selaku Dosen mata kuliah Ushul Fiqih dan terima kasih kepada teman – teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Bangkalan, 04 Desember 2016



Penyusun






DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Syar’u Man Qablana........................................................................................ 3
2.2 Madzab Shahaby............................................................................................. 6

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 12



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Al-Qur’an dan sunnah shahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang di syari’atkan Allah SWT kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti.
Al-Qur’an dan sunnah telah memisahkan salah satu diantara hukum ini dalil syar’i, ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Tidak disyri’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil nashih.
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jema’ah Sahabat atau yang disebut dengan syar’u man qablana dan mazhab shahabat. Mereka itu mengetahui fiqih ilmu pangetahuan dan apa-apa yang biasa yang disampaikan oleh rasul. Memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat syar’u man qablana dan madzab sahabat, yang mencakup pengertian, kehujjahan, dan pandangan para ulama.
1.2    Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah akn latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya:
a.         Bagaimana pengertian dari syar’u man qablana?
b.        Bagaimana kehujjahan hukum syar’u man qablana?
c.         Bagaimana pandangan para ulama mengenai syar’u man qablana?
d.        Bagaimana pengertian dari madzab shahaby?
e.         Bagaimana kehujjahan hukum madzab shahaby?
f.         Bagaimana pandangan para ulama mengenai madzab shahaby?
1.3    Tujuan Masalah
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah sebagai berikut:
a.         Mengetahui bagaimana pengertian dari syar’u man qablana.
b.        Menegetahui bagaimana kehujjahan hukum syar’u man qablana.
c.         Mengetahui bagaimana pandangan para ulama mengenai syar’u man qablana.
d.        Menegetahui bagaimana pengertian dari madzab shahaby.
e.         Menegetahui bagaimana kehujjahan hukum madzab shahaby.
f.         Mengetahui bagaimana pandangan para ulama mengenai madzab shahaby.






















BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Syar’u Man Qablana (Pengertian, Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama)
2.1.1        Pengertian
Dalam memahami suatu hal harus diketahui telebih dahulu pengertian dari hal tersebut. Berikut beberapa pengertian tentang Syar’u Man Qablana:
a.         Syaru man qablana artinya syariat sebelum Islam.[1]
b.         Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”[2]
c.         Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”[3]
Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.[4]
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.[5]
Contoh dari syar’u man qablana sendiri sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 183:
يَاَاَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامِ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
2.1.2        Kehujjahan
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13
شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًاوَالَّذِى أَوْحَيْنَآإِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَابِهِ اِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى, أَنْ أَقِيْمُوْاالدِّيْنَ وَلَاتَتَفَرَّقُوْافِيْهِ. كَبُرَعَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ. اَللهُ يَجْتَبِى إِلَيْهِ مَنْ يَشَآءُوَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ.
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[6]
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.[7]
2.1.3        Pandangan Para Ulama
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum Islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu al-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah[8]:
a.         Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًاوَالَّذِى أَوْحَيْنَآإِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَابِهِ اِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى, أَنْ أَقِيْمُوْاالدِّيْنَ وَلَاتَتَفَرَّقُوْافِيْهِ. كَبُرَعَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ. اَللهُ يَجْتَبِى إِلَيْهِ مَنْ يَشَآءُوَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ.
“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
b.     Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ أَوْحَيْنَآإِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا, وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123).
2.2    Madzhab Shahaby (Pengertian, Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama)
2.2.1        Pengertian
Madzhab Shahaby berarti “pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan madzhab shahabat (pendapat sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus  yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma  para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.[9]
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat  Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.[10]
Setelah Rasulullah SAW. Wafat tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW. dan telah memahami Al-Quran serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara mereka ada yang mengklasifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul, sehingga fatwa –fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.[11]
2.2.2        Kehujjahan
Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW. seperti uacapan Aisyah; “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. maka dianggap sebagai sunah meskipun pada dzahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qathi’. Seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak mengetahui adanya perselisihan dari umat islam.
Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata, “Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya”.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaa dari dosa).
Selain itu para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang sepakati oleh para ulama’ dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.[12]
2.2.3        Pandangan Para Ulama
Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah.[13]
a.        Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat,  dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia  kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
b.        Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata:
“Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 )[14]
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.
c.         Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.


























BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.
Contoh dari syar’u man qablana sendiri sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 183:
يَاَاَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامِ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
Madzhab Shahaby berarti “pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan madzhab shahabat (pendapat sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus  yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma  para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat  Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.




DAFTAR PUSTAKA
Busriyanti. 2010. Ushul Fiqh. Rejang Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN Curup.
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih diakses pada tanggal 01 Desember 2016 pukul 16.00 WIB
http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih.
Koto, Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Nazar Bakry, Sidi. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh; cetakan ke 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2010.  Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Dr. H. Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003) cet 4, hal. 239
[2] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
[3] Busriyanti, Ushul Fiqh, (Rejang Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN Curup, 2010) cet 1, hal. 112
[4] Dr. H. Sidi Nazar Bakry, op,cit, hal. 239
[5] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3) hal. 112
[6] Ibid.
[7] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih diakses pada tanggal 01 Desember 2016 pukul 16.00 WIB
[8] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152.
[10] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 169.
[11] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 141.
[12] Ibid, hlm. 142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar