MAKALAH
Pengertian, Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana dan Madzhab Shahaby
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu:
Holis
S.Hi., M.Hi.
Disusun oleh
Syamsuddin (150721100029)
Wardatul Jannah (150721100120)
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian, Kehujjahan dan
Pandangan Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana dan Madzhab Shahaby” ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu
tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam pelajaran Ushul Fiqih. Makalah
ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para
pembaca khususnya dalam bidang fiqih.
Dengan selesainya makalah ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada
kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Holis S.Hi., M.Hi.
selaku Dosen
mata kuliah Ushul Fiqih
dan terima kasih kepada teman – teman yang membantu
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya,
mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Bangkalan,
04 Desember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Syar’u Man
Qablana........................................................................................ 3
2.2 Madzab
Shahaby............................................................................................. 6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an dan sunnah shahih itu telah mengisahkan tentang
salah satu dari hukum syar’i, yang di syari’atkan Allah SWT
kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal
dan nash-nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah
disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda
menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang
wajib kita ikuti.
Al-Qur’an dan sunnah telah memisahkan salah satu
diantara hukum ini
dalil syar’i, ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak
ada perbedaan. Tidak disyri’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil nashih.
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang
banyak pada waktu itu ialah jema’ah Sahabat atau yang
disebut dengan syar’u man qablana dan mazhab shahabat. Mereka itu
mengetahui fiqih ilmu pangetahuan dan apa-apa yang biasa yang disampaikan oleh
rasul. Memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya.
Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang
terjadi.
Makalah ini akan menguraikan
tentang hakikat syar’u man qablana dan madzab sahabat, yang mencakup pengertian, kehujjahan, dan pandangan para ulama.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut adalah
rumusan masalah akn latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya:
a.
Bagaimana pengertian dari syar’u man qablana?
b.
Bagaimana kehujjahan hukum syar’u man qablana?
c.
Bagaimana pandangan para ulama mengenai syar’u man qablana?
d.
Bagaimana pengertian dari madzab shahaby?
e.
Bagaimana kehujjahan hukum madzab shahaby?
f.
Bagaimana pandangan para ulama mengenai madzab shahaby?
1.3 Tujuan Masalah
Berdasarkan uraian
rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah sebagai
berikut:
a.
Mengetahui bagaimana pengertian dari syar’u man qablana.
b.
Menegetahui bagaimana kehujjahan hukum syar’u man qablana.
c.
Mengetahui bagaimana pandangan para ulama mengenai syar’u man qablana.
d.
Menegetahui bagaimana pengertian dari madzab shahaby.
e.
Menegetahui bagaimana kehujjahan hukum madzab shahaby.
f.
Mengetahui bagaimana pandangan para ulama mengenai madzab shahaby.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Syar’u Man Qablana (Pengertian, Kehujjahan dan
Pandangan Para Ulama)
2.1.1
Pengertian
Dalam memahami
suatu hal harus diketahui telebih dahulu pengertian dari hal tersebut. Berikut beberapa pengertian tentang Syar’u
Man Qablana:
b.
“Segala apa yang
dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara” yang telah disyaratkan
Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat
itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”[2]
c.
Syar’u man qablana atau syari’at sebelum
kita maksudnya adalah “hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat
sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan
menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”[3]
Para ulama
sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam
melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan
rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih
berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang
yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang
melakukan tindak pidana pencurian.[4]
Dari pembahasan
di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah
syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi
kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.[5]
Contoh dari syar’u man qablana sendiri
sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 183:
يَاَاَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامِ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
2.1.2
Kehujjahan
Pada
prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan
syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat
Al-Syura : 13
شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ
الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًاوَالَّذِى أَوْحَيْنَآإِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَابِهِ
اِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى, أَنْ أَقِيْمُوْاالدِّيْنَ وَلَاتَتَفَرَّقُوْافِيْهِ.
كَبُرَعَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ. اَللهُ يَجْتَبِى إِلَيْهِ
مَنْ يَشَآءُوَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ.
“Dia
(Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada
Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan
dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang
musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih
orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada
(agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah
yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda
sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[6]
Oleh karena itu
terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam)
dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat
yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.[7]
2.1.3
Pandangan Para Ulama
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah,
Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu
Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum Islam itu disampaikan
kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu al-Qur’an, bukan melalui kitab
agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang
menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan
yang di kemukakan adalah[8]:
a.
Pada dasarnya syari’at itu adalah satu
karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang
disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku
kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman
Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ
الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًاوَالَّذِى أَوْحَيْنَآإِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَابِهِ
اِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى, أَنْ أَقِيْمُوْاالدِّيْنَ وَلَاتَتَفَرَّقُوْافِيْهِ.
كَبُرَعَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ. اَللهُ يَجْتَبِى إِلَيْهِ
مَنْ يَشَآءُوَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ.
“Dia
telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu
seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
b.
Selain itu,
terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain
firman Allah:
ثُمَّ أَوْحَيْنَآإِلَيْكَ
أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا, وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah
agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123).
2.2
Madzhab Shahaby (Pengertian,
Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama)
2.2.1
Pengertian
Madzhab Shahaby berarti “pendapat para sahabat
Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan madzhab shahabat (pendapat
sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits
tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum
tersebut.[9]
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan mazhab sahabat ialah pendapat
sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak
dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.[10]
Setelah Rasulullah SAW. Wafat tampillah para sahabat
yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa
kepada umat islam dan membentuk hukum. Hal ini karena merekalah yang paling
lama bergaul dengan Rasulullah SAW. dan telah memahami Al-Quran serta
hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara mereka
ada yang mengklasifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul, sehingga fatwa –fatwa
mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash.
Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa
mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat
perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.[11]
2.2.2
Kehujjahan
Dari uraian di atas, tidak
diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat
islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat
mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW. seperti uacapan Aisyah;
“Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun,
menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Keterangan di atas tidaklah sah
untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya
benar-benar dari Rasulullah SAW. maka dianggap sebagai sunah meskipun pada
dzahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan
sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat islam. Hal ini karena kesepakatan
mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mereka
juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian
lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qathi’. Seperti kesepakatan
mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan
tersebut wajib diikuti karena, tidak mengetahui adanya perselisihan dari umat
islam.
Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan
sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari
sahabat lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata, “Apabila
saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunah, saya mengambil pendapat
para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang
tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai
dengan yang lainnya”.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang
sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa
dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat
mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang
sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka
secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat
lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat
ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaa
dari dosa).
Selain itu para sahabat juga dibolehkan menentang
sahabat lainnya. dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang
pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan
hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang
sepakati oleh para ulama’ dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau
menggunakan qiyas pada sebagiannya.[12]
2.2.3
Pandangan Para Ulama
Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan
merupakan wilayah ijtihad. Sebab
dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi
dipandang berkedudukan sebagai al khabar
at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber
dari Rasulullah.[13]
a.
Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang
pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang
diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah.
Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang
ia kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah
telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai
dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan
fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula
yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka
kepada selain mereka.”
b.
Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab
al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika
kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada
waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian
pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya
bertanya: “Bagaimanakah sikap anda
terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika
kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan
sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm
(kitab yang baru) berkata:
“Jika kami
tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali
kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami
harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar,
Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang
menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya
kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz
7, hal. 247 )[14]
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama
Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat.
Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai
hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang
dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin,
karena pendapat mereka telah masyhur,
dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada
fatwa-fatwa sahabat.
c.
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath.
Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal
atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan
menggunakan qiyas kecuali dalam
keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan
pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah
tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat
Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui
dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila
masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Semua syariat
yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan
secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci,
karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam
syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang
melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan
tindak pidana pencurian.
Contoh dari syar’u man qablana sendiri
sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 183:
يَاَاَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامِ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
Madzhab
Shahaby
berarti “pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan madzhab shahabat (pendapat
sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits
tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum
tersebut.
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan mazhab sahabat ialah pendapat
sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak
dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
DAFTAR PUSTAKA
Busriyanti. 2010. Ushul Fiqh. Rejang Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN
Curup.
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
diakses pada
tanggal 01 Desember 2016 pukul 16.00 WIB
http://stituluwiyahadhim.blogspot.co.id/2014/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_95.html diakses pada
tanggal 01 Desember 2016 pukul 19.15 WIB
http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih.
Koto, Alaiddin. 2009.
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Nazar Bakry, Sidi. 2003. Fiqh dan Ushul
Fiqh; cetakan ke 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Dr. H. Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003) cet 4, hal. 239
[5] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3)
hal. 112
[7] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
diakses pada
tanggal 01 Desember 2016 pukul 16.00 WIB
[9] http://stituluwiyahadhim.blogspot.co.id/2014/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_95.html diakses pada tanggal 01 Desember 2016
pukul 19.15 WIB
[13] http://khalkulbahri.blogspot.co.id/2013/10/makalah-ushul-fiqh-mazhab-qaul-al.html diakses pada tanggal 02 Desember
2016 pukul 18.40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar