Kamis, 13 September 2018

MAKALAH Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah (661-728 H)


MAKALAH
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah (661-728 H)
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


Disusun oleh :
Desi Ismi Rojasari          (150721100006)
Ainul Inayah                   (150721100060)
Zakiyatur Rahmah         (150721100126)


EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AJARAN 2015/2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu dosen Lailatul Qadariyah, S.Hi, M.Ei yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput juga kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang ikut menyumbang  pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami memohon maaf kepada ibu dosen Lailatul Qadariyah, S.Hi, M.Ei khusunya dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kami mengharap kritik dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah ini.



Bangkalan, 24 Maret 2016


Penyusun









DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... i
Kata Pengantar...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2    Rumusan Masalah.......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1    Biografi.......................................................................................................... 2
2.2    Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik Pada Masa Ibnu Taimiyah.................. 5
2.3    Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah................................................................ 8

BAB III PENUTUP
3.1    Kesimpulan..................................................................................................... 17

Daftar Pustaka....................................................................................................... 18












BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana interaksi satu sama lain dalam hal memproduksi dan mengkonsumsi bagi kedua belah pihak yakni produsen dan konsumen.
Sedangkan Ekonomi Syari’ah merupakan ekonomi yang menekankan pada hukum Islam dalam setiap transaksi yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Dalam Ekonomi Islam semua kegiatan dilakukan dengan bermuamalah.
Tujuan dari Ekonomi Syariah sendiri salah satunya adalah untuk menyediakan peluang yang sama bagi setiap individu untuk dapat berkarya sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Karena dalam Islam derajat setiap manusia itu sama dan yang membedakan hanyalah amal perbuatan. Selain itu Ekonomi Syari’ah juga bertujuan agar kemiskinan dapat terhapus sehingga dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera secara keseluruhan. Dan juga yang tidak kalah penting adalah untuk mempertahankan stabilitas ekonomi agar kesejahteraan lebih terjamin.
Dalam mempelajari Ekonomi Islam kita perlu untuk mempelajari pemikiran Ekonomi Islam dari tokoh-tokoh yang hidup pada masa lalu yang dimana pemikirannya dapat dibilang sangat brilian. Salah satu dari pemikir tersebut adalah Ibnu Taimiyah yang banyak mengeluarkan pendapatnya tentang Ekonomi Islam.
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana biografi tentang Ibnu Taimiyah?
1.2.2        Bagaimana keadaan sosial, ekonomi, dan politik pada masa Ibnu Taimiyah?
1.2.3        Apa saja pemikiran Ibnu Taimiyah mengenai Ekonomi Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Biografi
2.1.1        Riwayat Hidup
Nama lengkapnya Abul Abbas Taqqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani. Beliau dilahirkan di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat pada tanggal 22 Januari 1263 (10 Rabiul Awwal 661 H) .[1]
Ia berasal dari keluara religius. Ayahnya bernama Syihabudddin bin Taimiyah, seorang syaikh, hakim dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al-Qur’an (hafidz) .
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 667 H/1268M), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak dikutip dari buku karangan Ahmad Jamil Seratus Muslim Terkemuka.
2.1.2        Pendidikan dan Karyanya
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taimiyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah (dalil), ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.[2] Ia juga mengutarakan pendapatnya tentang sunnah ia mengartikan sunnah adalah “Adat (tradisi) yang telah berulang kali dilakukan oleh Rasulullah saw. Terus-menerus dan diikuti oleh para Sahabat beliau.[3]
Dalam buku yang berjudul Keuangan dan Investasi Syari’ah karya Ismail desibutkan bahwa ia mungkin sarjana pertama yang menenggalkan dari ide-idenya yang membatasi maqasid terhadap jumlah yang spesifik dan telah ditambahkan, terhadap kebaradaan list dari maqasid, seperti pemenuhan kontrak/aqad, memperkaya list maqasid, tali ukhwah kekluargaan, menghormati hak-hak dari tetangga, cinta Allah SWT. Kepercayaan, kejujuran dan kemurnian moral dalam berhubungan.[4]
Ia juga banyak membahas aspek mikro ekonomi seperti beban pajak tidak langsung (incidence of indirect taxes) yang dapat digeserkan oleh penjual (yang seharusnya membayar pajak ini) kepada pembeli dalam bentuk harga beli yang lebih tinggi.[5]
2.1.3        Kepribadiannya
Dia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
2.1.4        Jabatan
Dia pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 Masehi dan dia mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313, dia juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan sesudah karirnya itu, dia tetap mengajar sebagai profesor yang ulung dikutip dari buku Pokok-pokok Pedoman Islam Dalam Bernegara Taqijuddin Ibnu Taimyah.
2.1.5        Wafatnya
Ibnu Taimiyah meninggal penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnu Qayyim, ketika dia sedang membaca Al-Qur'an surah Al-Qamar yang berbunyi"Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin" . Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Pada masa tuanya, dia menulis banyak kitab sekaligus mengisi waktunya. Dia dipenjara karena berseberangan dengan pemerintah di zamannya. Sewaktu menulis, dia sering juga saling bersurat-suratan kepada kawan-kawannya. Akhirnya, pihak pemerintah merampas semua peralatan tulisnya, tinta, dan kertas-kertas dari tangan dia. Namun, dia tidak pernah patah arang. Dia banyak berdakwah dengan menulis surat kepada kawan-kawannya, dan teman-temannya memakai arang. Sehingga, dengan terang, dia berkata, "Orang yang diopenjara adalah orang yang dipenjara harinya dari Rabbnya; sedang, orang yang tertawan adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya." Ia wafat pada tanggal 20 Dzulhijjah 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya, Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya disalatkan di masjid Jami` Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
Pada saat itu, tidak ada seorangpun yang tak hadir melayat kecuali ada yang berhalangan, para wanita yang berjumlah kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini belum termasuk suara isakan tangis dan doa yang terdengar di atas rumah-rumah sepanjang jalan menuju makam, sementara lelaki yang hadir diperkirakan 60.000 bahkan sampai 100.000 pelayat menurut kesaksian Ibnu Katsir.
2.1.6        Peninggalan
Sepanjang hidupnya, dia dikenal banyak sekali mendapat pujian dan celaan. Banyak kalangan ulama yang memujinya, dan sebagian ahli fiqih mencela dia karena ketidaktahuan mereka. Adapun ajarannya yang benar-benar memurnikan tauhid dari kesyirikan, khurafat, dan bid'ah, telah mengena dan diikuti oleh pengikut Salafi yang anti-kesyirikan.
Adapun, pada diri-pribadi Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullahu 'alaih (رَØ­ِÙ…َÙ‡ُ الله عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ), telah banyak kitab tentang studi pada biografi hidup dia; seperti kitab, risalah ilmiah, maupun yang bukan ilmiah, itu baik dari bahasa Arab, ataupun yang bukan bahasa Arab. Studi tentang kehidupan dia bukan hanya tentang kehidupan dia saja, berikut tentang kepribadian, dan keilmuannya, dan karya-karyanya begitu banyak dikutip dari Ghaddah Abdul Fattah Abu dari bukunya yang berjudul Ulama Yang Tidak Menikah. Ia juga mengarang buku yang berjudul Al-Hisbah Fil Islam dan As siyasah as syariyyah fi islah ar-rai wa raiyyah yang banyak membahas problematika muamalah Islam. [6]
2.2      Kondisi Sosial, Ekonomi Dan Politik Pada Masa Ibnu Taimiyah
2.2.1        Kondisi Politik
Kondisi politik yang terjadi pada masa Ibnu Taimiyah yakni berkaitan dengan terjadinya masa kemunduran dinasti Jengis Khan yang dipukul mundur oleh pasukan tentara Mamalik dalam pertempuran di ‘Ain Jalut. Karena pada masa inilah Ibnu Timiyah hidup yakni pada tahun 1263 -1328 M bersamaan dengan berkuasanya dinasti Mamalik atas dinasti Jengis Khan (1260 – 1277 M). Penguasa dinasti Mamalik pada waktu itu ialah Sulthan Baybars sebagai sultan terbesar dan termasyhur serta dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik di Mesir.
Dinasti Mamalik mengalami kemajuan diberbagai bidang. Kemenangannya terhadap tentara Mongolia menjadi modal dasar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa kecil yang menyatakan kesetiaan terhadap dinasti ini. Dinasti ini juga berhasil melumpuhkan tentara Salib di sepanjang laut tengah. Di pihak lain suatu kekuatan politik besar muncul yakni daulah Bani Usmaniyah. Dan kerajaan inilah yang mengakhiri kerajaan Mamalik di Mesir.[7]
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia pun menolak tawaran tersebut.           
2.2.2        Kondisi Sosial
Kondisi sosial yang terjadi pada masa Ibnu Taimiyah adalah beliau selama hidupnya pernah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya karena mereka merasa iri terhadap penghormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada Ibnu Taimiyah. Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis menggunakan batu dan arang. Hal tersebut berlangsung hingga Ibnu Taimiyah meninggal dalam tahanan tersebut setelah mendapat perlakuan yang kasar selama lima bulan berturut-turut (tanggal 26 September 1328 M Dzul Qaidah 728 H). [8]
Sehubungan dengan kondisi sosial yang terjadi terhadap kehidupan Ibnu Taimiyah sendiri, ada pula kondisi sosial yang terjadi pada masa Ibnu Taimiyah dengan kondisi sosial pengetahuan yang ada dalam dinasti Mamalik. Dalam masa tersebut kota Mesir menjadi pusat pelarian para ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad yang mendapat serangan dari tentara Mongolia waktu itu.  
Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu agama inilah tercatat nama Ibnu Taimiyah sebagai pesohor pemikir reformis dalam islam. Selain Ibnu Taimiyah, al-Suyuthi dan Ibnu Hajar al-Asqalani juga menguasai banyak ilmu keagamaan yakni dalam ilmu hadis. Dalam sejarah tercatat nama besar seperti Ibnu Khalikan, Ibnu Taghribardi, dan Ibnu Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama Nassiruddin al-Tusi. Di bidang matematika Abu Faraj al-Ibry. Dalam bidang kedokteran: Abu Hasan ‘Ali al-Nafis penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abdul Mun’im al-Dimyathi seorang dokter hewan, dan al-Razi perintis psykoterapi. Dalam bidang Opthalmologi dikenal nama Shalahuddin bin Yusuf.
Dalam bidang arsitektur. Mereka membangun bangunan-bangunan yang megah seperti sekolah-sekolah, masjid-masjid, rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid. Kerajaan Mamalik ini berakhir 1517 M desebabkan banyaknya penguasa yang bermoral rendah, suka berfoya-foya dan ditambah dengan datangnya musim kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit. Kondisi demikian tersebut kemungkinan dialami oleh Ibnu Taimiyah, karena beliau hidup pada waktu itu.
2.2.3        Kondisi Ekonomi
Dalam bidang ekonomi dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Prancis dan Italia, terutama setelah kejatuhan Baghdad oleh tentara Timur Lenk, membuat Kairo menjadi kota yang sangat penting yang menghubungkan jalur perdagangan antara Laut merah dan Laut tengah dengan Eropah.
Hasil pertanian juga meningkat, keberhasilan di bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antar kota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu dalam pengembangan perekonomiannya.[9]
2.3      Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah (661-728 H)
2.3.1 Mekanisme Pasar
Dalam beberapa pendapat akan ekonomi banyak yang menyebutkan bahwa besar kecilnya harga yang ada di pasar ditentukan oleh tingkat penawaran dan permintaan. Dimana penawaran dan permintaan ini cenderung tidak adil yang disebabkan oleh sebagian orang yang dapat menentukan harga tersebut.
Pandangan Ibn Taimiyah mencerminkan konsep yang jelas : pasar yang sehat seharusnya bekerja di atas kejujuran, pengetahuan, aturan main yang adil, dan kebebasan dalam memilih.[10]
Namun, Ibnu Taimiyah berpendapat lain dimana bahwa bukan hanya hanya karena adanya orang berkuasa yang dapat menentukan harga sehingga harga dapat naik maupun turun. Ia berpendapat bahwa kenaikan dan penurunan  harga juga dapat terjadi apabila terdapat penurunan jumlah barang impor yang diminati, karena permintaan tetap tinggi sedangkan barang yang tersedia terbatas membuat harga dari barang tersebut menjadi naik.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam ia menyatakan:
“Penawaran bisa datang dari produksi domestik dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi adalah kehendak Allah.”[11]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Naik turunnya harga tak selalu berkait dengan kezhaliman yang dilakukan oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah adanya kekurangan dalam produksi atu penurunan impor dari barang-barang yang diminati. Jadi, jika membutuhkan peningkatan jumlah barng, sementara kemampuannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaannya menurun, harga akan turun kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidaladilan. Atau sesekali, bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah yang menciptakan kemauan pada hati manusia.[12]
Dari dua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa naik turunnya harga juga dapat disebabkan karena perbuatan ketidakadilan sehingga menyebabkan terjadinya ketidaksempurnaan pasar. Namun, juga di garis bawahi bahwa kenaikan dan turunnya harga tidak selalu dikarenakan situasi tersebut.
Selain itu, pernyataan dari Ibnu Taimiyah tadi juga mengandung arti bahwa penawarn bukan hanya bersal dari barang domestik tapi juga berasal dari barang impor.
Ibu Timiyah menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Majmu’ Fatwa mengemukakan beberapa pendapat hal yang menjadi faktor yang mempengaruhi fluktuasi permintaan dan konsekuensinya terhadap harga, yakni:
1.        Kebutuhan dimana kebutuhan satu orang dengan yang lain berbeda tergantung dari ketersediaan barangnya. barang akan lebih dibutuhkan pada saat sedang langka.
2.        Harga juga tergantung pada jumlah peminatnya. Semakin banyak permintaan maka harga akan semakin tinggi.
3.        Dipengaruhi juga oleh besar kecilnya kebutuhan terhadap barang tersebut dan kualitas serta kuantitas barangnya.
4.        Harga ditentukan pada siapa yang melakukan transaksi tersebut. Semakin terpercaya orang tersebut maka harga akan lebih rendah (dalam hal pembiayaan).
5.        Dipengaruhi oleh alat pembayarannya dimana semakin wajar alat pembayarannya maka harga akan semakin rendah.
6.        Setiap kontrak antara penjual dan pembeli biasanya berisi akan timbal balik yang akan diterima. Apabila pembayaran akan kontrak tersebut mampu dipenuhi maka tujuan transaksi tersebut telah tercapai.
7.        Aplikasi yang sama berlaku bagi seseorang yang meminjam atau menyewa.[13]
Dari keterngan di atas Ibnu Taimiyah sependapat bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi apabila kurva penawaran dan permintaan stabil. Namun, apabila keadaan tersebut tidak tercapai maka pemerintah harus segera melakukan market intervention.
2.3.2 Mekanisme Harga
            Pengertian dari mekanisme harga sendiri merupakan proses yang didasari oleh adanya daya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar barang maupun berasal dari output (faktor-faktor produksi).
Mekanisme harga sendiri berhubungan dengan harga yang adil. Menurut Ibnu Taimiyah harga yang adil adalah:
“Nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dan diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.”[14]
Dalam kitabnya yang berjudul al-Hisbah, Ibnu Taimiyah lebih memperjelas definisi dari harga yang adil tersebut, yakni:
“Apabila orang-orang memperjualbelikan barang dagangannya dengan cara-cara yang biasa dilakukan, tanpa ada pihak yang dizalimi kemudian harga mengalami kenaikan karena berkurangnya persediaan barang ataupun karena bertambahnya jumlah penduduk (permintaan), maka itu semata-mata karena Allah SWT. Dalam hal demikian, memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangannya pada harga tertentu merupakan tindakan pemaksaan yang tak dapat dibenarkan.”[15]
Terdapat dua hal yang sangat sering dibahas oleh Ibnu Taimiyah dalam pemikirannya tentang harga yang adil yakni kompensasi yang setara/adil dan harga setara/adil.
Kompensasi sendiri disebut sebagai Iwadh al-Mitsl yang berarti suatu penggantian yang sama atas suatu barang dimana nilai harga tersebut harus sepadan menurut kebiasaan tanpa ditambah-tambahi maupun dikurangi.
Sedangkan Tsaman al-Mitsl (harga yang sepadan/adil) yakni harga yang sepadan dimana dapat diterima secara umum dan nilainya sepadan dengan barabg-barang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud dengan kesetaraan adalah kuantitas dan objek khusus dalam penggunaan secara umum (urf) dan berkaitan dengan nilai dasar serta kebiasaan.”[16]
Konsep harga yang adil menurut Ibnu Taimiyah hanya terjadi pada pasar kompetitif. Tidak ada pengauran yang mengganggu keseimbangan harga kecuali jika terjadi suatu usaha-usaha yang mengganggu keseimbangan, yaitu kondisi di mana semua faktor produksi digunakan secara optimal dan tidak ada idle. Sebab harga pasar kompetitif merupakan kecenderungan yang wajar.[17]
            Tujuan utama dari harga yang adil adalah memelihara keadilan dalam mengadakan transaksi timbal balik dan hubungan-hubungan lain di antara anggota masyarakat. Pada konsep harga yang adil, pihak penjual dan pembeli sama-sama merasakan keadilan.[18]
2.3.3 Regulasi Harga
Regulasi harga suatu tindakan intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap suatu barang yang harga terlalu tinggi dari biasanya. Pemerintah mengontrol harga barang-barang tertentu dalam jangka waktu tertentu agar harga dari barang tersebut normal kembali.
Kebanyakan negara yang menerapkan ekonomi islam pemerintahnya tidak melakukan regulasi harga karena ada suatu ketika Nabi Muhammad SAW menghadapi situasi dimana harga melambung tinggi namun beliau tidak bersedia untuk ikut campur dalam menerapkan harga.
“Dari Anas bin Malik RA beliau berkata: hraga barang-barang pernah mahal pada masa Rasullullah SAW, lalu orang-orang berkata: ya, Rasullullah harga-harga menjadi mahal, tetapkanlah standar harga untuk kami, lalu Rasullullah SAW bersabda: sesungguhnya Allahlah yang menetapkan harga, yang menahan dan membagikan rizki, dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya dapat berjumpa dengan Allah SWT dalam keadaan tidak seorangpun diantara kamu sekalian yangn menuntut saya karena kezaliman dalam pertumpahan darah (pembunuh) dan harta.”
Ibnu Taimiyah menafsirkan hadist tentang penlakan regulasi harga, bahwa kasusu tersebut merupakan kasus yang khusus dan bukan kasus umum. Menurutnya, harga naik karena kekuatan pasar, bukan karena ketidaksempurnaan pasar tersebut.[19]
Menurut Ibnu Taimiyah, hadist tersebut mengungkapkan betapa Nabi Muhammad SAW tidak mau ikut campur tangan dalam masalah regulasi harga-harga barang. Akan tetapi hal tersebut disebabkan oleh kenaikan harga yang dipicu kondisi objektif pasar Madinah, bukan karena kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk mengejar keuntungan belaka.[20] Oleh karena itu Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga pada saat itu merupakan hasil dari bekerjanya mekanisme harga dan bukan karena ada pedagang yang sengaja menimbun barang tersebut.
Pada kondisi yang demikian Ibnu Taimiyah memberikan solusi dengan cara penetapan harga oleh pemerintah. Metode ini dilaksanakan dengan melakukan musyawarahkan terlebih dahulu dengan para tokoh perwakilan dan tokoh pasar. Namun terlebih dahulu melakukan survei terhadap transaksi barang yang akn dibahas. Baru setelah itu dibutuhkan persetujuan seluruh anggota musyawarah dan masyarakat mengenai harga yang telah ditetapkan.
Dalam kitabnya Ibnu Taimiyah yang berjudul al-Hisbah menyebutkan bahwa penetapan diperlukan agar para pedagangtidak menjual barang terhadap suatu kelompok tertentu yang harganya dapat ditentukan oleh keinginan kelompok tersebut.
Berikut adalah pemikiran Ibnu Taimiyah akan implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi yang berkaitan dengan pasar yakni:
a)    Orang-orang bebas masuk dan keluar pasar.
b)   Harus terdapat tingkat informasi yang cukup tentang kekuatan pasar dan barang dagangan (komoditas).
c)    Harus dilenyapkannya unsur-unsur monopolistik.
d)   Peningkatan permintaan dan penawaran oleh barang itu sendiri dan tidak setuju harus memaksa para penjual untuk menjual dengan harga tertentu karena menurut beliau hal tersebut merupakan pemaksaan hak.
e)    Mengecam segala penyimpangan dalam kegiatan ekonomi dan dilarang melakukan produksi maupun jual beli terhadap barang yang haram karena tidak ada faedahnya sama sekali.
Ibnu Taimiyah membagi penetapan harga menjadi dua tipe yakni, regulasi harga yang tidak adil yang pengaturannya tidak adil dan yang satunya regulasi yang adil dan diperbolehkan.
2.3.4 Hak Milik
            Setiap manusia memiliki hak sejak lahir, diantaranya adlah hak untu hidup, hak untuk berpendapat, dan yang lain. Begitu banyak hak yang dimiliki manusia. Hak pemiliki merupakan ujian, dan karena itu setiap orang diberi keleluasaan untuk memiliki dan menggunakan kekayaan itu.[21]
Pengertian hak milik bagi Ibnu Taimiyah adalah suatu kekuatan dengan dasar syariah untuk dapat menggunakan sutu objek atau barang, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi. Terdapat tiga hak yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah, yakni:
a)        Hak Milik Individu
Menurut pemikiran Ibnu Taimiyah seseorang harus mengamankan pemilikan suatu barang (tanah) yang telah terlantar. Setiap orang berhak untuk menikmati hak yang dimiliknya. Namun, dalam menikmati haknya tidak boleh secara berlebihan hanya untuk dapat hidup dengan mewah.
Terlepas dari batasan dalam melakukan haknya seseorang juga memiliki kewajiban dalam membayar sejumlah besar zaat untuk hartanya. Selain itu seseorang juga harus memberikan sebagian hartanya untuk berbagi ke sesamanya.
b)       Hak Milik Sosial atau Kolektif
Hak sosial tidak berbentuk dalam sebuah barang. Salah satu contoh dari hak milik sosial yakni organisasi maupun asosiasi. Hak milik sosial biasanya dimiliki oleh dua orang atau lebih. Namun, perlu di garis bawahi bahwa hak tersebut dapat diguanakan sesuai aturan yang telah disepakati bersama dan tidak merugikan salah satu pihak.
Menurut pendapat para ulama’ contoh lain dari hak kolektif adalah apa yang ada di alam seperti air, udara, rumput, dan sumber api tidak boleh menjadi hak individu karena hal tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dan kesusahan bagi manusia.
c)        Hak Milik Negara
Negara membutuhkan hak milik agar negara dapat berjalan dengan baik dan lancar dalam menyelenggarakan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Sumber utama dari pendapatan negara adalah zakat dan harta barang rampasan perang (ghanimah)[22].Kekayaan negara merupakan kekayaan umum.
2.3.4 Peranan Pemerintah Dalam Kebijakan Ekonomi
            Amar ma’ruf nahi  munkar, merupakan tujuan yang sangat komprehensif. Termasuk di dalamnya mengajak manusia melakukan praktik-praktik sosial dan ekonomi yang bermanfaat dan mencegah praktik-praktik sosial ekonomi yang buruk.[23]
1)        Menghilangkan Kemiskinan
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sebuah negara pastilah terdapat golonag yang tingkat ekonominya di bawah standar. Oleh karena itu Ibnu Taimiyah mengungkapkan pendapatnya bahwa sudah menjadi kewajiban bagi suatu pemerintahan untuk mengeluarkan sebuah uang untuk membantu ekonomi warganya sehingga mereka dapat memnuhi kebutuhan rumah tangganya.
2)         Regulasi Harga
Ibnu Taimiyah berpendapat apabila suatu kenaikan harga barang komoditi disebabkan oleh oknum tertentu yang menguasai pasar maka pemerintah harus melakukan intervnsi agar harga kembali normal. Namun, apabila bukan karena oknum tertentu maka pemerintah tidak memiliki otoritas untuk membatasi harga.
Salah satu contoh tanggung jawab dalam memecahkan perselisihan antara majikan dan karyawan yakni penetapan upah buruh. Bentuk dati penetapan upah buruh di Indonesia adalah adanya UMK dan UMR.
3)        Kebijakan Moneter
Ibnu Taimiyah sangat jelas memegang pentingnya kebijakan moneter bagi stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai sebagi pengukur harga dan alat pertukaran. Setiap penilaian yang merusak fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk bagi perekonomian negara.
4)        Perencanaan Ekonomi
Menurut Ibnu Taimiyah jika kegiatan ekonomi yang dilakukan sukarela tidak dapt memenuhi permintaan yang ada di pasar maka pemerintah harus menambah perhatian terhadap kegiatan ekonomi tersebut.
Dalam kitab al-Fatawa, disebutkan bahwa sebuah pertimbangan untuk menjadikan bagian dari pembiayaan publik diperlukan untuk membangun kanal, jembatan, jalan, dan sebagainya. Disebutkan juga bahwa kekayaan yang tak mempunyai ahli waris dan barang hilang yang tak jelas pemiliknya dapat dijadikan sumber pendapatan negara yang bisa digunakan untuk membiayai utilitas umum (al- masalih al-ammah).[24]
Untuk dapat merealisasikan perencanaan ekonomi perlu dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi laju pertumbuhan ekonomi yang diamana institusi tersebut biasa disebut dengan Institusi Hisbah.














BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Nama lengkapnya Abul Abbas Taqqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani. Beliau dilahirkan di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat pada tanggal 22 Januari 1263 (10 Rabiul Awwal 661 H) .
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan.
Pandangan Ibn Taimiyah mencerminkan konsep yang jelas : pasar yang sehat seharusnya bekerja di atas kejujuran, pengetahuan, aturan main yang adil, dan kebebasan dalam memilih.
Terdapat dua hal yang sangat sering dibahas oleh Ibnu Taimiyah dalam pemikirannya tentang harga yang adil yakni kompensasi yang setara/adil dan harga setara/adil.
Dalam kitabnya Ibnu Taimiyah yang berjudul al-Hisbah menyebutkan bahwa penetapan diperlukan agar para pedagangtidak menjual barang terhadap suatu kelompok tertentu yang harganya dapat ditentukan oleh keinginan kelompok tersebut. Sedangkan pengertian hak milik bagi Ibnu Taimiyah adalah suatu kekuatan dengan dasar syariah untuk dapat menggunakan sutu objek atau barang, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi.







DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005.
Azwar Karim, Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Chamid, Nur.  Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Hakim, Lukman. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Surakarta: Erlangga, 2012.
Hoetoro, Arif. Ekonomi Islam. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2007
https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah, diakses tanggal 08 Maret 2016, pukul 11.25.
Ismail. Keuangan dan Investasi Syari’ah. Jakarta: Sketsa, 2010.
Ismail, Syuhudi. Pengantar ilmu Hadist. Bandung: Angkasa, 1987.
Philip, K. Hitti. History of Arab. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam. Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur. Sejarah Kebudayaan Islam.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.


[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali pers, 2014), hlm. 351.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah, diakses tanggal 08 Maret 2016, pukul 11.25.
[3] Syuhudi Ismail, Pengantar ilmu Hadist, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 12.
[4] Ismail, Keuangan dan Investasi Syari’ah, (Jakarta: Sketsa, 2010), hlm. 79.
[5] Pusat pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 112.
[6] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Surakarta: Erlangga, 2012), hlm. 36.
[7] Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 112.
[8] Adiwarman Azwar Karim, Op. cit., hlm. 352.
[9] Ibid., hlm. 112.
[10] Arif Hoetoro, Ekonomi Islam, (Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya: Malang, 2007), hlm. 81
[11] Adiwarman Azwar Karim, Op. cit., hlm. 106.
[12] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), 207.
[13] Ibid, 209.
[14] Nur Chamid,  Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 232.
[15] Euis Amalia, Op. cit., hlm. 210.
[16] Ibid, 211
[17] Nur Chamid,  Op. cit., hlm.  234.
[18] Ibid.
[19] Adi Warman A. Karim, Op. cit., hlm.  30.
[20] Nur Chamid, Op. cit., hlm. 236.
[21] Euis Amalia, Op. cit., hlm.  217.
[22] Ibid, 219
[23] Ibid, 220.
[24] Ibid, 222.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar