Kamis, 13 September 2018

MAKALAH Wadhihid Dilalati Wa Murothibihi (Kejelasan Dalalah dan Tingkatan)



 

MAKALAH

Wadhihid Dilalati Wa Murothibihi (Kejelasan Dalalah dan Tingkatan)

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih II

Dosen Pengampu:
Holis S.Hi., M.Hi.


Disusun oleh
Sifa Fauziyah                        (150721100009)
Holiyah                      (150721100)
Zakiyatur Rahmah     (150721100126)
Amalia                       (150721100132)


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Wadhihid Dilalati Wa Murothibihi (Kejelasan Dalalah dan Tingkatan) ini dengan tepat waktu.

Makalah ini merupakan salah satu tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam pelajaran Ushul Fiqih II. Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para pembaca khususnya dalam bidang fiqih.
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Holis S.Hi., M.Hi. selaku Dosen mata kuliah Ushul Fiqih II dan terima kasih kepada teman – teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Bangkalan, 21 Maret 2017



Penyusun






DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Ad-Dhohir....................................................................................................... 3
2.2 An-Nash........................................................................................................... 5
2.3 Al-Mufassar..................................................................................................... 6
2.4 Al-Muhkam...................................................................................................... 8

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Para ulama berbeda pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasan. Dalam hal ini, dapat dibagi dalam dua kelompok. Golongan pertama, yaitu golongan Hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian, yaitu: dhohir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan dari ketidakjelasannya mereka membagi menjadi empat macam pula, yaitu: kahfi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
Golongan kedua, yakni jumhur dari kalangan mutakalimin, dipelopori oleh Asy-Syafi’i, yang membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua yaitu Dhohir dan Nash. Kedua bentuk lafazh ini disebut kalam mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasan dibagi menjadi dua macam yaitu mujmal dan mutasyabih. (Muhammad Adib Salih, 1984, I : 140-141).
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, golongan Hanafiyah membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi empat macam. Di sini akan dijelaskan secara terperinci dan disertai contoh mengenai macam-macam lafazh tersebut. Secra garis besarnya, pembagian lafazh menurut golongan Hanafiyah dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (dhohir), cukup jelas (nash), sangat jelas (musaffar), dan superjelas (muhkam).
1.2    Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah akan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya:
a.         Bagaimana pengertian dan contoh dari ad-dhohir?
b.        Bagaimana pengertian dan contoh dari an-nash?
c.         Bagaimana pengertian dan contoh dari al-mufassar?
d.        Bagaimana pengertian dan contoh dari al-muhkam?
1.3    Tujuan Masalah
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah sebagai berikut:
a.         Mengetahui pengertian dan contoh dari ad-dhohir.
b.        Mengetahui pengertian dan contoh dari an-nash.
c.         Mengetahui pengertian dan contoh dari al-mufassar.
d.        Mengetahui pengertian dan contoh dari al-muhkam.



























BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Ad- Dhohir  (Pengertian dan Contoh)
2.1.1        Pengertian
Secara bahasa ad-dhohir berasal dari kata “dhahara” artinya tampak, terlihat, muncul, lahir.[1] Dhohir, menurut istilah ahli ushul fikih adalah sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil.[2]
Banyak ulama’ fiqih yang memberikan pendapatnya akan pengertian ad- dhohir. Diantaranya adalah al- Bazdawi, al-Sarakhi, dan Muhammad Adib Salih.
Ad- Dhohir sendiri merupakan pembagian dari lafazh dulihat dari segi kejelasan terhadap maknanya. Al- Bazdawi memberikan definisi ad- dhohir sebagai berikut:
 اِسْمٌ لِكُلِّ كَلَامٍ ظَهْرِ الْمُرَادِبِهِ لِلسَّامِعِ بِصِيْغَتِهِ
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.”
Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dapt dijelaskan bahwa ad- Dhohir adalah suatu lafazh dimana lafazhnya jelas bahkan tanpa ditafsirkan terbelih dahulu.
Sementara pendapat lain diungkapkan oleh al-Sarakhsi, yakni:
مَايُعْرَفُ الْمُرَادُمِنْهُ بِنَفْسِ السَّامِعِ مِنْ غَيْرِتَأَمُّلٍ
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipirkan terlebih dahulu.”
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memehami dhohir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Akan tetapi lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain.[3]
Berikut ini dalah pendapat tentang pengertian ad- dhohir oleh Muhammad Adib Salih:
اَللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلُّ عَلَيْهَامَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِتَوْقُفٍ عَلَى قَرِيْنَةٍ خَارِجَةٍ مَعَ احْتِمَالِ التَّخْصِيْصِ وَالتَّاْوِيْلِ وَقَبُوْلِ النَّسْخِ
“Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menuggu qarinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhis, ditakwil, dan dinasakh.”
2.1.2        Contoh
Untuk memudahkan dalam memahami makna dari dhohir dapat melihat sebuah ayat sebagai bahan contoh. Salah satu ayat yang dapat menjadi contoh adalah berikut ini:
وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“.... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ....”
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Masing-masing dari lafazh al-bay’ dan ar-riba merupkan lafadz ‘amm yang mempunyai kemungkinan ditakhsis.[4]
Untuk lebih jelasnya akan dijabarkan contoh lain dari ayat yang bersifat dhohir:
فَانْكِحُوْامَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِمَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ جِفْتُمْ أَلاّ تَعْدِلُوْافَوَاحِدَةً
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”
Dari ayat tersebut terlihat maknanya bahwa terdapat pembatasan untuk memiliki istri maksimal empat atau bahkan hanya satu saja. Hal tersebut jelas sesuai dengan lafazhnya.
Hukum ad-dhohir wajib diamalkan sesuai dengan makna dhohirnya selama tidak ada yang menuntuk untuk diamalkan dengan selain yang dhohir. Karena pada dasarnya tidak ada pembelokan kata dari makna dhohir kecuali ada dalil yang menuntut hal itu. Bahwasanya ad-dhohir mungkin untuk ditakwil, artinya membelokkan kata itu dari lahirnya dan menghendaki makna yang lain. Jika lafazh itu umum mungkin untuk dibatasi, jika kata itu bermakna hakiki maka mungkin untuk diberi makna majaz dan bentuk-bentuk takwil lainnya.[5]
2.2    An-Nash (Pengertian dan Contoh)
2.2.1        Pengertian
Menurut bahasa, nash berarti raftu asy-syaikh atau munculnya segala sesuatu yang tampak oleh sebab itu dalam mimbar nash ini sering disebut manasahat.[6] Sementara itu beberapa ulama mengungkapkan pendapatnya tentang pengertian nash sebagai berikut:
a.         Ad-Dabusi
اَلزَّائِدَعَلَى الظَّاهِرِبَيَانًااِذَاقُوْبِلَ بِهِ
“suatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada dhohir bila ia dibandingkan dengan lafadz dhodhir.”

b.        Albazdawi
مَاازْدَادَوُضُوْحًاعَلَى الظَّاهِرِبِمَعْنَى الْمُتًكَلِّمِ لَافِى نَفْسِ الصِّيْغَةِ
“lafad yang lebih jelas maknanya dari pada makna lafad dhohir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan.[7] Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan karinah. Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salib berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu adalah:
اَللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلًّ عَلَى الْحُكْمِ الَّذِيْ سِيْقُ لِأَجْلِهِ الْكَلاَمِ دَلَالَةِ وَاضِحَةً تَحْتَمِلُ التَّخْصِيْصِ وَالتَّأْوِيْلِ اِحْتِمَالًااَضْعَفُ مِنْ اِحْتِمَاِل الظَّاهِرِمَعَ قَبُوْلِ النَّسْخِ فِى عَهْدِالرِّسَالَةِ
“Nash adalah suatu lafadz yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditaksis dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah dari pada kemungkinan yang terdapat dari lafadz dhohir.selain itu, ia dapat dinash’an pada zaman risalah atau zaman rosul”

2.2.2        Contoh
Sebagai contoh ayat al-Qur’an seperti yang dijadikan contoh dari lafadz dhohir:
وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“.... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ....”
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan dari pada dhohir ( halahnya jual beli dan haramnya riba). Karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.[8]
Hukum lafazh nash sama dengan lafazh dhohir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan,  mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara dhohir dan nash adalah kemungkinan takwil atau takhsis atau nasahan pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh dhohir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh dhohir dengan lafazh nash maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh dhohir pada lafadzh nash.
2.3    Al-Mufassar (Pengertian dan Contoh)
2.2.1        Pengertian
Menurut istilah ahli ushul fikih al mufassar adalah nash yang dengan sendirinya menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil. Antara lain karena bentuk nash itu dengan sendirinya telah menunukkan makna secara jelas dan rinci yang di dalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain.
Setiap kata yang mujmal (global) dalam al qur’an, yang dijelaskan oleh hadits dengan penelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar (jelas/rinci). Sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah sebagai penyempurna selama ia berapa dalil qath’iy (pasti). Dalam ilmu Musthalahul hadis disebut Tafsir Tasyri’i, yaitu tafsir yang sumbernya syari’ sendiri.[9]
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari dzahir-nya, karena tidak mungkin di takwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dilalah mufassar lebih kuat daripada dilalah zhahir dan dilalah nash. Oleh sebabt itu, apabila teradi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan.[10]
2.2.2        Contoh
Seperti firman Allah Swt. Dalam menjelaskan para penuduh zina kepada wanita yang bersuami:
فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً (النور : 4)
“ Maka deralah mereka itu delapan puluh kali dera” (QS. an Nur: 4).
Firman Allah Swt.:
وَقَاتِلُوا المُشْرِكِيْنَ كاَفَّةً (التوبه : 39)
“Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya” (QS. at Taubah: 26).[11]
Lafadz Musyrikin pada ayat tersebut pada mulanya dapat di taksis, namun dengan adanya lafadz kaafatan kemungkinan itu terjadi tidak ada.[12]
As-Sarakhsi memberikan definisi mufassar dengan ungkapan sebagai berikut: ( As-Sarakhsi, 1372 H. I : 165).
إِسْمٌ لِلْمَكْشُوْفِ الَّذِى يْعْرَفُ الْمُرَادُ بِهِ مَكْشُوْفًا عَلَى وَجْهٍ لاَيَبْقَى مَعَهُ اِحْتِمَالاً.
“Sesuatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”[13]
Kata kaffah (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu. Juga materi undang-undang perdata yang membatasi bermacam-macam tindakan, seperti hutang,hak, atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidak mungkin untuk ditakwil.
Antara lain karena bentuk nash itu datang secara global, tidak terinci, kemudian disusul oleh syari’ dengan penjelasan rinci, pasti, meniadakan keglobalannya, sehingga nash yang di takwil. Seperti firman Allah Swt.:
اقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَاتُوْا الزَّكَوةَ. (البقرة:43)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat .”. (QS. al Baqarah: 43)
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ. (العمران:97)
“Mengerakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia Allah.” (QS. Ali Imran: 97)
وَاَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا. (البقرة: 275)
“Padahal allah telah menghalalkan jual beli dan menharamkan riba..” (QS. al-Baqarah: 275)
Kata sholat, zakat, haji dan riba adalah kata yang global yang mempunyai arti syara’ yang tidak dijelaskan oleh bentuk nash ayat. Tetapi Rasulullah Saw. menelaskan arti kata-kata itu dengan perbuatan dan ucapannya. Maka Rasulullah Saw. sholat kemudian bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلّي.
“Shalatlah kalian sebagimana kalian melihatku sholat,”
خُذُوا عَنِّي مَنَا سِكَكُمْ.
“Ambillah daripadaku ibadah haimu.”
2.4  Muhkam (Pengertian dan Contoh)
2.4.1        Pengertian Muhkam
            Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di takwil, di takhsis dan di nasakh  meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih pada masa setelah Nabi. Misalnya Firman Allah SWT:
وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيْمٌ
 Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Pengertian ayat tersebut sangat jelas dan tegas tidak mungkin diubah. Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqana, yaitu pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarakhsi:
فَالْمُحْكَمُ مُمْتَنِعٌ مِنْ اِحْتِمَالِ التًأْوِيْلِ وَمِنْ اَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّسْخُ
Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Lafazh muhkam apabila lafazhnya khash, tidak bisa di takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazh-nya ‘amm, tidak bisa di takhsis dengan makna khash, karena maknanya sudah jelas dan tegas, tidak mempunyai kemungkinan-kemungkinan lain. Contoh: firman Allah SWT tentang haramnya menikahi janda Rasulullah.
            Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-naskh, maka muhkam itu terbagi menjadi dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.[14]
Dilalah Muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu, dilalah muhkam lebih kuat dari pada seluruh macam dilalah lainnya. Dengan sendirinya, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil di atas, maka yang didahulukan adalah dilalah muhkam.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa lafazh menurut kejelasan adalah bertingkat-tingkat. Macam-macam tingkatan lafazh ini mempunyai faedah dan pengaruh dalam menggali dan menetapkan hukum. Kegunaan dan pengaruh tersebut dapat dirasakan apabila terjadi pertentangan antara petunjuk macam-macam lafazh tersebut.
2.4.2        Contoh
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh-contoh dibawah ini:
1.        Pertentangan antara Zhahir dan Nash
Misalnya tentang halnya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja. Contohnya Firman Allah SWT, Surat An-Nisa’:24.
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَاوَرَاءَ ذَالِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُحْصِنْيِنَ غَيْرَ مُسَافْحِيْنَ...
dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina...”
Bertentangan dengan ayat An-Nisa’ ayat 3:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَمَى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلَاَث وَرُبَاعَ، فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ...
 Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan), maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua,tiga, empat. Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki..”
Ayat pertama menunjukkan halalnya menikahi wanita yang halal tanpa dibatasi jumlahnya. Dilalah tersebut termasuk dzahir. Berdasarkan dilalah ini, seorang laki-laki boleh mengawini wanita lebih dari empat. Sedangkan ayat kedua termasuk dilalah nash. Ayat kedua ini menunjukkan halalnya menikahi wanita itu dibaatasi empat, sehingga menikahi wanita lebih dari empat itu adalah haram.
Dengan demikian, terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua, yaitu ayat yang pertama boleh menikahi wanita lebih dari empat , sedangkan ayat yang kedua tidak boleh lebih dari empat. Dalam hal ini, dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat dari pada dilalah dzahir.
2.        Pertentangan antara Muhkan dengan Nash
Contoh yang bisa dikemukakan disini adalah surat An-Nisa’: 3
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَمَى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلَاَث وَرُبَاعَ، فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ...
Bertentangan dengan surat Al-Ahjab ayat:53
... وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللهِ وَلَا تُنْكِحُوْا اَزْوَجَهُ مِنْ بَعْدِهِ اَبَدًا...
dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinyasesudah ia wafat selama-lamanya...”
Ayat pertama termasuk dilalah nash ayat ini menunjukkan dibolehkannya mengawini wanita mana saja termasuk janda Rasulullah dengan syarat tidak melebihi empat. Ayat kedua dilalah nya muhkam, ayat ini mengharamkan mengawini janda Rasulullah. Dengan demikian, kedua ayat tersebut ta’arud (pertentangan), maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
3.        Pertentangan antara Musaffar dengan Muhkam
Pertentangan tersebut seperti ayat 2 surat Al-Thalaq:
... وَاَشْهِدُوْاذَوَى عَدْلٍ مِنْكُمْ..
 “..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu...”
Bertentangan dengan ayat 4 surat An-Nur:
وَلاَتَقْبَلُوْا شَهَادَةً اَبَدًا...
“dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya..”
Ayat pertama termasuk mufassar. Ayat ini menunjukkan diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat yang kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf), sesungguhnya ia bertobat. Dalam hal inimenurut sebagian ulama digunakan petunjuk ayat yang kedua.[15]



           















BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Secara bahasa ad-dhohir berasal dari kata “dhahara” artinya tampak, terlihat, muncul, lahir. Dhohir, menurut istilah ahli ushul fikih adalah sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil.
Menurut bahasa, nash berarti raftu asy-syaikh atau munculnya segala sesuatu yang tampak oleh sebab itu dalam mimbar nash ini sering disebut manasahat.
Menurut istilah ahli ushul fikih al mufassar adalah nash yang dengan sendirinya menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil. Antara lain karena bentuk nash itu dengan sendirinya telah menunukkan makna secara jelas dan rinci yang di dalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain.
Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di takwil, di takhsis dan di nasakh  meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih pada masa setelah Nabi.













DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama Indonesia.2010. Mushaf Aisyah. Bandung: Jabal Raudhatul Jannah.
S. Praja, Juhaya. 2015. Ilmu Ushul Fiqih jilid ke 5.  Bandung: Pustaka Setia.
Syafei’, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fikih. Bandung: Pustaka Setia.
Wahhab Khallaf, Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Warson Munawwir, Ahmad. 1997. Al Munawwir; Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Proggessif.
Busriyanti. 2010. Ushul Fiqh. Rejang Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN Curup.



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir; Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Proggessif, 1997), 883.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 232.
[3] Rachmat Syafei’, Ilmu Ushul Fikih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 152.
[4] Ibid, 153.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, 235-236.
[6] Rachmat Syafei’, 153
[7] Ibid, 154.
[8] Ibid, 154
[9] Ibid, 240-241.
[10] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih jilid ke 5, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), 156-157.
[11] Abdul  Wahhab Khallaf, 239-240.
[12] Juhaya S. Praja, 156.
[13] Ibid, 155-156.
[14] Rachmat Syafe’i, 157.
[15] Ibid, 158-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar