MAKALAH
Wadhihid Dilalati Wa Murothibihi (Kejelasan Dalalah dan Tingkatan)
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih II
Dosen Pengampu:
Holis
S.Hi., M.Hi.
Disusun oleh
Sifa Fauziyah (150721100009)
Holiyah (150721100)
Zakiyatur Rahmah (150721100126)
Amalia (150721100132)
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH (A)
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
Tahun Pelajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Wadhihid Dilalati Wa Murothibihi (Kejelasan Dalalah dan Tingkatan)” ini dengan tepat waktu.
Makalah ini merupakan salah satu
tugas yang wajib ditempuh untuk melengkapi salah satu materi dalam pelajaran Ushul Fiqih II. Makalah
ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu tambahan bagi para
pembaca khususnya dalam bidang fiqih.
Dengan selesainya makalah ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada
kami. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Holis S.Hi., M.Hi.
selaku Dosen
mata kuliah Ushul Fiqih
II dan terima kasih kepada teman –
teman yang membantu penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya,
mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Bangkalan,
21 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Ad-Dhohir....................................................................................................... 3
2.2 An-Nash........................................................................................................... 5
2.3 Al-Mufassar..................................................................................................... 6
2.4 Al-Muhkam...................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Para ulama berbeda
pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasan. Dalam
hal ini, dapat dibagi dalam dua kelompok. Golongan pertama, yaitu golongan
Hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat
bagian, yaitu: dhohir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan dari
ketidakjelasannya mereka membagi menjadi empat macam pula, yaitu: kahfi,
musykil, mujmal, dan mutasyabih.
Golongan kedua,
yakni jumhur dari kalangan mutakalimin, dipelopori oleh Asy-Syafi’i, yang
membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua yaitu Dhohir dan
Nash. Kedua bentuk lafazh ini disebut kalam mubayyan.
Sedangkan dari segi ketidakjelasan dibagi menjadi dua macam yaitu mujmal dan
mutasyabih. (Muhammad Adib Salih, 1984, I : 140-141).
Sebagaimana telah
dijelaskan dimuka, golongan Hanafiyah membagi lafazh dari segi
kejelasannya menjadi empat macam. Di sini akan dijelaskan secara terperinci dan
disertai contoh mengenai macam-macam lafazh tersebut. Secra garis
besarnya, pembagian lafazh menurut golongan Hanafiyah dilihat dari
peringkat kejelasan lafazh itu, dimulai dari yang jelasnya bersifat
sederhana (dhohir), cukup jelas (nash), sangat jelas (musaffar),
dan superjelas (muhkam).
1.2 Rumusan Masalah
Berikut adalah
rumusan masalah akan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya:
a.
Bagaimana pengertian dan contoh dari ad-dhohir?
b.
Bagaimana pengertian dan contoh dari an-nash?
c.
Bagaimana pengertian dan contoh dari al-mufassar?
d.
Bagaimana pengertian dan contoh dari al-muhkam?
1.3 Tujuan Masalah
Berdasarkan uraian
rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah sebagai
berikut:
a.
Mengetahui pengertian dan contoh dari ad-dhohir.
b.
Mengetahui pengertian dan contoh dari an-nash.
c.
Mengetahui pengertian dan contoh dari al-mufassar.
d.
Mengetahui pengertian dan contoh dari al-muhkam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ad- Dhohir (Pengertian dan Contoh)
2.1.1
Pengertian
Secara bahasa ad-dhohir
berasal dari kata “dhahara” artinya tampak, terlihat, muncul, lahir.[1]
Dhohir, menurut istilah ahli ushul fikih adalah sesuatu yang maksudnya
ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar,
bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil.[2]
Banyak ulama’
fiqih yang memberikan pendapatnya akan pengertian ad- dhohir.
Diantaranya adalah al- Bazdawi, al-Sarakhi, dan Muhammad Adib Salih.
Ad- Dhohir sendiri
merupakan pembagian dari lafazh dulihat dari segi kejelasan terhadap
maknanya. Al- Bazdawi memberikan definisi ad- dhohir sebagai berikut:
اِسْمٌ لِكُلِّ كَلَامٍ ظَهْرِ
الْمُرَادِبِهِ لِلسَّامِعِ بِصِيْغَتِهِ
“Suatu
nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk
lafazh itu sendiri.”
Berdasarkan
pengertian yang ada di atas, dapt dijelaskan bahwa ad- Dhohir adalah
suatu lafazh dimana lafazhnya jelas bahkan tanpa ditafsirkan
terbelih dahulu.
Sementara
pendapat lain diungkapkan oleh al-Sarakhsi, yakni:
مَايُعْرَفُ الْمُرَادُمِنْهُ بِنَفْسِ السَّامِعِ مِنْ
غَيْرِتَأَمُّلٍ
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran
itu sendiri tanpa harus dipirkan terlebih dahulu.”
Dari definisi
tersebut tampak jelas bahwa untuk memehami dhohir itu tidak bergantung
pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafazh itu
sendiri. Akan tetapi lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain.[3]
Berikut ini dalah pendapat tentang
pengertian ad- dhohir oleh Muhammad Adib Salih:
اَللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلُّ عَلَيْهَامَعْنَاهُ مِنْ
غَيْرِتَوْقُفٍ عَلَى قَرِيْنَةٍ خَارِجَةٍ مَعَ احْتِمَالِ التَّخْصِيْصِ
وَالتَّاْوِيْلِ وَقَبُوْلِ النَّسْخِ
“Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan
lafazh itu sendiri tanpa menuggu qarinah yang ada di luar lafazh itu sendiri,
namun mempunyai kemungkinan ditakhis, ditakwil, dan dinasakh.”
2.1.2
Contoh
Untuk
memudahkan dalam memahami makna dari dhohir dapat melihat sebuah ayat
sebagai bahan contoh. Salah satu ayat yang dapat menjadi contoh adalah berikut
ini:
وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“.... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba ....”
Ayat tersebut
petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba.
Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah
lain. Masing-masing dari lafazh al-bay’ dan ar-riba merupkan lafadz
‘amm yang mempunyai kemungkinan ditakhsis.[4]
Untuk lebih
jelasnya akan dijabarkan contoh lain dari ayat yang bersifat dhohir:
فَانْكِحُوْامَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِمَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ جِفْتُمْ أَلاّ تَعْدِلُوْافَوَاحِدَةً
“Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja.”
Dari ayat tersebut
terlihat maknanya bahwa terdapat pembatasan untuk memiliki istri maksimal empat
atau bahkan hanya satu saja. Hal tersebut jelas sesuai dengan lafazhnya.
Hukum ad-dhohir
wajib diamalkan sesuai dengan makna dhohirnya selama tidak ada yang
menuntuk untuk diamalkan dengan selain yang dhohir. Karena pada dasarnya
tidak ada pembelokan kata dari makna dhohir kecuali ada dalil yang
menuntut hal itu. Bahwasanya ad-dhohir mungkin untuk ditakwil, artinya
membelokkan kata itu dari lahirnya dan menghendaki makna yang lain. Jika lafazh
itu umum mungkin untuk dibatasi, jika kata itu bermakna hakiki maka mungkin
untuk diberi makna majaz dan bentuk-bentuk takwil lainnya.[5]
2.2
An-Nash (Pengertian dan Contoh)
2.2.1
Pengertian
Menurut bahasa, nash berarti raftu asy-syaikh atau munculnya
segala sesuatu yang tampak oleh sebab itu dalam mimbar nash ini sering
disebut manasahat.[6]
Sementara itu beberapa ulama mengungkapkan pendapatnya tentang pengertian nash
sebagai berikut:
a.
Ad-Dabusi
اَلزَّائِدَعَلَى الظَّاهِرِبَيَانًااِذَاقُوْبِلَ
بِهِ
“suatu lafadz yang maknanya lebih
jelas dari pada dhohir bila ia dibandingkan dengan lafadz dhodhir.”
b.
Albazdawi
مَاازْدَادَوُضُوْحًاعَلَى الظَّاهِرِبِمَعْنَى
الْمُتًكَلِّمِ لَافِى نَفْسِ الصِّيْغَةِ
“lafad yang lebih jelas maknanya
dari pada makna lafad dhohir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari
rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash
mempunyai tambahan kejelasan.[7]
Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan
timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan karinah. Atas
dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salib berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash
itu adalah:
اَللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلًّ عَلَى
الْحُكْمِ الَّذِيْ سِيْقُ لِأَجْلِهِ الْكَلاَمِ دَلَالَةِ وَاضِحَةً تَحْتَمِلُ
التَّخْصِيْصِ وَالتَّأْوِيْلِ اِحْتِمَالًااَضْعَفُ مِنْ اِحْتِمَاِل الظَّاهِرِمَعَ
قَبُوْلِ النَّسْخِ فِى عَهْدِالرِّسَالَةِ
“Nash adalah suatu lafadz yang menunjukkan hukum
dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai
kemungkinan ditaksis dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah dari pada
kemungkinan yang terdapat dari lafadz dhohir.selain itu, ia dapat dinash’an pada
zaman risalah atau zaman rosul”
2.2.2
Contoh
Sebagai contoh ayat al-Qur’an seperti yang dijadikan contoh dari lafadz
dhohir:
وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“.... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba ....”
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli
dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan yang menjelaskan hukum. Di sini
nash lebih memberi kejelasan dari pada dhohir ( halahnya jual beli
dan haramnya riba). Karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan
bahasa.[8]
Hukum lafazh nash sama dengan lafazh dhohir, yaitu wajib
diamalkan petunjuknya atau dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang
menakwilkan, mentakhsis atau menasakhnya.
Perbedaan antara dhohir dan nash adalah kemungkinan takwil
atau takhsis atau nasahan pada lafazh nash lebih
jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh dhohir. Oleh sebab itu,
apabila terjadi pertentangan antara lafazh dhohir dengan lafazh nash
maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh
dhohir pada lafadzh nash.
2.3
Al-Mufassar
(Pengertian dan Contoh)
2.2.1
Pengertian
Menurut istilah ahli ushul fikih al mufassar adalah
nash yang dengan sendirinya menunjukkan makna secara
rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil. Antara lain karena bentuk nash itu
dengan sendirinya telah menunukkan makna secara jelas dan rinci yang di
dalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain.
Setiap
kata yang mujmal (global) dalam al qur’an, yang dijelaskan oleh hadits
dengan penelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar (jelas/rinci).
Sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah sebagai penyempurna
selama ia berapa dalil qath’iy (pasti). Dalam ilmu Musthalahul hadis
disebut Tafsir Tasyri’i, yaitu tafsir yang sumbernya syari’ sendiri.[9]
Dilalah
mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang
tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Lafazh mufassar tidak mungkin
dipalingkan artinya dari dzahir-nya, karena tidak mungkin di takwil
dan ditakhsis, melainkan hanya bisa nasakh atau diubah apabila ada dalil
yang mengubahnya.
Dilalah
mufassar lebih kuat daripada dilalah zhahir
dan dilalah nash. Oleh sebabt itu, apabila teradi pertentangan antara
dilalah mufassar dengan dilalah nash dan zhahir maka
dilalah mufassar harus didahulukan.[10]
2.2.2
Contoh
Seperti firman Allah
Swt. Dalam menjelaskan para penuduh zina kepada wanita yang bersuami:
فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ
جَلْدَةً (النور : 4)
“ Maka deralah mereka itu delapan puluh
kali dera” (QS. an Nur: 4).
Firman Allah Swt.:
وَقَاتِلُوا المُشْرِكِيْنَ
كاَفَّةً (التوبه : 39)
“Dan perangilah kaum musyrik itu
semuanya”
(QS. at Taubah: 26).[11]
Lafadz Musyrikin pada ayat tersebut pada mulanya
dapat di taksis, namun dengan adanya lafadz kaafatan kemungkinan itu
terjadi tidak ada.[12]
As-Sarakhsi
memberikan definisi mufassar dengan ungkapan sebagai berikut: (
As-Sarakhsi, 1372 H. I : 165).
إِسْمٌ لِلْمَكْشُوْفِ الَّذِى
يْعْرَفُ الْمُرَادُ بِهِ مَكْشُوْفًا عَلَى وَجْهٍ لاَيَبْقَى مَعَهُ
اِحْتِمَالاً.
“Sesuatu nama untuk sesuatu yang terbuka
dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan
ditakwil.”[13]
Kata
kaffah (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali materi
hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu. Juga materi
undang-undang perdata yang membatasi bermacam-macam tindakan, seperti
hutang,hak, atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidak mungkin untuk
ditakwil.
Antara
lain karena bentuk nash itu datang secara global, tidak terinci, kemudian
disusul oleh syari’ dengan penjelasan rinci, pasti, meniadakan keglobalannya,
sehingga nash yang di takwil. Seperti firman Allah Swt.:
اقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَاتُوْا
الزَّكَوةَ. (البقرة:43)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat .”. (QS.
al Baqarah: 43)
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ. (العمران:97)
“Mengerakan haji ke baitullah adalah
kewajiban manusia Allah.” (QS. Ali Imran: 97)
وَاَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَوا. (البقرة: 275)
“Padahal allah telah menghalalkan jual
beli dan menharamkan riba..” (QS. al-Baqarah: 275)
Kata
sholat, zakat, haji dan riba adalah kata yang global yang mempunyai arti syara’
yang tidak dijelaskan oleh bentuk nash ayat. Tetapi Rasulullah Saw. menelaskan
arti kata-kata itu dengan perbuatan dan ucapannya. Maka Rasulullah Saw. sholat
kemudian bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي
أُصَلّي.
“Shalatlah kalian sebagimana kalian
melihatku sholat,”
خُذُوا عَنِّي مَنَا سِكَكُمْ.
“Ambillah daripadaku ibadah haimu.”
2.4 Muhkam (Pengertian dan Contoh)
2.4.1
Pengertian Muhkam
Muhkam adalah suatu
lafazh yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas dan jelas
serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di takwil, di takhsis
dan di nasakh meskipun pada
masa Nabi, lebih-lebih pada masa setelah Nabi. Misalnya Firman Allah SWT:
وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيْمٌ
“Dan
Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Pengertian ayat tersebut sangat
jelas dan tegas tidak mungkin diubah. Muhkam menurut bahasa diambil dari
kata ahkama, yang berarti atqana, yaitu pasti dan tegas.
Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarakhsi:
فَالْمُحْكَمُ مُمْتَنِعٌ مِنْ اِحْتِمَالِ التًأْوِيْلِ
وَمِنْ اَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّسْخُ
”Muhkam
itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Lafazh muhkam apabila lafazhnya khash,
tidak bisa di takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazh-nya
‘amm, tidak bisa di takhsis dengan makna khash, karena
maknanya sudah jelas dan tegas, tidak mempunyai kemungkinan-kemungkinan lain.
Contoh: firman Allah SWT tentang haramnya menikahi janda Rasulullah.
Sehubungan
dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-naskh, maka muhkam itu
terbagi menjadi dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena
terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.[14]
Dilalah Muhkam wajib diamalkan secara qath’i,
tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh
sebab itu, dilalah muhkam lebih kuat dari pada seluruh macam dilalah lainnya.
Dengan sendirinya, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil di atas,
maka yang didahulukan adalah dilalah muhkam.
Sebagaimana telah dijelaskan di
muka bahwa lafazh menurut kejelasan adalah bertingkat-tingkat.
Macam-macam tingkatan lafazh ini mempunyai faedah dan pengaruh dalam
menggali dan menetapkan hukum. Kegunaan dan pengaruh tersebut dapat dirasakan
apabila terjadi pertentangan antara petunjuk macam-macam lafazh tersebut.
2.4.2
Contoh
Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat contoh-contoh dibawah ini:
1.
Pertentangan antara Zhahir dan Nash
Misalnya tentang halnya menikahi
wanita tanpa dibatasi jumlahnya yang bertentangan dengan halalnya menikahi
wanita itu dengan dibatasi empat orang saja. Contohnya Firman Allah SWT, Surat
An-Nisa’:24.
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَاوَرَاءَ
ذَالِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُحْصِنْيِنَ غَيْرَ مُسَافْحِيْنَ...
“dan
dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu
mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina...”
Bertentangan dengan ayat An-Nisa’
ayat 3:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَمَى
فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلَاَث وَرُبَاعَ،
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَامَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ...
“Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku
adil terhadap anak-anak yatim (perempuan), maka kawinilah perempuan-perempuan
yang kamu senangi dua,tiga, empat. Maka jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah budak-budak yang kamu
miliki..”
Ayat pertama menunjukkan halalnya
menikahi wanita yang halal tanpa dibatasi jumlahnya. Dilalah tersebut
termasuk dzahir. Berdasarkan dilalah ini, seorang laki-laki boleh
mengawini wanita lebih dari empat. Sedangkan ayat kedua termasuk dilalah nash.
Ayat kedua ini menunjukkan halalnya menikahi wanita itu dibaatasi empat,
sehingga menikahi wanita lebih dari empat itu adalah haram.
Dengan demikian, terjadi
pertentangan antara ayat pertama dan kedua, yaitu ayat yang pertama boleh
menikahi wanita lebih dari empat , sedangkan ayat yang kedua tidak boleh lebih
dari empat. Dalam hal ini, dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab
dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih
kuat dari pada dilalah dzahir.
2.
Pertentangan antara Muhkan dengan Nash
Contoh
yang bisa dikemukakan disini adalah surat An-Nisa’: 3
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَمَى
فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلَاَث وَرُبَاعَ،
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَامَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ...
Bertentangan dengan surat Al-Ahjab ayat:53
... وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللهِ وَلَا
تُنْكِحُوْا اَزْوَجَهُ مِنْ بَعْدِهِ اَبَدًا...
”dan
tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini
istri-istrinyasesudah ia wafat selama-lamanya...”
Ayat pertama termasuk dilalah
nash ayat ini menunjukkan dibolehkannya mengawini wanita mana saja termasuk
janda Rasulullah dengan syarat tidak melebihi empat. Ayat kedua dilalah nya
muhkam, ayat ini mengharamkan mengawini janda Rasulullah. Dengan
demikian, kedua ayat tersebut ta’arud (pertentangan), maka harus
diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
3.
Pertentangan antara Musaffar dengan Muhkam
Pertentangan tersebut seperti ayat 2 surat Al-Thalaq:
...
وَاَشْهِدُوْاذَوَى عَدْلٍ مِنْكُمْ..
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil diantara kamu...”
Bertentangan
dengan ayat 4 surat An-Nur:
وَلاَتَقْبَلُوْا شَهَادَةً
اَبَدًا...
“dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya..”
Ayat pertama termasuk mufassar.
Ayat ini menunjukkan diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat
yang kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima
kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf), sesungguhnya ia bertobat. Dalam
hal inimenurut sebagian ulama digunakan petunjuk ayat yang kedua.[15]
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara bahasa ad-dhohir
berasal dari kata “dhahara” artinya tampak, terlihat, muncul, lahir. Dhohir,
menurut istilah ahli ushul fikih adalah sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh
bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal
dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil.
Menurut bahasa, nash
berarti raftu asy-syaikh atau munculnya segala sesuatu yang tampak oleh
sebab itu dalam mimbar nash ini sering disebut manasahat.
Menurut
istilah ahli ushul fikih al mufassar adalah nash yang dengan sendirinya
menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil. Antara
lain karena bentuk nash itu dengan sendirinya telah menunukkan makna secara
jelas dan rinci yang di dalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain.
Muhkam
adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas
dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di takwil,
di takhsis dan di nasakh meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih pada masa
setelah Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian
Agama Indonesia.2010. Mushaf Aisyah. Bandung: Jabal Raudhatul Jannah.
S. Praja, Juhaya. 2015. Ilmu Ushul Fiqih jilid ke 5. Bandung: Pustaka Setia.
Syafei’, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fikih. Bandung: Pustaka Setia.
Wahhab Khallaf, Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam.
Jakarta: Pustaka Amani.
Warson Munawwir, Ahmad. 1997. Al Munawwir; Kamus Arab – Indonesia.
Surabaya: Pustaka Proggessif.
Busriyanti. 2010. Ushul Fiqh. Rejang
Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN Curup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar