BAB
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah merupakan hal yang sangat penting
dari masa lalu yang bisa kita digunakan
sebagai pelajaran untuk masa depan. Kehidupan yang kita jalani saat ini tidak akan bisa terpisah dari pengaruh sejarah di masa lalu.
Presiden pertama kita Ir.
Soekarno bahkan selalu menyuarakan
pentingnya untuk mengenang sejarah dalam pidatonya yang lebih kita kenal dengan
sebutan “JASMERAH” agar kita dapat lebih maju dengan memandang masa lalu, yaitu
SEJARAH.
Sebelum Islam masuk dan berkembang,
Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan
Budha. Dengan masuknya Islam,
Indonesia mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih)
kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang
melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam
tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang.
Nilai-nilai Islam masuk masuk
bukan hanya dalam hal kebudayaaan saja melainkan juga mempengaruhi dunia perpolitikanyang
ada di Indonesia. Islam memiliki pengaruh yang besar dalam hal perpolitikan dan
ilmu pengetahuan di negeri ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa saja kerajaan
Islam yang ada di Sumatera, Jawa, Kalimatan, Sulawesi, dan Maluku ?
2.
Bagaimana hubungan
politik dan keagamaan
antar kerajaan Islam ?
3. Bagaimana kedatangan Belanda dan
kondisi kerajaan Islam
di Indonesia ?
4. Bagaimana politik Islam Hindia
Belanda
BAB PEMBAHASAN
A. Kerajaan-kerajaan
Islam di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku
1. Kerajaan
Islam di Pulau Sumatera
Terdapat tiga kerajaan
Islam terkenal di Pulau Sumatera dimana ketiga kerajaan ini merupakan kekuatan
politik yang besar. Tiga kerajaan ini adalah Perlak, Pasai, dan Aceh.
·
Kerajaan Perlak
Kerajaaan
ini merupakan kerajaan islam pertama yang ada di pulau Sumatera Utara.
Kerajaaan ini berkuasa pada tahun 225-692 H/ 840-1292 M. Tahun 173 H, terdapat
sebuah kapal yang berlabuh di bandar perlak yang membawa pendakwah yang
dipimpin nahkoda kholifah. Menurut Prof. A. Hasjmy[1]
nahkoda tersebut berasal dari keturunan bani khalifah yang berasal dari jazirah
Arab.
Angkatan
dakwah yang dipimpin nahkoda khalifah berjumlah 100 orang, yang terdiri dari
orang Arab, Persia, dan India. Mereka menyiarkan Islam pada penduduk setempat
dan keluarga istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku
Quraisy kawin dengan seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik
dari Maurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahirlah Sayid
abdul aziz, putra campuran Arab-Perlak yang kemudian setelah dewasa dilantik
menjadi raja Kerajaan perlak pada tahun 225 H.[2]
Raja
pertama yang memimpin kerajaan ini bernama Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul
Azizz Shah ( 225-249 H/840-864 M ). Pada
saat itu terdapat delapan kerajaan besar di daerah tersebut, namun hanya Kerajaan
Perlak yang berpeagng pada Islam dan memeluk undang-undang Muhammad(
undang-undang islam).
Awalnya, Islam di kerajaan ini dipengaruhi oleh Aliran Syi’ah pada tahun
744-747 M., dengan pemimpinnya Abdullah Ibnu Muawiyah. Kemudian,
pada masa Sultan Alaiddin Syeh Maulana Abbas Shah ( 285-300 H/888-913 M )
masuklah paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Namun, kelompok Syi’ah tidak menyukai
golongan yang baru masuk ini.
Akibatnya, terjadilah perang saudara antar dua golongan tersebut. Akhirnya,
kerajaan perlak dibagi menjadi dua bagian, yaitu Perlak Pesisir, yang
dikuasai oleh golongan Syi’ah dengan rajanya Sultan Alaiddin Syed Maulana Azizz
Shah ( 365-377 H/976-988 ). Sedangkan bagian yang
satunya diberi nama Perlak Pedalaman yang dikuasai golongan Ahlu Sunnah Wal
Jamaah yang dipimpin oleh Sultan Alaiddin Malik Ibrahim ( 365-402 H/986-1012 M
).
Sistem
pemerintahan yang ada di kerajaaan ini mengikuti system pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M), yang terdiri dari:
1. Kepala
pemerintahan/kepala badan eksekutif yang dipegang oleh Sultan dengan dibantu
oleh beberapa wazir.
2. Wazir
As-Siyasah (bidang politik)
3. Wazir
Al-Harb (bidang keamanan/pertahanan)
4. Wazir
Al-Maktabah (bidang administrasi negara)
5. Wazir
Al-Iqtishad (bidang ekonomi/keuangan)
6. Wazir
Al-Hukkam (bidang kehakiman)
7. Majelis
Fatwa di bawah pimpinan seorang ulama’ yang disebut Mufti ( penasihat
pemerintah yang bertugas mendampingi sultan dan para wazirnya. )
Raja-Raja yang memimpin
kerajaan ini adalah sebagi berikut :
1. Sultan
Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah (840-864 M)
2. Sultan
Alaiddin Maulana Abdur Rahim Syah (864-888 M)
3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah
(888-913 M)
4. Sultan
Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M)
5. Sultan
Makhdum Alauddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (928-932 M)
6. Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat ( 932-956 M)
7. Sultan
Makhdum Abdul Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (956-983 M)
·
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini berada di pesisir Timur
Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau
pertengahan abad ke-13 M, sebagai proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang
pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan
seterusnya.[3]
Kerajaaan ini didirkan oleh Sultan
Al-Malikus Shalih (1261-1289 M. Beliau merupakan keturunan Raja Perlak, Sultan
Makhdum Abdul Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat. Kerajaan ini mengalami puncak
kejayaan pada masa Sultan Malik Azh-Zhahir.
Ibnu Batutah, seorang
pengembara muslim, dalam Rihlah Ibnu Batutah (Travels of Ibn Batutah)
menyebutkan bahwa Ibnu Batutah tiba di Samudera Pasai pada zaman pemerintahan
Sultan Malikuzh Zhahir pada tahun 1345 M.[4]
Berikut nama-nama raja yang memimipin
kerajaan ini adalah sebagai berikut:
1. Sultan
Malik Azh- Zahir (1297-1326 M)
2. Sultan
Mahmud Malik Azh- Zhahir (1326-1345 M)
3. Sultan
Mashur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4. Sultan
Ahmad Malik Azh- Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan
Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6. Sultan
Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan
Abu Zaid Malik Azh- Zhahir (1455 M)
8. Sultan
Mahmud Malik Azh- Zhahir (1455-1477 M)
9. Sultan
Zainal Abidin (1477-1500 M)
10.
Sultan Abdullah Malik
Azh- Zhahir (1500-1513 M)
11.
Sultan Zainal Abidin
(1513-1524 M)
·
Kerajaan Aceh
Darussalam
Kerajaan ini terletak di daerah yang
kini disebut dengan nama Aceh Besar.
Kerajaaan ini berdiri pada abad ke-15 M,
dari sisa-sisa puing Kerajaan Lamuri yang dipimpin ole Muzaffar Syah (1465-1497
M).
Kerajaan ini mengalami kemajuan
dalam perdagangan pada masa Sultan Iskandar Muda(1608-1637 M) karena Malaka
dikuasai Portugis, kekuasaan Portugis membuat jalur dang yang biasanya melalui
selat Karimata terus ke Malaka berubah menjadi melalui selat Sunda menyusuri
Sumatera bagian Barat sampai ke Aceh.
Menurut H.J. de Graaf, Aceh
menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian
agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14.[5]
Setelah itu, kerajaan ini
dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani dengan cara liberal. Pada masa ini
perkembangan ilmu pengetahuan islam berada pada puncak kejayaan. Setelah ia
meninggal, penguasaannya diganti dengan para perempuan, yaitu Sultanah Shafiyatuddin
Syah, Zakiyatun Syah, dan Naqiyatuddin Syah sehingga mengalami kemunduran dan
pada abad ke-18 kebesarnnya mulai turun.
Di kerajaan ini muncul
tokoh-tokoh ulama’dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan yakni sebagai
berikut:
1.
Syaikh Abdullah
Arif
2.
Hamzah Al-Fanshuri
3.
Syamsudiin
As-Sumatrani
4.
Abdurrauf Singkel
·
Kerajaan Siak Islam
Kerajaan ini berada di
kepulauan Riau. Raa pertamanya adalah Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah tahun
1723-1746 M. Kerajaan ini masih dalam naungan Kerajaan Siak dalam menghadapi
berbagai hal yang mencakup penyebaran agama islam maupun dalam menghadapi Imperialisme
Portugis dan Belanda. Oleh karena itu, kerajaan ini tidak bissa terpisahkan
dari Kerajaan Siak.
Berikut adalah Raja-Raja yang
memimpin Kerajaan ini :
1.
Sultan Abdul Jalil
Rahmad Syah
2.
Sultan Muhammad
Abdul jalil Muzafar Syah
3.
Sultan Ismail Abdul
Jalil Jamaluddin Syah
4.
Sultan Abdul Jalil
Alamuddin Syah
5.
Sultan Muhammad Ali
Abdul Jalil Muazam Syah
6.
Sultan Yahya Abdul
Jalil Muzafar Syah
7.
Sultan Sayid Syarif
Ali Abdul Jalil Syaifuddin
8.
Sultan Sayid Syarif
Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin
9.
Sultan Sayid Syarif
Ismail Abdul Jalil Saifuddin
10.
Sultan Sayid Syarif
Qosim Saifuddin I
11.
Sultan Sayid Syarif
Hasyim Saifuddin
12.
Sultan Sayid Syarif
Qosim Saifuddin II
·
Kerajaan Islam
Palembang Darussalam
Kerajaan ini awalnya adalah
wilayah kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian memisahkan diri dan menciptakan
kerajaan sendiri.
Sultan pertama kerajaan ini
adalah Ki Gendeng Suro tahun 1539-1572 M. Namun, terdapat pendapat lain yang
menyatakan bahwa kerajaan ini didirikan oleh Sultan Abdurrahman Khalifatul
Mukminin Sayidil Islam dengan Pangeran Aria Kusuma pada tahun 1659-1706 M.
Di kerajaan ini ilmu
pengetahuan dan keilmuan berkembang dengan prospek yang sangat baik dengan
didukung dengan banyaknya para ulama Arab yang datang dan menetap di kerajaan
ini. Kerajaan ini juga menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai penjuru
dunia. Selain itu, kerajaan ini juga memiliki lokasi yang strategis dan tempat
ekspor lada yang cukup besar. Hal tersebut membuat Belanda berniat untuk
merebut kerajaan ini. Akhirnya Belanda berhasil mengalahkan Sultan Mahmud
Badaruddin dan mendapatkan kerajaan ini.
Berikut daftar nama raja yang
pernah berkuasa di kerajaan ini:
1.
Sultan Abdurrahman
Khalifatul Mukminin Sayidil Imam
2.
Sultan Muhammad
Mansur (Pangeran Hingga Laga)
3.
Sultan Agung
Komaruddin Sri Teruno (Raden Uju)
4.
Sultan Mahmud
Badaruddin (Pangeran Ratu Joyo Wikromo)
5.
Sultan Ahmad Najamuddin
(Pangeran Adi Kesuma, Raden Banjar)
6.
Sultan Mahmud
Baharudin
7.
Sultan Mahmud
Badaruddin II
8.
Sultan Mahmud
Najamuddin II
9.
Sultan Mahmud
Najamuddin III
10.
Sultan Ahmad
Najamuddin P. Anom
11.
Pangeran Kerama
Jaya (Raden Abdul Azim Purbolinggo)
2.
Kerajaan Islam di
Pulau Jawa
·
Kerajaan Demak
Kerajaan ini didrikan dan
diprakarsai oleh para anggota wali songo. Dan sebagai pimpinan dari wali songo
ini adalah Sunan Ampel Denta. Kemudian para wali songo sepkat bahwa yang
menjadi Rja dari kerajaan ini adalah Raden Fatah dan beliau mendapat gelar
Senopati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panataagama. Raden Fatah
dalam menjalankan kerajaannya senantiasa dibantu oleh para wali.
Daerah Demak yang dulu masih
dinamakan Bintoro merupakan daerah hibah yang diberikan oleh Kerajaan Majapahit
kepada Raden Fatah. Daerh yang dulunya sepi mulai berkembang dan menjadi salah
astu tempat peradaban agama Islam di Indonesia.
Raden Fatah memerintah kerajaan
ini akhir abad ke-15 M hingga awal abad ke-16 M. Disebutkan juga bahwa Raden
Fatah adalah seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Beliau putra dari
seorang wanita muslim keturunan Campa.
Setelah Raden Fatah turun dari
jabatannya, kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Pati Unus
(Adipati Unus) yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor. Saat iru
Adipati Unus masih berusia 17 tahun ketika ia menggantikan ayahnya sebagai
seorang pimpinan kerajaan.
Setelah ia menduduki jabatan
sebagai raja, ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat
perangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis tahun 1511
M. Serangan yang dilakukannya mengalami kegagalan karena kerasnya arus ombak
dan kuatnya pasukan Portugis sehingga akhirnya ia kembali ke Demak tahun 1513
M.[6]
Setelah Adipati Unus meninggal,
beliau digantika oleh anaknya yang
bernama Sultan Trenggono yang pada saat itu pengangkatannya langsung
dilakukan oleh Sunan Gunung Jati. Sultang Trenggono memimpin mulai tahun
1524-1546 M. Pada masa ini agama Islam maju begitu pesat hingga sampai ke Kalimantan
Selatan.
Sultan Trenggono meninggal
tahun 1546 M. saat memimpin penyerangan ke Blambangan dan ia digantikan oleh
adiknya Sultan Prawoto. Namun, pada masa kepemimpinan Sultan Prawoto terjadi
kerusuhan sehingga ia terbunuh.
Kursi ini kemudian diisi oleh
Jaka Tingkir yang terlebih dulu berhasil membunuh Arya Penangsang. Kemudian
kerajaan emak dipindah ke Pajang.
·
Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang didirikan oleh
Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging. Jaka Tingkir adalah menantu dari
Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan di daerah Pajang.
Setelah ia berhasil membunuh
Arya Penangsang seluruh kerajaan Demak beralih di tangan kerajaan Pajang, dan
seluruh kegiatan pemerintahan dipindah ke Pajang.
Jaka Tingkir sendiri memiliki
sebuah gelar yakni Sultan Hadiwijaya.
Pada masa kepemimpinannya ia
mencoba memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Madiun. Akhirnya dia berhasil
menaklukkan Blora tahun 1554 M dan Kediri pada tahun 1577 M. Beliau juga
mendapat gelar raja Islam dari para raja di Jawa. Pada masa ini kesustraan dan
kesenian keraton dikenal sampai ke pedalaman Jawa begitu pula dengan agama
Islam yang semakin populer.
Setelah Jaka Tingkir meninggal
(1587 M), ia digantikan oleh Arya Penggiri (anak Sunan Prawoto) dan anak Jaka
Tingkir diberi kekuasaan di Apeng. Namun, ia memberontak pada Arya penggiri dan
kemudian ia meminta bantuan dari Senopati Mataram. Usaha tersebut berhasil dan
ia mendapat tanda terima kasih dari Senopati Mataram dan meneriama hak atas
warisannya. Ia hanya meminta pusaka Kerajaan Pajang dipindah ke Mataram. Dan
akhirnya Kerajaan Pajang berada di bawah perlidungan Mataram yang kemudian
menjadi daerah kekuasaan Mataram.
·
Kerajaan Mataram
Islam
Didirikan oleh Panembahan
Senopati. Dalam tradisi Jawa apabila terjadi penyerahan pusaka, hal tersebut
berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampa 1601 M.
Setelah ia meninggal,
digantikan oleh Mas Jolangyang lebih dikenal dengan Sultan Seda Ing Kaprak
dengan masa jabatann sampai tahun 1613 M. Setelah itu, ia digantikan oleh
Sultan Agung yng berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma Sayidin Panataagama
Khalifatullah ing Tanah Jawi (1613-1646 M).
Pada masanya kepemimpinannya
terjdi perang saudara dengan Pangeran Alif yang mendapatkan dukungan dari para
ulama’. Kemudian terjadi pemberontakan lagi oleh raden kajoran 1677 dan 1678 M.
Pemberontakan seperti inilah yang membuat Kerajaan Mataram Islam mengalami
kehancuran.
3.
Kerajaan Islam di
Pulau Kalimantan
·
Kerajaan Sukadana
(Kalimantan Barat)
Kerajaan ini berdiri sekitar
tahun 1590 M. Kerajaan ini di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Awalnya raja di
kerajaan ini adalah Non muslim baru raja pertama yang Muslim bernama Giri
Kusuma. Raja dari kerajaan ini yang berjasa dalam penyebaran agama Islam adalah
sebagai adalah:
a.
Giri Kusuma (1590 M)
b.
Sultan Muhammad
Sahruddin
Pada 1725 M, Kerajaan Sukadana
melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Demak. Namun, pada masa penguasaan
Belanda, Kerajaan ini runtuh.
·
Kerajaan Bandar
(Kalimantan Selatan)
Kerajaan ini awalnya adalah Kerajaan
Hindu bernama Kesultanan Daha, kemudian berubah menjadi Kesultanan Islam.
Kerajaan ini berdiri tahun 1595 dengan rajanya Sultan Suriansyah. Islam masuk
ke daerah ini mulai tahun 1470 M.
Peristiwa yang membuat kerajaan
ini menjadi islam adalah saat Pangeran Samudera akan menyerang Kerajaan Daha yang kemudian dia
meminta bantuan pada kerajaan Demak dengan janji apabila kerajaaanya menang
maka seluruh penduduk dan dirinya akan masuk Islam. Dan atas restu Allah SWT kerajaan
ini memenagkan peperangan dan memeluk agama islam begitu pun rajanya Pangeran
Samudera tahun 1550 M.
Penyebaran Islam di Kalimantan
juga dibantu oleh seorang ulama’ besar bernama Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari.
Kerajaan ini mengalami
kemunduran saat rakyat tidak sependapat dengan Belanda mengenai pengangkatan Pangeran
Tamjidillah (1857-1859 M). Terjadilah perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran
Antasari melawan Belanda tahun 1859-1905 M. Akibatnya Kerajaan banjar
dihapuskan oleh Belanda tahun 1860 M.
4.
Kerajaan Islam di
Pulau Sulawesi
·
Kerajaan Goa
(Makassar)
Kerajaan ini pada mulanya juga
sama dengan Kerajaan banjar yang non muslim. Namun terdapat salah stu rajanya
yang masuk Islam yakni, Karaing Tonigallo yang kemudian bergelar Sultan
Alauddin Awwalul Islam. beliau memrintah mulai 1591-1638 M.
Tahun 1654-1660 M, kerajaan ini dipimpin oleh Sultan
Hasanuddin. Kerajaan ini meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan pulau
sekitarnya dan Sumbawa.
Terjadi berkali-kali peperangan
dengan Belanda dan kemudian Sultan Hasanuddin menandatanganni perjanjian yang
akhirnya beliau turun dari tahtanya dan digantikan oleh anaknya bernama
Mapasomba.
·
Kerajaan Bugis
Kerajaan Islam bugis awalnya
bukan kerajaan Islam. Raja Bugis yang pertama masuk Islam adalah Lambu Sadat.
Setelah ia turun tahata ia digantikan oleh anaknya yang bernama Apu Tanderi.
Wilayah kekuasaan kerajaan ini
adalah Wajo, Sopeng, Sindenrengi, Tanette dan lain-lain dengan ibukota Luwu.
Kerajaan ini berdiri bersamaan dengan berdirinya kerajaan Goa.
5.
Kerajaan islam di
Maluku
·
Kerajaan Ternate
Raja pertama kerajaan yang
masuk Islam adalah Raja Gapi Buguna (1465-1486 M) atas ajakan Maulana Husein.
Saat ia menjadi raja ia dikenal dengan nama Raja Marhum.
Raja Marhum diganti anaknya
Zainal Abidin Sultan Ternate. Tahun 1495 ia pergi ke Jawa untuk belajar ke
Sunan Giri dan kekuasaannya diserahkan pada wakilnya. Tahu 1564 terdapat
perjanjian dengan Portugis yang berisi bahwa Ternate berada di bawah
perlindungan Portugis. Yang kemudian memerintah adalah Gubernur Portugis
bernama de Mesquita. Pada masa itu adalah masa pemerintahan Sultan Khairun.
Tahun 1565 m, Sultan Khairun
memperbolehkan perang dengan Portugis sehingga mereka terdesak dan mengadakan
perjanjian. Namun, yang terjadi malah Sultan Khairun dibunuh saat iru.
Sultan Babullah (1570-1583 M)
menggantikan Sultan Khairun. Yang beliau juga memperbolehkan perang dengan
Portugis. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Ternate tahun 1575 M. Setelah
beliau meninggal, ia digantikan oleh anaknnya Saiduddin Barakat.
·
Kerajaan Tidore
Wilayahnya meliputi sebagian
Halmahera, pantai barat Irian Jaya, dan sebagian Kepulauan Seram. Raja pertama
yang msuk Islam yakni Cirali Lijitu yang berganti nama Sultan Jamaluddin.
Ketika Spanyol datang ke Maluku
pada tahun 1521 M mereka telah mendapati kerajaan Islam Tidore. Dan Kerajaan
ini telah ada 50 tahun sebelumnya. Sedangkan setelah Sultan Jamaluddin
meninggal digantikan oleh putranya, Sultan Makmur.[7]
·
Kerajaan Bacan
Tahun 1521, rajanya masuk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Zainul
Abidin. Wilayah kerajaan ini adalah kepualaun Bacan, Obi, Waigeo, Salawati dan
Misool. Saat Portugis menguasai daerah ini, para sultannya terpaksa memlk agama
Kristen.
B.
Hubungan
Politik Dan Keagamaan Antar Kerajaan Islam
Hubungan antara satu kerajaan
dengan kerajaan islam lainnya pertama-tama memang terjalin karena persamaan
agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian
berlanjut setelah kerajaan islam berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri
dengan daerah-daerah islam di Indonesia bagian timur, terutama Maluku. Adalah
dalam rangka penyebaran Islam itu pula, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke
Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.
Dalam bidang politik, agama
pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak
atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kegiatan atau
kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam
menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai contoh. Contoh
lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan
Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.
Meskipun demikian, kalau
kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri
terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan
di kalangan kerajaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi. Misalnya, antara
Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena itu pula
sering satu kerajaan Islam meminta bantuan kepada pihak lain, terutama Kompeni
Belanda, Untuk mengalahkan kerajaan Islam yang lain.
Hubungan antar
kerajaan-kerajaan Islam lebih Banyak terletak dalam bidang budaya dan
keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi
Mekkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran
Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan
murid-muridnya yang menuntut ilmu kesana. Demikian pula halnya dengan Giri di
Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Karya-karya sastra
dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi
karya-karya itu seringkali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan Islam
itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama yaitu Islam. Hal ini
menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.[8]
Dan tidak bisa kita pungkiri
perdebatan antara hubungan islam dan politik tidak akan pernah berhenti, baik
itu di dunia Islam maupun di Indonesia. Di Indonesia relasi antara islam dan
politik sudah ada semenjak islam masuk, tetapi perdebatan itu terjadi setelah
kemerdekaan Indonesia. Dimana perdebatan itu begitu vulgar ketika diadakannya
rapat BPUPKI dan memuncak dengan keluarnya piagam jakarta. Namun, pada akhirnya
hubungan antara islam dan politik dalam bentuk formal tidak terealisasikan
dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuknya
pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia. Pancasila bernafaskan sekuler ini
sudah menjadi sistem politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi
bagi Islam politik di Indonesia.
Tetapi, cita-cita dan tujuan
untuk mendirikan negara islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia.
Disisi lain, peranan partai politik terutama partai-partai islam akan tetap
menghiasi perdebatan politik islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam
bisa jadi indicator bahwa politik islam tetap eksis di Indonesia. Hubungan
politik dan keagamaan atau politik islam denagn kata lain, politik dalam Islam
yang berarti ada negara dan pemerintahan dalam Islam.
C. Situasi Dan Kondisi Kerajaan – Kerajaan Islam Di
Indonesia Ketika Belanda Datang
Keadaan kerajaan islam menjelang datingnya belanda di akhir abad ke -16 dan awal abad ke -17 ke
Indonesia berbeda-beda , bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi
juga proses islamisasinya . Di Sumatera , penduduk
sudah islam sekitar tiga abad, sementara
di Maluku dan Sulawesi proses islamisasi baru saja berlangsung.
Di
Sumatera, setelah malaka jatuh ke tangan portugis, percaturan politik di
kawasan selat malaka merupakan kawasan
perjuangan segitiga: aceh, portugis, dan johor yang merupakan kelanjutan dari
kerajaan malaka islam. [9]
Pada abad ke – 16, tampaknya Aceh menghindar dari malaka dan memilih Aceh
sebagai pelabuhan transit. Bahkan , ia
mencoba menguasai pelabuhan- pelabuhan pengekspor lada , yang ketika itu sedang
banyak permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat kerajaan terakhir ini
pada tahun 1564 menjadi daerah vassl dari Aceh.
Setelah berhasil menguasai daerah di Sumatra bagian utara, Aceh berusaha
mnguasai Jambi, peelabuhan pengekspor
lada banyak di hasilkan di daerah
pedalaman, sperti Minangkabau yang di angkut melalui sungai Indragiri , Kampar, dan Batanghari. Jambi,
yang ketika itu sudah islam , juga merupakan pelabuhan transito, tempat beras
dan bahan- bahan lain dari Jawa, Cina, India dan lain-lain di ekspor ke Malaka.
Selain itu ekspansi Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat
Sumatera dan mencakup Tiku, Pariaman, dan Bengkulu.
Ketika
itu, Aceh berada pada masa kejayaan Sultan iskandar muda, wafat dalam usia 46
tahun pada 27 Desember 1636. Ia digantikan oleh Sultan iskandar tsani. Setelah
ia meninggal dunia, 15 Februari 1641, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59
tahun. Aceh mulai mengalami kemunduran .
Di Jawa, pusat kerajaan islam sudah pindah
dari pesisir ke pedalamanyakni dari Demak ke pajang kemudian ke Mataram.
Berpindahnya pemerintahan berpengaruh besar di antaranya:
1. Kekuasaan
dan sistem politik di dasarkan atas basis agraris
2. Peranan
daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur
3. Terjadinya
pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.[10]
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaan
mataram, yang ketika itu di bawah Sultan Agung, dan pada masa inilah
kontak-kontak bersenjata antara kerajaan mataram dengan VOC mulai terjadi.
Banten
di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting karna perdagangan ladanya
dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan
juga menarik perdagangan lada dari Indrapura, Lampung, dan Palembang. Kalau di
awal abad ke-16, rute yang ditempuh ialah Maluku- Jawa-Selat Malaka, maka di
akhir abad itu menjadi Maluku- Makassar- Selat Sunda.Sehubungan dengan
perubahan tersebut, Banten dan saingannya, Sunda Kelapa, bertambah strategis.[11]
Di
Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat.
Letaknya memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke Maluku, Filipina, Cina,
Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Indonesia bagian Barat. Ada
beberapa faktorhistoris yang mempercepat
perkembangan itu. pertama, penduduk Malaka oleh portugis
mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua,
arus migrasi Melayu bertanbah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus
menerus ke Johor dan pelabuhan di Semenanjung Melayu. Ketiga, blokade
Belanda terhadap Malaka dihindari pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia
Barat dan Asia Timur. Keempat merosotnya pelabuhan Jawa Timur
mengakibatkan fungsinya di ambil oleh pelabuhan Makassar. Kelima, usaha
belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat Makassar
mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu
semua membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.[12]
Sementara
itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan
rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan
politik monopolinya. Ternate dan Tidore
dapat terus dan berhasil mengelakkan dominasi total dari portugis dan
spanyol.[13]
D. Politik
Islam Hindia Belanda
Indonesia merupakan negeri berpenduduk
mayoritas muslim. Agama Islam secara terus menerus menyadarkan pemeluknya bahwa
mereka harus membebaskan diri dari cengkraman pemerintahan kafir. Perlawanan
dari raja-raja Islam terhadap pemerintahan kolonial bagai tak pernah henti.
Padam di suatu tempat muncul di tempat lain. Belanda menyadari bahwa perlawanan
itu diinspirasi oleh ajaran Islam.
Oleh karena itu, agama islam dipelajari
secara ilmiah di negeri Belanda. Seiring dengan itu, disana juga
diselenggarakan indologie, ilmu untuk mengenal lebih jauh seluk beluk penduduk
Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan Belanda di
Indonesia.[14]
Hasil dari pengkajian itu, lahirlah apa
yang dikenal dengan "politik islam". Tokoh utama dan peletak dasarnya
adalah Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada di Indonesia antara tahun 1889 dan
1906. Berkat pengalamannya di Timur Tengah, sarjana sastra Semit ini berhasil
menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi Islam di Indonesia,
yang menjadi pedoman bagi pemerintah Hindia Belanda, terutama bagi Adviseur
voor Inlandsche zaken,
Lembaga penasihat guberenur Jenderal tentang segala sesuatu mengenai pribumi.[15]
Sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869,
setiap tahuan ribuan umat islam Indonesia pulang dari Makkah sehabis menunaikan
ibadah haji. Mereka datang dengan ajaran ortodoks menggantikan ajaran mistik
dan sinkrestik. Sementara itu, banyak perlawanan umat islam yang dimotori oleh
para haji dan ulama, sehingga banyak kalangan Belanda yang beranggapan bahwa
ibadah haji menyebabkan pribumi menjadi "fanatik". Oleh karena itu,
pemerintah mengeluarkan banyak peraturan untuk mempersulit kaum muslimin haji
menunaikan ibadah. Dalam hal ini Snouck Hurgronje berusaha mendudukkan masalah
antara ibadah haji dan fanatisme. Menurutnya, ibadah haji itu tidak berbahaya
untuk kedudukan pemerintah kolonial di Indonesia. Yang mungkin sekali berbahaya
ialah apa yang disebutnya koloni Jawa, daerah tempat tinggal
orang-orang yang berasal dari Indonesia di Makkah. Karena pergaulan hidup
bertahun-tahun, mereka telah menciptakan kesadaran yang lebih tinggi tentang
persatuan kaum Muslimin sedunia. Di sana memperoleh bacaan-bacaan di
tempat-tempat pendidikan agama dan turut serta dalam kehidupan dan usaha-usaha
Pan-Islam.[16]
Berdasarkan analisisnya, Islam dapat
dibagi menjadi dua bagian, yuang satu Islam religius dan yang lain Islam
politik.
Terhadap masalah agama, pemerintah
Belanda disarankan agar bersikap toleran yang dijabarkan di dalam sikap netral
terhadap kehidupan keagamaan. Toleransi terhadapnya merupakan suatu syarat
mutlak demi ketenangan dan stabilitas. Akan tetapi, Islam politik harus selalu
dicurigai dan diteliti dari mana datangnya, terutama yang dipengaruhi gagasan
Pan-Islam. Bahkan, dalam analisanya itu , pemerintah diusulkan untuk
meningkatkan pelayanan haji, karena haji termasuk wilayah netral. Meskipun
demikian, batas antara sikap netral dan campur tangan terhadap agama, bahkan
antara membantu dan menghalangi , tidak begitu jelas. Pemerintah Belanda tetap
saja banyak mengeluarkan berbagai
peraturan untuk mengontrol secara ketat lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Dalam rangka membendung penmgaruh islam,
pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia,
terutama untuk kalangan bangsawan. Mereka harus di tarik ke arah westernisasi.
Dalam pandangan Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah ke arah dunia
modern sehingga secara perlahanIndonesia menjadi bagian dari dunia moderen itu,
para lulusan sekolah ini diharapkan dapat menjadi partner dalam kehidupan
sosial dan budaya. Snouck Horgronje memang mendambakan kesatuan Indonesia dan
Belanda dalam suatu ikatan Pax-Neerlandica. Oleh karena itu,
dalam lembaga pendidikan Belanda tersebut, bangsa indonesia harus di tuntun
untuk bisa berasosiasi dengan kebudayaan Belanda. Menurutnya, pendidikan barat
adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan
pengaruh islam di Indonesia.
Lulusan lembaga pendidikan Belanda itu,
pada masa pergerakan, mesti tidak seluruhnya, dikenal sebagai golongan
nasionalis sekular. Meskipun seringkali mereka terlibat dalam persaingan dengan
golongan islam, kedua golongan itu, ternyata disatukan oleh rasa nasionalisme
yang sama. Oleh karena itu, mereka bahu-membahu memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dari penjajahan Belanda. Melalui lembaga pendidikan itu, ternyata
gagasan Pax-Neerlandica tidak tercapai, bahkan lulusan-lulusannya
menjadi orang-orang yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan.
Analisa Snouck Hurgronjententang potensi
pribumi dan teorinya tentang pemisahan unsur agama dari unsur politik, tidak
sejalan dengan perkembangan situasi, terutama dua puluh tahun terakhir
kekuasaan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, peranan politik Kantoorvoor
Inlandsche Zaken semakin menghilang pada tahun-tahun terakhir, meskipun
wewenangnya mengawasi gerakan politik lebih dipertegas sejak tahun 1931. Kantoor ini memang harus menjamin
kelangsungan pemerintah Hindia Belanda
BAB
PENUTUP
- Kesimpulan
Sebelum datangnya penjajah,
baik itu Belanda ataupun Portugis, di Indonesia telah berdiri bermacam-macam
kerajaan baik yang Hindu maupun Budha. Namun, setelah datangnya
kerajaan-kerajaan Islam hal-hal mulai
banyak mengalami perubahan, baik dari hal politik maupun Ilmu pengetahuan.
Islam memberi warna baru bagi kehidupan di Indonesia.
Dalam bidang politik, agama
pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak
atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan
politik maupun ekonomi. Tapi pada akhirnya masing-masing kerajaan Islam saling
perang, seperti antara Kerajaan Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore,
Gowa-Tallo dan Bone.
DAFTAR
PUSTAKA
Supriyadi, M.Ag, Dedi.. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Yatim, M.A., Dr. Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Amin, M.A., Drs. Samsul Munir. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Amzah, 2014.
Hasjmy,
Prof. A..
Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al-Maarif, 1981.
Tjandrasasmita
(Ed.), ‘Uka. Sejarah Nasional Indonesia
III. Jakarta:PN Balai Pustaka, 1984.
Suminto,
H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1986.
Noer,
Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1941. Jakarta:
LP3ES,1980.
Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Indonesia
Baru. Jakarta: PT Gramedia, 1987
[1] Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, ( Bandung: Al-Maarif, 1981 )
[3] ‘Uka Tjandrasasmita
(Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (
Jakarta:PN Balai Pustaka, 1984), 3
[5] H.J. de
Graaf, “Islam di Asia Tenggara sampai Asia Abad ke-18” dalam Azyumardi Azra
(Ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1989), 3
[8] Dr. Badri Yatim,
M.A, Sejarah Perdaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
224-225
[9]
Sartono Kartodirdjo, Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid 1, (
Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm. 61.
[10]
Ibid, hlm.65.
[11]
Ibid,hlm.69.
[12]
Ibid, hlm. 68-69.
[13]
Ibid, hlm.70.
[14] Taufik Abdullah (Ed), op. cit., hlm. 179.
[15]
Baca H. Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986).
[16] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1941, (Jakarta: LP3ES,1980) hlm.33-34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar